Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kata-Kata Bukanlah ‘Benda’nya—Bagian Dua

22 Oktober 2014   21:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Adakah suatu pengetahuan di dunia ini yang begitu pastinya sehingga setiap orang berakal tidak akan meragukannya? [Bertrand Russell]

Artikel ini merupakan bagian kedua dari artikel sebelumnya dengan judul ‘generik’ yang sama: Kata-Kata Bukanlah ‘Bendanya’. Kata-kata orang yang disistematisasi dan dibekukan dalam bentuk suatu sistem kepercayaan, yang lalu ditafsirkan maknanya oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sebagai otoritas sistem kepercayaan yang bersangkutan hendaknya juga perlu diwaspadai dan diteliti karena kata-kata bukanlah ‘benda’nya; kata-kata dan penafsirannya itu adalah begitu tidak pastinya sehingga setiap orang berakal perlu meragukan, memertanyakan, dan menyelidiki kebenaran atau kekeliruannya, bukannya menerima begitu saja dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran.

Batin Jernih Terdalam

Batin jernih terdalam berbicara dengan bahasa yang paling sederhana. Pikiran Plato mungkin sangat mendalam; namun bahasanya adalah sangat sederhana dan dapat dimengerti oleh setiap orang berbudaya mana saja. Dalam hal ini filsafat Timur mungkin dapat mengajari para filsuf Barat: Lao Tze, Patanjali, Siddharta Gautama berbicara dengan bahasa sangat sederhana, jika berada di samping mereka, Kant atau Hegel akan tampak sangat berat dan membingungkan, ketika sesuatu adalah sangat jelas bagi seorang filsuf, ia harus dapat mengungkapkannya dengan bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti. Jika ia gagal dalam melakukannya dan jika banyak buku mesti ditulis untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya, hal itu merupakan tanda pasti bahwa pengetahuannya masih kacau-balau. Hanya pengetahuan yang tidak sempurnalah yang menyembunyikan diri dalam banyak kata-kata. Sebagai salah seorang Kompasianer, tolong Anda simak beberapa artikel di sini, yang mana saja yang Anda suka, dan di balik banjir kata-kata yang seakan-akan ingin memamerkan kecendekiawanan penulisnya, Anda akan melihat betapa keruh dan kacau-balaunya daya kognitif penulisnya sehingga ia memerlukan begitu banyak putaran dan sirkulasi kata-kata sekedar untuk mengungkapkan kepercayaan dan pembenarannya, sesuatu yang sebenarnya sangatlah sederhana untuk ditulis.

Lapisan Permukaan

Orang yang belum tercerahkan dalam sains dan spiritualitas hanyalah tahu mengenai apa yang serba-permukaan, bukan lapisan mendalam yang merupakan misteri, baginya segala sesuatu yang tampak atau kasat mata merupakan penjelasannya sendiri; dunia ada di sana dan apa lagi yang perlu diketahui lagi? Tuhan telah berfirman begini dan begitu, apa lagi yang perlu dipertanyakan? Begitu juga pandangan binatang; bagi batin sapi, padang rumput mungkin baik atau buruk, tetapi mereka tidak memerlukan penjelasan. Jadi orang yang tidak tercerahkan merasa terpuaskan dengan mengetahui fakta kasat mata eksistensi ini—lingkungannya, makanannya, pekerjaannya, keluarganya, temannya, terdapat banyak fakta di sekelilingnya, baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, tetapi mereka tidak pernah memerlukan penjelasan. Berbicara dengannya mengenai misteri yang tersembunyi dalam kehidupannya dan dunianya tidak bermakna sama sekali; ia mengandalkan kepercayaannya pada kata-kata orang yang dirasionalisasi pikirannya sendiri belaka, dan menganggapnya sebagai fakta atau kebenaran mengenai eksistensinya. Kematian dan kehidupan itu sendiri mungkin untuk sejenak menimbulkan kekhawatiran atau kegembiraan, tetapi bahkan pada saat begitu hal itu tidak menimbulkan pertanyaan apapun karena secara psikologis mereka telah merasa aman dengan apa yang dinyatakan sistem kepercayaannya, yang seperti biasanya dianggapnya sebagai kebenaran. Pengenalan terhadap hidup itulah yang menyembunyikan misteri bagi batin binatang. Yang pernah dilihatnya sekali yang dulunya menjadi suatu ketakjuban kini menjadi sangat dikenal ketika telah dilihat ratusan kali dan berhenti mengusulkan kemungkinan terdapatnya penjelasan baru; bukankah kita telah menyalakan lampu listrik begitu seringnya sehingga keajaiban listrik yang tidak terjelaskan telah hilang dalam kebiasaan tindakan dan fakta itu telah menjadi penjelasannya sendiri?

Kebanyakan pemercaya kategori SKR (Rujukan: simak artikel ini) dapat saja mengesankan secara berlebih-lebihan dan penuh dengan kepura-puraan (atau bahkan yang lebih mengenaskan lagi sebenarnya karena ketidaktahuan) bahwa dirinya telah mengetahui atau memahami atau bahkan menguasai lapisan mendalam misteri kehidupan; padahal sebenar-benarnya mereka hanya berkecimpung dalam permukaan kehidupan yang serba bergolak ini. Kompasianer sangat produktif yang telah menciptakan ratusan karya tulis berupa artikel filsafat di kanal Kompasiana tersebut di atas tentu dapat dijadikan contoh nyata mengenai hal ini. Dalam banyak artikelnya ia sangat gemar mencela orang yang kebanyakan distigmanya sebagai materialistis atau ateis atau empiris yang katanya hanya mengandalkan panca inderanya belaka, memakai kacamata ini atau teropong itu, yang diulang-ulanginya tanpa bosan; sedangkan, baik secara eksplisit maupun implisit, ia meninggikan dirinya sebagai orang beriman “rasional” yang telah mengetahui hakikat “kebenaran” yang “menyeluruh”. Sampai sekarang pun ia belum menyadari atau bahkan belum mengerti sedikit pun perbedaan antara rasionalitas dan rasionalisasi, padahal ia telah berkomentar sengit di artikel trilogi yang khusus membicarakan hal ini.

Yang Dikenal dan Yang Tidak Dikenal

Konsep ‘kata bukanlah bendanya’ ini sangat berkaitan dengan konsep ‘yang dikenal dan yang tidak dikenal’. Kata-kata yang kita kenal dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang kita kenal maupun yang tidak dikenal oleh yang kita ajak komunikasi. Misalnya, Anda pada suatu hari kedatangan sahabat lama ‘chatting daring/online socmed’ Anda dari salah satu desa terpencil di Amerika, misalnya. Sambil menjemputnya dari bandara Anda pun mulai mengobrolkan kuliner khas dari Indonesia yang sama sekali belum/tidak dikenalnya, misalnya, pecel Madiun. Jika komunikasi Anda hanyalah sebatas penjelasan kata-kata belaka, barang berupa ‘pecel Madiun’ itu tidak akan dikenalnya sebagai rasa; lain halnya jika Anda lalu membawanya ke tempat warung pecel Madiun langganan dan membuatnya menikmati sepiring pecel bersama dengan Anda. Ia tidak mengenal sekedar kata-kata ‘pecel Madiun’ dari ocehan Anda, kini ia telah mengenali bendanya.

Sebagaimana halnya dengan kasus ‘pecel Madiun’ tadi, beberapa otoritas sistem kepercayaan memainkan kata-kata seakan-akan mereka adalah bendanya. Ketika mereka bicara mengenai Tuhan, kematian, keabadian, alam akhirat, dan sejenisnya; mereka mengungkapkannya seakan-akan kata-kata itu adalah bendanya. Mereka mengenal konsep yang diekspresikan dengan kata-kata tadi dari kata-kata orang lain yang menjadi otoritas kepercayaan mereka. Apakah mereka benar-benar mengenal atau me’rasa’kan bendanya sebagaimana tamu Anda yang kini mengenal rasa ‘pecel Madiun’ itu? Tentu saja TIDAK, karena Tuhan, kematian, keabadian, alam akhirat, dsb., itu termasuk dalam zona yang tidak dikenal. Pikiran mereka hanyalah mengenal konsep mengenai mereka dalam bentuk kata-kata katanya pikiran orang lain juga dan pikiran manusia hanya bergerak dari yang dikenal ke yang dikenal dalam bentuk ingatan. Orang membaca kitab atau mendengarkan ceramah atau khotbah orang lain dan menyerap kata-katanya, SKT tidak hanya berhenti pada pemahaman intelektual terhadap kata-kata, mereka akan menyelidiki, memeriksa, memertanyakan, menggali, menghayati, dan memahami kata-kata itu tidak saja secara rasional, tetapi juga dengan ‘roso’, dan secara intuitif pula, dengan kata lain secara terpadu, sampai menemukan ‘benda’nya (kebenaran atau kenyataannya); namun SKR menerima kata-kata itu sebagai bendanya dan mengumbar rasionalisasi dan berbagai dalih khayalannya sebagai pelarian dari kenyataan untuk membenarkan kata-kata itu dan menutupi ketidaktahuannya. Kehidupan nyata ini akan membahagiakan dan mencerahkan bagi mereka yang melakukan pendekatan hidup ala SKT dan akan menyengsarakan dan membodohi mereka yang melakukan pendekatan hidup ala SKR untuk selama-lamanya sampai akhir hayatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun