Idul Fitri adalah momen yang penuh kegembiraan bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Bangka Belitung, sebuah provinsi di Indonesia.
Di Bangka Belitung, Idul Fitri tidak hanya dirayakan dengan saling bermaafan dan berziarah ke makam, tetapi juga dengan tradisi unik yang dikenal sebagai "Perang Ketupat". Tradisi ini menjadi salah satu daya tarik khas dalam menyambut Idul Fitri di daerah ini.
H. Abu Mansyur selaku Ketua Masjid Al-Hidayah mengatakan "Tradisi ni lah jadi turun-temurun dari atok bak dulu e di Bangka ni, setahun sekali, urang-urang berkumpul di tempet yang lah disediaken. Ni lah yang banyak ditunggu orang-orang disini, nek nya lah tua, remaja, ben dorang seneng-seneng ngerayain e".
Beliau menjelaskan bahwa Perang Ketupat ini merupakan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun di Bangka Belitung. Setiap tahun, saat perayaan hari Raya Idul Fitri, masyarakat berkumpul di tempat-tempat yang telah ditentukan untuk berpartisipasi dalam perang ketupat.Â
Tradisi ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat, baik tua maupun muda, untuk bersenang-senang dan merayakan kemenangan setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh.
Asal-usul Perang Ketupat
Dikutip dari DetikSumbagsel, Ketua Adat Desa Tempilang, Datuk Keman mengungkapkan asal-usul tradisi dan adat ruwah perang ketupat di Desa Tempilang berawal dari penyerahan kelompok lanun dan tentara Belanda ke warga setempat.
"Jadi pada tahun 1800-an di situs kita ada penyerangan dari lanun (bajak laut). Di sana ada kampung, semua warga lari ke hutan belantara. Karena ada kerusuhan (pembantaian) dan banyak (warga) yang meninggal," kata Datuk Keman kepada DetikSumbagsel, Kamis (29/2/2024).
Lanun adalan nama lain dari bajak laut. Kedatangan mereka tak lain adalah untuk menjarah hasil bumi Bangka Belitung, yakni bijih timah. Para penjajah baik pihak Belanda maupun lanun ini mengincar bijih timah yang disimpan di benteng Kota Tempilang, benteng ini kini jadi situs sejarah.
Saat itu, pembantaian warga itu play on words terdengar oleh Ketua Adat asal Belinyu, panggilannya Mak Mia (sebutan laki-laki saat itu). Konon, Mak Mia ini memiliki kemampuan seperti Si Pahit Lidah.
Melihat banyak jenazah bertebaran, beliau ini (Mak Mia) memberikan sumpah serapah terhadap jenazah-jenazah agar menjadi batu, hal ini terwujud. Alasannya, karena jumlah banyak dan tak bisa dimakamkan.
Sedangkan kapal-kapal lanun dan Belanda telah meninggalkan Desa Tempilang, kabur usai menjarah dan membantai warga sekitar.
Kapal mereka ini telah kabur, hanya terlihat kecil di tengah laut. Beliau kembali mengeluarkan sumpah serapah agar kapal mereka karam, tak lama kapal ini karam. Kemudian kapal yang tersisa disumpah menjadi batu, batu itu membentuk pulau namanya Pulau Semumbung.
Persiapan untuk Perang Ketupat dimulai jauh-jauh hari sebelum Idul Fitri. Masyarakat mulai membuat ketupat, makanan yang terbuat dari nasi yang dikukus dalam anyaman daun kelapa. Ketupat ini memiliki bentuk segi empat dan menjadi simbol kemakmuran dan berkah. Ketupat-ketupat ini akan digunakan dalam pertarungan saat Perang Ketupat.
"Dimulai saat malam hari, yang biasanya disebut dengan Penimbongan. Ritual yang dilakukan oleh tiga orang petuah di kampung setempat. Ketiga petuah akan memanggil roh atau arwah orang-orang terdahulu. Kemudian roh atau arwah tersebut diberi nakan berupa sesaji yang sudah diletakkan pada rumah-rumahan dari kayu sebagai tanda penghormatan", ujar H. Abu Mansyur.
Pada hari perayaan Idul Fitri, masyarakat berkumpul di lapangan atau tempat yang telah disiapkan khusus untuk Perang Ketupat. Mereka membawa ketupat-ketupat yang telah mereka buat sebelumnya. Ketupat-ketupat tersebut akan dilemparkan satu sama lain dengan penuh semangat. Pertarungan ini dilakukan dengan keceriaan dan kegembiraan, diiringi dengan tawa dan sorak-sorai.
Maksud dari perang ketupat ni bukan ge untuk ngenyakit atau ngelukain orang lain. Tujuan e ni sebagai simbol, simbol seneng kek persaudaraan, sesuai kek semboyan kita "Serumpun Sebalai", ujar H. Abu Mansyur.
Beliau menjelaskan bahwa Perang Ketupat bukanlah sebagai pertarungan yang berarti melukai atau menyakiti satu sama lain. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk saling melempar ketupat sebagai simbol kegembiraan dan persaudaraan dalam menyambut hari kemenangan. Ketupat yang dilemparkan akan saling ditangkap dan dikembalikan dengan senyuman dan tawa.
Tradisi Perang Ketupat memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Bangka Belitung. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Allah setelah menjalani ibadah puasa, tradisi ini juga menjadi simbol persatuan dan kebersamaan. Perang Ketupat mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, saling menghormati, dan mempererat tali persaudaraan di antara masyarakat.
Selain menjadi momen kegembiraan dan persaudaraan, Perang Ketupat juga menjadi daya tarik wisata yang menarik bagi pengunjung. Wisatawan dapat menyaksikan langsung semaraknya perayaan ini, melihat keceriaan masyarakat yang terlibat dalam pertarungan ketupat, dan merasakan kehangatan dan keramahan masyarakat setempat.
H. Abu Mansyur mengatakan bahwa pemerintah dan komunitas setempat telah berupaya untuk mempromosikan dan melestarikan tradisi Perang Ketupat. Mereka mengadakan festival dan acara budaya yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan menghidupkan kembali tradisi ini. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa tradisi Perang Ketupat tetap hidup dan diteruskan kepada generasi mendatang.
Selain itu, Tradisi Perang ketupat sejak 2014 telah diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengakuan tradisi perang ketupat sebagai warisan budaya tak benda merupakan upaya untuk melestarikan dan mempromosikan nilai-nilai budaya serta membangun kesadaran akan pentingnya menjaga dan memperkuat ikatan sosial di dalam masyarakat.
Tradisi Perang Ketupat ini dilakukan dengan semangat kebersamaan dan kegembiraan. Masyarakat Bangka Belitung, baik tua maupun muda, berpartisipasi dalam tradisi ini dengan antusias. Mereka berkumpul di lapangan terbuka yang telah disiapkan, mengenakan pakaian khas, dan bersiap-siap untuk melempar ketupat ke arah kelompok lawan.
Selain sebagai bentuk hiburan dan kegembiraan, tradisi Perang Ketupat juga memiliki makna yang mendalam. Ketupat sebagai simbol makanan khas Idul Fitri melambangkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Perang Ketupat juga menjadi simbol persaudaraan dan persatuan dalam menyambut Idul Fitri, di mana semua perbedaan dan perselisihan ditinggalkan untuk menciptakan kebersamaan dan kegembiraan bersama.
Tradisi Perang Ketupat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Bangka Belitung selama bertahun-tahun. Setiap tahun, tradisi ini terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga.
Tradisi Perang Ketupat adalah contoh nyata dari kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Melalui upaya pelestarian dan promosi, tradisi ini dapat terus menjadi bagian yang penting dari identitas dan warisan budaya Bangka Belitung. Perang Ketupat tidak hanya menjadi momen kegembiraan dan persaudaraan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat dengan budaya dan tradisi lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H