Ketika mendengar istilah "Ekonomi Syariah", yang muncul di benak para pegiat ekonomi syariah seringkali berputar di masalah perbankan, yaitu antara bank konvensional dan bank syariah, antara riba dan bunga. Kalau bukan masalah perbankan, kemungkinan besar yang muncul adalah pembahasan lembaga-lembaga keuangan syariah atau hukum-hukum mengenai berbagai aktivitas ekonomi apakah suatu transaksi ekonomi diperbolehkan atau tidak dalam ilmu fiqh muamalah.Â
Hal itu semua tidaklah salah karena memang demikianlah inti dari ilmu ekonomi syariah, namun seringkali belum disadari bahwa Masjid, khususnya pada manajemen keuangan Masjid, juga membutuhkan sentuhan para pegiat ekonomi syariah, pegiat dalam hal ini bukan hanya para sarjana, master, ataupun doktor ekonomi syariah, termasuk juga para mahasiswa ekonomi syariah yang merupakan bibit-bibit pejuang ekonomi syariah. Keuangan Masjid jika dikelola dengan profesional, maka akan tercipta dana umat yang cukup menjanjikan.
Ketika Nabi SAW. memilih masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukanlah hanya sebagai tempat sholat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, tetapi masjid sebagai majelis untuk memotivasi atau mengendalikan seluruh masyarakat (Pusat pengendalian masyarakat). Secara konseptual masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al jami').
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab ra. untuk membangun fasilitas dekat masjid, dimana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi, Umar ra. Membuat  ruang khusus di samping masjid.
Melihat secara umumnya masjid di masa sekarang, terutama di hal kepengurusan identik dengan seorang Imam, khotib, muadzin, dan pengurus lain atau biasa disebut Ta'mir masjid. Ta'mir biasanya adalah orang yang sudah sepuh yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang cukup untuk mengelola keuangan secara profesional dan syariah. Yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaan keuangan masjid biasanya dikelola secara apa adanya sesuai perolehan infaq. Padahal rata-rata perolehan infaq sebuah masjid hanya satu minggu sekali, yaitu pada saat Sholat Jumat, itupun tidak seberapa.Â
Perhitungan sederhananya adalah jika pada saat sholat Jumat, jamaah yang hadir sekitar 200 orang, dan diasumsikan semua jamaah mengisi kotak infaq yang umumnya sebesar Rp 1000. Maka total pemasukan setiap Jumat adalah 200 x Rp 1000 = Rp 200.000, dikali 4 minggu maka menjadi Rp 800.000. Dana sebesar itu maka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan operasional sehari-hari seperti listrik, air, maupun upah para marbot masjid.Â
Lalu bagaimana jika masjid membutuhkan dana besar misalkan untuk renovasi besar-besaran? Yang terjadi adalah, pengurus masjid akan pontang-panting mencari sumbangan kesana-kemari, sehingga akan muncul kesan dari umat agama lain bahwa umat Islam identik dengan peminta-minta. Yang lebih memprihatinkan dari itu adalah masjid menjadi hanya sekedar tempat untuk sholat jamaah tanpa dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat  sekitarnya. Di sinilah dibutuhkannya peran ahli keuangan khususnya para ekonom syariah sebagaimana mereka mengelola sebuah bank Syariah ataupun lembaga keuangan lainnya.
Sebuah Terobosan untuk Ekonom Syariah
Menjadi ekonom syariah tidak hanya berkutat pada area perbankan saja, namun para ekonom syariah juga dituntut untuk menjadi pengurus masjid dalam bidang pengelolaan keuangan. Terutama adalah dalam hal zakat, infaq, ataupun wakaf dan hibah. Semuanya harus dikelola secara profesional sebagaimana bank syariah, BMT, dsb. Namun, selain daripada sumber dana itu, sebuah masjid juga dapat mendapatkan sumber dana lain, tidak dapat dipungkiri bahwa jika kas masjid hanya mengandalkan dari infaq saja tidaklah cukup, harus ada terobosan baru. Salah satunya adalah sumber dana yang ditarik dari para jamaahnya.
      Jamaah masjid terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Â Â Â Jamaah tetap, adalah mereka yang rutin mengikuti sholat fardhu setiap hari, mereka adalah yang bertempat tinggal dekat dengan masjid.