Mohon tunggu...
Alief Reza KC
Alief Reza KC Mohon Tunggu... Administrasi - Dulu pernah hobi nulis

alrezkc@gmail.com | IG & Twitter : @alrezkc

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Mengaku" Agent of Change

30 Juli 2016   20:38 Diperbarui: 31 Juli 2016   00:42 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mahasiswa dan Agent Of Changeadalah dua kata yang acapkali disandingkan, entah siapa yang memulai menyandingkannya namun di Indonesia label sebagai agen perubahan telah jamak digembar-gemborkan kepada para mahasiswa utamanya kalangan mahasiswa baru. Peristiwa Mei 1998 bisa dikatakan awal mula cap agen perubahan melekat pada mahasiswa. 

Perjuangan mahasiswa Indonesia dalam menegakkan reformasi telah membawa perubahan yang cukup nyata dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Namun ketika perjuangan memulai reformasi itu sudah berhasil, lalu bagaimana dimasa sekarang ini dalam mengisi masa reformasi? perubahan bagaimana yang harus dilakukan oleh mahasiswa?

Dalam mencari jawaban dari pertanyaan ini, kita tidak akan menemukan satu jawaban yang sama dan sepakat dikalangan mahasiswa ataupun pihak lain, sebab masing-masing dari kita tentu mencari arti perubahan berdasarkan sudut pandang kita sendiri, bidang atau hal apa yang ingin kita rubah tentu bisa aja berbeda. Hal ini kemudian ibarat ajaran kitab suci yang dapat menciptakan berbagai mahdzab atau aliran berdasarkan penafsiran masing-masing terhadap kalimat-kalimat dalam kitab suci. Kita  semua sepakat  bahwa perbedaan adalah keniscayaan dalam hidup ini.

Dalam masa-masa penerimaan mahasiswa baru di Indonesia seperti sekarang ini, utamanya dalam masa orientasi mahasiswa, dogma-dogma mahasiswa sebagai agen perubahan begitu masif disebarkan kepada mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar masih kosong dalam pemahaman perubahan itu sendiri serta bagaimana jatidirinya sebagai mahasiswa.

Satu ajaran pokok dari dogma agen perubahan adalah bahwa mahasiswa sebagai calon ujung tombak perubahan bangsa ini. Mahasiswa diharapkan bahkan sejak sekarang  masih berstatus mahasiswa baru agar dapat merubah konsisi masyarakat dan bangsa dalam berbagai bidang baik agama, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

 Sebuah dogma yang sekilas terlihat sangat menjanjikan, gemilangnya masa depan bangsa dan bahkan dunia ada di pundak mahasiswa. Tidak ada yang salah dengan impian tersebut, namun realitanya ada ketidaksesuaian dalam memaknai dan cara-cara meraih impian tersebut. Lho? Ketidaksesuaian bagaimana?

Pertama, kita harus menempatkan sosok seorang mahasiswa  dalam dua hal, pertama posisi mahasiswa sebagai sosok makhluk sosial. Label makhluk sosial ini diberikan kepada semua manusia, dan karena mahasiswa juga manusia maka mahasiswa juga bertanggungjawab pada kehidupan sosialnya.

Mahasiswa umumnya bukan lagi anak baru gede, namun selangkah lebih dekat menuju masa kedewasaan. Bukan lagi saatnya untuk main-main, sekolah, jajan, pulang, main, Bukan itu lagi. Mahasiswa dengan perannya juga sebagai anggota masyarakat yang dianggap sudah bukan lagi anak-anak maka ia harus berperan dan bertanggungjawab terhadap tatanan kehidupan lingkungan sekitarnya.

Mahasiswa tidak pantas hanya berdiam diri dikamar dengan smartphone di tangan atau ber-adventure setiap pekan keberbagai belahan bumi dan puncak nusantara namun masjid, musholla, atau kegiatan sosial masyarakat sekitar tempat tinggal sehari-sehari masih dijalankan oleh orang-orang tua dan sepuh saja. Mahasiswa harus menjadi bibit penerus tatanan kehidupan masyarakatnya.

Akan menjadi ironi apabila kalangan mahasiswa yang disebut terpelajar justru tak ada sedikitpun peran terhadap masyarakat  sekitarnya, namun justru pelaksana kegiatan sosial masyarakat bukanlah dari kalangan yang disebut terpelajar. Satu yang menjadi pertanyaan adalah apakah pantas seseorang mahasiswa yang tinggal disuatu daerah berbangga dengan aktivitas dan kesibukannya mengabdi kepada kalangan masyarakat atau golongan yang jauh dari tempat tinggalnya, namun lingkungan sekitarnya  sendiri tak pernah ia  sentuh ? lalu darimana perubahan itu akan dimulai? Menggembar-gemborkan dan mendesak perubahan bangsa dan dunia namun lingkungan terkecil saja tak mau berusaha untuk turut merubah tentu bukanlah hal bijak yang dilakukan oleh agen perubahan.

Selanjutnya, kita harus menempatkan posisi mahasiswa sebagai pengemban visi dan misi akademik. Ya, status mahasiswa didapat apabila ia terdaftar di suatu instansi perguruan tinggi. Artinya, ketika ia telah menjadi bagian dari perguruan tinggi, maka ia juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan kepada perguruan tinggi dan hak yang bisa ia dapatkan dari perguruan tinggi. 

Namun rasanya, lingkup mahasiswa dan perguruan tinggi teramat sempit. Perguruan tinggi hanyalah sarana atau alat untuk mencapai tujuan, apa ajaran itu? Yaitu keilmuan. Ya, artinya ikatan mahasiswa dan perguruan tinggi sama artinya dengan ikatan mahasiswa dengan keilmuan.

Inilah hal yang sering dipinggirkan dalam doktrinisasi kepada mahasiswa baru. Sangat jarang sekali doktrin kepada mahasiswa baru agar ia bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengembangkan bidang keilmuan dan keahliannya.

Mahasiswa jangan hanya belajar dikelas, ilmu di kelas hanya sedikit sekali.

Ya, kalimat yang populer ini ada benarnya, namun bisa menjadi bumerang jika sempit dalam penafsirannya. Ilmu di kelas memang sedikit, ilmu diluar kelas, di masyarakat lebih banyak. Namun jangan sampai antara ilmu di cari di kelas, di buku, di perpustakaan berbeda dengan ilmu yang kita cari diluar. Ilmu dikelas seolah dianggap hanya rangkaian kata-kata yang menjenuhkan, sehingga rasa frustasi itu ingin dilampiaskan dengan mencari hal lain diluar yang tidak ada hubungannya.

Mencari soft skill diluar hard skill memanglah penting, namun yang terjadi sekarang, jarangnya hard skill dicari diluar kelas, ketika sudah diluar kelas seolah tanggung jawab dengan ilmu yang ia pelajari telah terputus. Seharusnya diluar kelaspun mahasiswa tetap mempelajari, mempraktekan, serta mengembangkan keilmuannya. 

Kelas hanyalah sebagai peta buta dalam kita mempelajari ilmu, untuk menyempurnakan peta buta itu hanya bisa didapat  diluar kelas. Sekali lagi, ilmu diluar kelas yang tidak ada hubungannya dengan ilmu di kelas asalkan positif maka sah-sah saja, namun alangkah baiknya jika tetap diimbangi dengan pengembangan ilmu dari dalam kelas.

Untuk apa perguruan tinggi didirikan? Sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dan untuk apa ilmu pengetahuan dikembangkan? Tentu tujuannya kembali untuk kemakmuran individu itu sendiri khususnya dan kemakmuran umat manusia pada umumnya. Perguruan tinggi didirikan dengan banyak penjurusan bidang ilmu pengetahuan dan ketrampilan, hal ini sebagai maksud agar segala bidang di dunia ini dapat menjadi alat untuk mancapai kemakmuran dunia.

Jika bidang ilmu pengetahuan adalah alat untuk memakmurkan umat manusia, lalu  siapa  operator yang menjalankan alat tersebut? Tentu yang paling utama adalah mahasiswa! ya, karena mahasiswa adalah ujung tombak dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dosennya hanyalah ibarat tour guide yang memberikan petunjuk jalan, sedangkan mahasiswa sendiri yang harus menelusuri dan membedah jalan tersebut. Jika keilmuan dosen sekian kemudian oleh mahasiswa tidak dikembangkan maka kan terjadi putusnya rantai pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu sudah seharusnya keilmuan mahasiswa nantinya harus lebih dari seorang dosen.

Ibarat  sebuah perusahaan yang dimiliki oleh seorang ayah, Kemudian perusahaan tersebut diserahkan ke anaknya yang  memiliki kemampuan kurang dari ayahnya maka bisa dipastikan perusahaan itu akan hancur. Bagaimana jika perusahaan itu adalah bidang ilmu pengetahuan? Jika alat untuk mencapai tujuan berupa kemakmuran umat manusia saja rusak, bagaimana tujuan itu  bisa tercapai? Oleh sebab itu tanggungjawab mahasiswa dalam akademiknya juga sama besarnya dengan tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial sepeti pada posisi pertama yang telah dibahas.

Dengan sikap mahasiswa yang bertanggungjawab, bersungguh-sungguh dalam mempelajari, mengamalkan, dan mengembangkan bidang keilmuan yang ditempuhnya serta tak lupa disamping itu ia juga hidup bermasyarakat.  Maka ia telah memerankan peran mahasiswanya  secara utuh dan label Agent  Of Changepantas disandangkan kepada mahasiswa, bukan hanya merasa bangga dengan perannya di satu posisi saja, terlebih saling merendahakan mahasiswa yang memerankan posisi berbeda dengannya.

Last but not least, seperti yang sudah dibahas di awal bahwa mempelajari makna sebuah ajaran akan menghasilkan berbagi aliran pemikiran yang mungkin saling bertentangan. Dalam hal ini penulis hanya memberikan aliran pemikiran penulis sendiri,dan pasti banyak terdapat pemikiran yang berbeda dengan penulis namun itu adalah sebuah keniscayaan dunia dan tak ada gunanya untuk diperdebatkan. Ambillah yang bermanfaat dan buanglah yang tidak bermanfaat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun