Mohon tunggu...
Alpina TiaraEfendi
Alpina TiaraEfendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - 21107030018

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bertaruh Nyawa di Laut, Penghasilan Tak Tentu, Kok Betah?

9 April 2022   06:11 Diperbarui: 9 April 2022   06:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DOKPRI. Alpina (perahu nelayan di Pantai Jatikontal)

Kabupaten Purworejo yang berada di Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa desa di wilayah pesisir Laut Selatan, salah satunya adalah desa Jatikontal. 

Desa ini tepatnya berada di kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo bersebelahan dengan Desa Jatimalang yang terkenal dengan destinasi wisatanya yaitu Dewa Ruci (Pantai Jatimalang). Terletak diwilayah pesisir, banyak masyarakatnya yang hidup dari hasil laut. 

Selain menjadi petani banyak masyarakat yang membuat tambak udang dan mereka mengairi tambaknya dengan air laut, ada pula beberapa yang berprofesi sebagai nelayan atau sekedar menjadi pendorong perahu yang bertugas membantu mendorong perahu ketika akan melaut dan kembali dari laut. Sedangkan para wanita biasanya menjadi pedagang ikan, mereka membeli ikan dari TPI dan menjualnya kembali.

DOKPRI.Alpina (perahu nelayan menepi, dibantu pendorong)
DOKPRI.Alpina (perahu nelayan menepi, dibantu pendorong)

Meskipun tinggal di wilayah pesisir, Bertani tetaplah menjadi profesi utama disini. Mengapa tidak menjadi nelayan? Sebelumnya banyak masyarakat Jatikontal yang menjadi nelayan, namun kini mereka memilih berhenti. 

Masyarakat setempat mengaku untuk menjadi nelayan harus berani mempertaruhkan hidupnya, karena tidak jarang disini terjadi tragedi nelayan yang tenggelam dan tak jarang pula merenggut nyawa. Karena hal tersebut masyarakat setempat lebih memilih untuk Bertani dan mengelola tambak udang. 

Alasan lain mengapa jarang dari masyarakat setempat yang berprofesi sebagai nelayan adalah karena keterbatasan modal untuk membeli perahu serta untuk membeli bahan bakar, terlebih lagi harga bahan bakar yang terus naik sedangkan solar sebagai bahan bakar dengan harga relatif murah sulit untuk didapatkan. 

Disamping itu, melaut tidak bisa dilakukan setiap hari sebab harus menunggu kondisi ombak yang baik. "kalau melaut kita liat kondisi ombak lagi bagus atau enggak, kita lihat dari google prediksi BMKG" ujar Tomtom salah seorang nelayan asal Indramayu (Jatikontal, 4/4/22).

DOKPRI. Alpina (perahu nelayan di Pantai Jatikontal)
DOKPRI. Alpina (perahu nelayan di Pantai Jatikontal)

Meskipun tidak banyak nelayan dari asli Desa Jatikontal, namun banyak nelayan dari desa-desa tetangga banyak yang melaut dari Jatikontal. 

Bahkan ada beberapa nelayan yang berasal dari luar daerah seperti Pak Tomtom yang berasal dari Indramayu, ada juga yang berasal dari cilacap dan sebagainya. Maka tak heran banyak perahu nelayan yang terparkir di pinggir pantai. 

Disini kegiatan melaut dilakukan hanya saat kondisi ombak baik, mereka pergi melaut di pagi hari dan kembali pada sore hari. Mereka hanya melaut dengan perahu kecil sehingga tidak bisa berlayar jauh, selain itu disana juga tidak ada dermaga untuk pelabuhan kapal besar. 

Para nelayan dari desa tetangga biasanya dating ketika ombak bagus karena jarak rumahnya dekat, sedangkan para nelayan yang berasal dari daerah Barat (Indramayu, Cilacap, dll) biasanya membangun gubuk di sekitar TPI dan beberapa ada yang tinggal di TPI. Mereka biasanya pulang ke kampung halaman setiap beberapa bulan sekali.

Berapa penghasilan para nelayan sekali melaut? Jawabannya tidak pasti. Ya, tak jarang mereka kembali dengan tangan kosong, jika demikian tentu saja mereka rugi karena untuk melaut mereka membutuhkan bahan bakar yang tak sedikit. 

Terkadang mereka mendapatkan hasil tapi tak banyak. Namun, jika sedang panen mereka bisa mendapatkan banyak hasil kadang lobster dengan berbagai ukuran, bawal laut dan lain-lain, dan jika sedang panen mereka bisa meraup penghasilan hingga puluhan juta.

Solidaritas para nelayan ini bisa dikatakan sangat baik, tak jarang para nelayan telah kembali tanpa hasil ataupun dengan hasil yang sedikit. 

Namun, salah satu kapan nelayan ada yang mendapatkan banyak hasil, nelayan pemilik kapal itu akan memberikan informasi kepada nelayan yang lain bahwa ia mendapatkan banyak hasil di sisi sebelah sana. 

Tak mau membuang kesempatan nelayan yang lain akan kembali melaut menuju arah yang diinformasikan oleh temannya, dan benar mereka semua kembali dengan hasil yang banyak.

Kejadian demikian juga kerap terjadi, seperti pada beberapa waktu lalu di awal Ramadhan 2022. " Tadi abis dzuhur udah pada kembali mbak, tapi ada gak pada hasil. Eh ada nelayan yang dapat hasil banyak terus yang lain pada balik lagi ke laut tadi sekitar jam 2 an". Tutur Dini, seorang pemilik warung di sekitar TPI (Jatikontal,4/4/22).

Pada hari itu seperti yang dituturkan oleh Bu Dini, para nelayan kembali melaut setelah tahu temannya kembali dengan hasil yang banyak. Tak sia-sia setelah kembali melaut ternyata mereka semua benar-benar mendapatkan banyak ikan. 

Ikan yang banyak diperoleh adalah ikan bawal laut atau bawal putih. "harga bawal nya 300,400,500 tergantung tingkat ukuran". Jelas Tomtom, (Jatikontal, 4/4/22). 

Berdasarkan penjelasan Pak Tomton tersebut, harga bawal laut dipatok dari tiga ratus ribu hingga lima ratus ribu berdasarkan ukurannya. 

DOKPRI.Alpina (penimbangan hasil tangkapan nelayan di TPI)
DOKPRI.Alpina (penimbangan hasil tangkapan nelayan di TPI)

Hasil melaut nelayan akan dibagi dengan pendorong, biasanya pendorong akan mendapat bagian 5% dari keseluruhan hasil. Dari 5% tersebut kemudian dibagi kepada seluruh pendorong, jumlah pendorong cukup banyak dan tidak tetap setiap kali melautnya. 

Hasil laut akan dikumpulkan di TPI (tempat pelelangan ikan), kemudian ditimbang hasil setiap kapalnya dan dicatat. Selanjutnya semua hasil melaut disatukan dan dilelang di TPI, hasil penjualan ikan tersebut baru kemudian diberikan kepada nelayan dan pendorong. 

Disana bahkan sudah ada petugas TPI yang bertugas mengelola hasil tangkapan para nelayan. Sisa tangkapan yang tak laku juga akan di bagikan lagi kepada nelayan dan pendorong sesuai hitungan. 

Biasanya hasil laut di TPI akan dibeli oleh para pedagang ikan di daerah setempat atau para pemilik rumah makan. Warga sekitar juga beberapa ada yang ikut membeli disana untuk mendapatkan harga murah. 

Biasanya hasil tangkapan sisa penjualan yang diberikan kepada pendorong akan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga lelang di TPI, namun ikannya beragam karena hanya sisa dari lelangan. 

DOKPRI.Alpina 
DOKPRI.Alpina 

Begitu sulit nya perjuangan para nelayan untuk mencari nafkah, harus mempertaruhkan hidupnya terapung-apung diatas laut. 

Bahkan belum tentu setiap melaut mendapatkan hasil tangkapan, namun karena usaha dan keteguhannya mereka pasti akan mencapai hari dimana mereka mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dan bisa meraup penghasilan puluhan juta.

Contohnya jika sedang panen lobster (panen berarti mendapatkan banyak hasil tangkapan), kita semua tahu lobster memiliki harga jual tinggi dan jika sedang panen mereka bisa mendapatkan puluhan kilo, wajar jika mereka bisa mendapatkan penghasilan puluhan juta saat itu. Tidak ada pekerjaan yang mudah dengan pendapatan yang besar. 

Semuanya butuh usaha, kerja keras, perjuangan dan doa. Tuhan tidak tidur rezeki kita sudah diatur dengan jalan masing-masing, kita hanya perlu berusaha dan yakin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun