Mohon tunggu...
ALPHA MARIANI
ALPHA MARIANI Mohon Tunggu... -

Belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

W-nya Dimana?

12 Mei 2015   04:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai guru dan orang tua, kadang saya kurang sabar menghadapi perkembangan anak didik dan anak saya sendiri. Saya selalu berkaca ke masa lalu, dimana semua materi bisa saya lalap dengan tuntas tanpa kesulitan karena saya adalah siswa yang “pintar” kata guru dan teman – teman saya. Masalahnya, saya menganggap semua orang seperti saya, jadi saya sering tidak sabar jika ada orang yang lama berpikirnya “soal gampang begitu saja kok tidak bisa sih?” begitu batin saya. Lah dulu saya seusia mereka saja ya oke – oke wae (mudah – mudah saja mencerna materi sekolah).

Sekarang semua berubah 180 derajat setelah setiap hari mendampingi belajar anak kedua saya. Namanya Tata, berbeda dengan kakaknya yang lebih “pintar” dalam membaca materi pelajaran sekolahnya. Si Tata ini termasuk “lama” dalam belajar sehingga harus menguras energi dan kesabaran yang lebih dalam pendampingannya. Sebenarnya bukan “bodoh” tetapi memang agak berbeda, karena Tata memiliki kecerdasan kinestetik. Memang kalau disuruh belajar yang membutuhka konsentrasi, 30 menit saja…susahnya minta ampun. Tapi begitu disuruh “bergerak” nampak keunggulannya dibanding anak- anak lain yang seusia dengannya.

Selain cerdas secara kinestetik, ternyata Tata juga kritis. Sering pertanyaannya mengundang senyum dalam hati. Pernah suatu kali dia bertanya “Ibuk, kenapa orang takut dengan setan?” , aku berusaha menjawab panjang lebar, yang setan menakutkan lah, yang setan sering membujuk orang berbuat dosalah dll. Eh tiba – tiba dia berkomentar begini “seharusnya manusia tidak perlu takut dengan setan , tapi takut dengan Tuhan “ hehehehehe skakmat buat aku.

Pernah suatu kali ada tetangga sebelah yang buka kost, kebetulan penghuni kos-nya orang Irian (orang Papua, tapi saya masih terbiasa menyebut dengan orang Irian). “Ibuk itu orang apa?” spontan aku menjawab “Orang IRIAN”. Mau tahu tanggapan apa yang Tata berikan? “Ibuk kenapa orang itu jahat sekali?” kaget aku mendengarnya “Dik, kamu tidak boleh menghakimi orang begitu saja, belum tentu semua orang yang berbeda fisik dengan kita itu jahat, kritingnya rambut dan hitamnya kulit itu karena adaptasi cuaca bla bla bla dengan banyak teori aku memberikan pernyataan. “Iya ibuk, apapun bedanya tapi kenapa dia suka IRI an?, ibuk sendiri yang mengatakan dia orang yang Iri-an ” hahahahaha gubrak ternyata aku sudah salah duga.

Suatu kali ketika aku mendampingi Tata yang masih kelas 1 SD sedang belajar Bahasa Inggris, sampailah pada materi angka. Satu dalam bahasa Inggris dibaca wan dan ditulis ONE. Tidak sabar saya menunggu Tata belajar, lah hanya menghapal gitu aja lamanya minta ampun dan tidak hapal – hapal! Dah lewat setengah jam dan emosi sudah memuncak nih “dik kok susah sekali to ? satu itu one !”. Tata diam saja, akhirnya keluarlah pertanyaan dari bibirnya “ Ibuk,aku itu sudah tahu kalau satu dalam Bahasa Inggris adalah One, tapi dari tadi aku berpikir….kalau satu dibaca Wan, terus kok ditulis ONE, lah W-nya dimana?” Ya Tuhan…itu to yang dipikirkan? Malah tidak ada bayangan dalam pikiranku sama sekali. Emosikupun hilang begitu saja berganti senyum . Aku akhirnya berpikir dengan alamnya. Anak kelas satu SD kan memang baru belajar membaca dan menulis, dimana ejaannya sesuai dengan tulisan yang dibuat. Contoh ANAK HEBAT yang berasal dari huruf A-N-A-KH-E-B-A-T, itu tahapan mereka. Maka ketika dia mengatakan satu dalam Bahasa Inggris dengan WAN mestinya yang ada dalam benaknya adalah tulisanW-A-N…tak heran ketika yang muncul justru huruf O-N-E membuat Tata bingung.

Pengalaman – pengalaman seperti itulah yang akhirnya menyadarkan aku bahwa dunia anak berbeda dengan dunia kita orang dewasa. Cara berpikir mereka masih sederhana dengan pengalama hidup yang masih sederhana pula, berbeda dengan kita yang sudah mempunyai banyak pengalaman dan cara berpikir yang kompleks pula. Sejak saat itu aku belajar memahami pikiran anak – anak dengan cara berpikir mereka. Salah memang kalau aku selalu menganggap bahwa mereka sama dengan diriku. Hal inipun aku terapkan dalam memahami karakteristik anak didikku yang unik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun