“Kebetulan saya masih kenyang, kok..!” Cuma mau menyulut rokok, tapi aku urungkan, soalnya tak kulihat ada asbak di atas meja.
Tegukan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya hingga sampailah aku pada kira-kira 3 tegukan terakhir. Aku bisa mengukurnya dengan pasti. Tegukan-tegukan sebelumnya kita hanya bercerita soal kampus, tugas dan hal-hal remeh lain yang tiba-tiba saja mejadi penting untuk dibicangkan. Yang penting itu cukup untuk membuatmu merasa nyaman. Paling tidak berdasarkan ekspresi wajahmu dan juga pengamatan empirisku seelumnya yang lumayan teruji selama ini. Semoga.
Aku bertandang malam ini bukannya tanpa maksud. Ada hal yang memang penting yang menjadi motif aku harus berkunjung. Penting lagi mendesak. Hal ini mesti segera diungkapkan sebelum ia mengendap beku atau meluber tak terkendali karena terlambat menemukan salurannya yang tepat. Aku sebetulnya berharap topik utamanya itu ada di tiga tegukan terakhir ini. Sadar kalau waktuku tidak lama lagi, aku mulai menegapkan kembali punggungku yang tak kusadari sedikit demi sedikit berubah sudutnya. Berusaha terlihat santai.
“Mmm. Dik…”
“Mau ditambah tehnya, Kak…?”
“Hm, gak usah Dik. Cukup. Terima Kasih. Sepertinya kamu perlu istirahat, Dik”. Sembari kuteguk sisa teh ku hanya dengan sekali teguk. Percuma menyicilnya, pikirku.
“Ah, gak juga kok, tadi siang sempat tidur, sedikt.”
“Oh ya, aku duluan ya, terima kasih waktunya!”. Dengan nada bimbang, aku pamit. Kamu hanya tersenyum. Aku mengartikannya kamu tidak sedang menahan ku lebih lama.
Tak lama kemdian ku raih helmku, lalu segera ku tarik pedal gas motorku. Rokok yang baru sempat aku nyalakan sudah melengket di bibirku. Sebatang sahabat setia ini, cukup untuk menyublimasi ekspresi wajah ku. Aku tidak mau perasaanku terproyeksi olehnya. Malam ini adalah kali ketiga aku bertamu dan aku belum sama sekali menyatakan apa-apa. Payah. Cuma sinyal-sinyal lemah.
Via kaca spion aku lihat kamu masih berdiri menatap ke arah ku. Mudah-mudahan itu artinya kamu ingin memastikan aku baik-baik saja, paling tidak sampai aku hilang dari pandanganmu. Semoga.
Benakku bercabang. Di jalan pulang aku masih saja menyesali cangkir tehmu yang kecil. Dan lebih menyesali lagi jawabanku atas tawaranmu untuk tambah secangkir lagi. Semestinya aku masih bisa duduk lebih lama. Tapi kamu kok tidak berusaha menahanku untuk tinggal lebih lama?. Apa kamu memang tidak sedang menunggu sesuatu dariku?