Haduh, entah apa pertimbangan kamu menyuguhkan aku secangkir mungil teh hangat yang juga agak tawar. Memang harga sembako termasuk gula sedang mengalami inflasi pasca kenaikan harga bbm yang sang kepala negara pun enggan mengumumkannya sendiri. Mungkin itu alasan politis untuk rasa tawar teh kamu. Lebih tepatnya sok politis atau cucologi. Namun sebetulnya bukan itu persoalannya. Aku belum terlalu peduli tentang harga bbm atau harga sembako yang harus naik atau turun. Biarlah itu menjadi urusan para elit negara. Aku sendiri lebih peduli padamu. Yang aku sayangkan adalah cangkir kamu terlalu kecil. Terlalu kecil untuk menciptakan kuantitas tegukan yang aku harapkan. Entah kamu sadari atau tdak, jumlah tegukan tehku itu berbanding lurus dengan seberapa lama aku bisa duduk di ruang tamu kamu.
“Diminum teh nya, Kak…!” kamu menawarkan
“Sip, terima kasih. Kamu sendiran di rumah…?”
“Iya Kak, si Ipo nginap di kost-an temannya malam ini, katanya ada tugas kuliah yang segera
deadline.”
“Kamu sendiri gak ada tugas?”
“Kebetulan udah selesai semua, Kak.”
“ Eh, saya minum ya” sambil melempar lirikan kecil, kucondongkan badan ku sambil tangan menjulur meraih cangkir teh yang sedari tadi kamu suguhkan. Kamu membalas dengan senyuman.
“Iya Kak, silahkan. Eh,maaf ya kalau kurang manis, sengaja…..”
“Kan kamu udah cukup manis, toh? Hehe” segera kuinterupsi, seolah tahu apa yang akan kamu katakan selanjutnya. Basi basi yang sudah ada sejak zaman lupus dan si doel anak sekolahan, tapi masih cukup efektif buat menyenangkan telinga di zaman lho gue end sekarang ini. Dan, kamu memang manis Dik. Sungguh.
“Maaf Kak, gak ada kuenya.”