Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Ora et Labora

An Ordinary Citizen of Indonesia, civil engineer, social-preneur, youth of the nation.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Depolitisasi : Refleksi Singkat 16 Tahun Pasca 1998

15 Maret 2014   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…Karena sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas.” —Petikan Pidato Hariman Siregar, 31 Desember 1973—

Tahun 1978, empat tahun setelah peristiwa malari seperti menjadi akhir dari radikalitas gerakan mahasiswa yang sejak 1972 terus berhadapan dengan tembok rezim yang sangat kuat. Waktu itu ada gerakan Golongan Putih atau Golput[1] yang menentang pemiliu pertama orde baru, lalu ada penolakan pembangunan TMII yang banyak merampas lahan para pedagang dan masyarakat kecil, juga kebobrokan pembangunan dan demoralisasi orde baru, hingga protes terhadap kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang membawa agenda penanaman modal asing[2] serta isu ‘Tritura Baru’.[3]

Berbeda dengan gerakan ’66 yang berkolaborasi dengan militer lantaran punya musuh bersama yaitu PKI­, Gerakan Mahasiswa sepanjang dasawarsa 70-80an justru konfrontatif dengan militer. Sempat vakum dalam tahun 1975-1976 pasca peristiwa malari, gerakan mahasiswa mulai menggeliat lagi secara massif menjelang pemilu 1977. Bahkan kali ini rezim meresponnya lebih represif. Mahasiswa mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional ketika itu. Mahasiswa juga menolak segala macam bentuk dialog dengan pemerintah hingga terjadinya pendudukan militer atas berbagai kampus. Mahasiswa dianggap melakukan pembangkangan politik. Panser sampai masuk kampus. Mahasiswa diserbu secara brutal, diajak bertarung seolah mereka pasukan yang juga bersenjata. Gejolak itu tidak hanya tersentrum di Jakarta dan Bandung saja, namun meluas sampai ke Surabaya, Medan, Makassar dan Palembang.

Suatu waktu, bertepatan hari sumpah pemuda di tahun 1977, sekitar delapan ribu mahasiswa dan pemuda berkumpul di depan kampus ITB. Mereka meneriakkan satu ikrar, “Turunkan Soeharto!”. Keesokannya, semua yang berteriak sebagian dimasukkan ke penjara, sebagaian lagi raib entah ke mana. Dua ratus lebih aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab, mereka diintimidasi dan diteror. Dipaksa mengaku sebagai pemberontak negara.

Dari kacamata rezim, mahasiswa dinilai telah bertindak di luar kewajaran gara-gara terlalu jauh masuk ke ranah politik. Oleh karena itu pemerintah mengambil sikap bagaimana menjauhkan mahasiswa dari lapangan politik —sebentar lagi dimonopoli oleh rezim. Rezim takut akan resultan antara mahasiswa dan politik, mahasiswa yang sadar politik adalah bahaya. Pelantikan menteri Daud Yusuf tahun 1979 menjadi awal penerapan kebijakan NKK/BKK[4]. Konsep NKK/BKK kemudian diterapkan sekalipun dengan paksaan. Dewan Mahasiswa (DM) dibekukan dan yang dibolehkan hanya organisasi tingkat fakultas. Birokrasi diberi kewenangan lebih untuk bertanggung jawab terhadap pembentukan dan pengarahan lembaga mahasiswa sehingga terkondisikan berhadap-hadapan dengan mahasiswanya sendiri. Era depolitisasi mahasiswa dimulai.

Dalam konteks politik, NKK/BKK lumayan berdampak. Mahasiswa menjadi hilang daya sanggahnya, pasalnya terlampau disibukkan dengan kegitan-kegiatan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, penerimaan mahasiswa baru, wisuda sarjana dan rutinitas lainnya. Gerakan mahasiswa jadi semaput. Praktis, posisi rezim semakin kuat. Lalu tidak hanya dari dalam, gerakan mahasiswa juga dilemahkan dari ekstra-kampus melalui undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 8 Tahun 1985)[5]­. Ormas diciptakan sebagai kanal untuk peran politik mahasiswa yang tidak boleh diselenggarakan di kampus. Tapi sesungguhnya ormas tadi masih dikendalikan oleh rezim, hanya sebagai kuda tunggangan. Sekedar pembentuk opini bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul masih dijamin oleh negara.

Sempat berubah bentuk menjadi Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (POUK)[6], depolitisasi rada sukses menjadikan gerakan mahasiswa layaknya mayat hidup yang gentayangan tanpa arah dan gairah. Sampai akhirnya pada medio 1994, berdiri kembali Dewan Mahasiswa di UGM yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air. Upaya pendirian kembali dewan mahasiswa ini menjadi penanda bangkit kembalinya gerakan mahasiswa yang mencapai klimaksnya di tahun 1998. Rezim orde baru tumbang, era reformasi pun datang.

Lantas seperti apa gerakan mahasiswa setelah enam-belas tahun reformasi? Semakin kritis kah? Semakin mapankah mereka dari segi gagasan ataupun moda gerakan?

L’histoire se Répète! Sejarah berulang seperti siklus kata para sejarawan dunia. Masa sekarang tak ubahnya seperti kondisi pada masa awal 80-an ketika NKK/BKK tengah diterapkan. Kalau kejadian pertama adalah tragedi, maka yang kedua adalah komedi, seperti itulah Karl Marx menggambarkan repetisi sejarah itu. Mahasiswa tengah berada di panggung komedi sejarah. Lucu sekaligus ironis.

Di masa dimana keran demokrasi terbuka, kebebasan pers terjamin, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat menjadi hak dasar yang diayomi UUD, sungguh ironis melihat mahasiswa malah diam dan tidak terdengar lagi teriakan kritiknya kepada pemerintah saat ini. Keberhasilan memukul jatuh rezim yang sudah berakar selama tiga puluh dua tahun memang memberi euforia kemenangan yang berlebihan.

L’histoire se Répète! Mabuk kemenangan ini sepertinya akan memberi jalan lagi kepada penguasa baru untuk membentuk oligarki baru. Indikasinya yang pertama, mahasiswa nampaknya sudah lupa menagih penuntasan beberapa agenda reformasi kepada pemerintahan demokrasi-reformasi (SBY) bahkan setelah dua periode jabatan. Kealpaan ini berarti kegagalan menjadi mitra kitis pemerintah sehingga merupakan pembiaran kepada pemerintah untuk menunda agenda pembentukan pemerintahan yang reformis lentaran lebih fokus membangun ‘dinasti’ politik dan jaringan bisnis yang dibungkus oleh pencitraan dan pembentukan opini lewat media massa.

Kedua, ada upaya pengkerdilan atau delegitimasi terhadap lembaga kemahasiswaan yang telah berjalan dalam skala nasional dengan cara sistemik dan sistematis. Delegitimasi itu dilakukan melalui undang-undang yang mengatur tentang pendidikan tinggi[7] dan melalui aturan-aturan kampus yang tidak rasional. Ini berarti bahwa ‘otak-otak’ parlemen dan ‘tangan besi’ birokrasi kampus terlibat dalam upaya delegitimasi tersebut. Kegiatan mahasiswa terlalu dipaksa ke hal-hal yang sifatnya minat-bakat. Tidak lagi dibangun wawasan kebangsaan. Hal ini merupakan skenario menjauhkan mahasiswa dari khittah-nya di lapangan politik dan ini terjadi hampir di semua universitas. Adapun keterlibatan mahasiswa dalam ranah politik hanya sebatas aktifitas individual melalui jalur partai politik, tidak independen sebagai sebuah gerakan kemahasiswaan yang terorganisir dengan unik.

Dari dua hal itu maka bisa disimpulkan bahawa pergerakan mahasiswa sedang berada dalam skema penghancuran. Dalam artian, mahasiswa coba dibiarkan menjadi pemuda yang apatis, individualis dan cukup mengejar cita-cita pribadi, memperkaya diri sendiri, tanpa merasa perlu berkontribusi terhadap perbaikan jalannya pemerintahan saat ini (kecuali mereka yang merasa bisa berjuang sendiri melalui jalur parpol dan underbow-nya atau LSM). Tanpa menafikan sebagian kecil mahasiswa yang masih menyadari peran dan tanggung jawab moralnya, sekali lagi, tidak ada wawasan kebangsaan khas kemahasiswaan yang terbangun di intra-kampus. Demikianlah depolitisasi yang berulang itu terjadi.

Syahdan, kembali ke tahun 1978, tepatnya bulan januari atau 10 tahun peringatan Tritura. Dilaporkan bahwa Rektor UI Mahar Marjono dan Rektor ITB, Iskandar Alisjahbana dicopot dari jabatannya secara semena-mena. Mereka dituding terlalu membela mahasiswa mereka. Yang lebih parah lagi, yang disebut terakhir sempat ditembaki rumahnya secara misterius. Di lain tempat Mahmud Zaki, Rektor ITS dipaksa langsung oleh Mendikbud pada saat itu untuk membubarkan aksi mahasiswa dan men-dropout mereka yang ikut aksi. Waktu itu, bahkan pejabat kampus setingkat rektor berada di garis paling depan membela kepentingan mahasiswa tanpa takut kehilangan jabatan. Mereka boleh dianggap membangkang dihadapan negara tetapi mereka setia terhadap hati nurani.

Dan ternyata, sejarah tidak betul-betul berulang, alih-alih membelanya, justru para birokrasi yang di garis paling depan memangkas aktifitas gerakan mahasiswa, bahkan sampai meneror dan mengintimidasi. Birokrasi kampus yang begitu adalah birokrasi yang amnesia terhadap sejarah negaranya.

***

[1]Gerakan dimotori oleh Adnan Buyung Nasution, Arif Budiman, Asmara Nababan dkk. (TEMPO Interaktif 12 Februari 2001 : Gerakan Mahasiswa yang Antiklimaks)

[2]Dikenal dengan Peristiwa Malari, dimotori oleh Hariman Siregar (DEMA UI)

[3]Tritura Baru meliputi :

1.Ganyang koruptor,

2.Bubarkan Asisten Pribadi —presiden saat itu memakai asisten pribadi yang disandang Ali Moertopo

3.Turunkan harga.

[4]NKK/BKK adalah kepanjangan dari Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Salah satu implementasinya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang masih bertahan sampai sekarang.

[5]Implikasinya adalah dibentuknya KNPI untuk mengorganisir seluruh organisasi kepemudaan ekstra kampus yang langsung dikendalikan oleh pemerintah dan diberlakukannya kebijakan Asas Tunggal Pancasila.

[6]Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) hanya mengakui lembaga intra kampus berupa SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) yang di dalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa).

[7]        Lihat Undang Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun