Nalarku menangkap suaramu
dalam tumpukan bebuku usang
di alam yang tak kupaham
namamu tertinggal sebagai tulisan
dan nyatamu terkubur, mungkin saja lama
mengunyah warna suka duka
yang diwakili puisi
sungguh bukanlah mati.
Waktu kini, lidahku menerjemah maya bahasa jiwamu
terlampau ke-dalam ; aroma Kenanga tercatat di pusara imajinasi haru.
Dari alam yang masih tak ku-paham
ada telaga di detak jantungmu
udara menanam bunga-bunga sajak
jejak napasmu memanggil esok tanpa jarak.
Ada suara yang menyeru gagah
“Terkembanglah bersama kalamku (Sang Penyair)
Saat bayang gemawan senja melingkar teduh, menyesap keutuhan makna luruh... dan janganlah gerak ambisimu gaduh!”
Kau, hanya sebayangan nama makhluk bumi
suaramu menelan sunyi
terbit-terbenam di rindang ruang biru naluri
dan puisimu abadi
dalam buku usang yang dianggap suci.
17122016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI