Wahai putra-putri jagad dewani
dengarlah bait-bait malam yang berpuisi
dengan mengingat aroma kesedihan ; melukis mimpi sebelum mati
dengan menyuara keheningan ; nihil sebagai isi
fakta dari segenggam imaji dalam diri
bagi siapapun ia yang menemu rahsa--
memiliki pandang mata langit--
menderma segala pujian duniawi yang sengit--
dan ia-lah sang pelantun ayat-ayat sastra dalam bisu menjerit
Sunyi
Sebanyak gelap mengingat warna tanpa rupa
rupa yang ber-rupa-rupa
juga rupa sekehendak rupa yang serupa
Bilamana aku memahamkan akar keindahan tanpa wujud-Nya
maka, tiadalah aku
tiadalah
pun dunia, tiadalah
Sunyi
Se-bisik rembulan sabit yang tertanam pada pekarangan nirwana
setara gelebah penuh yang memuisikan kama
dan tetaplah fana
Wahai putra-putri jagad dewani
dengarlah kaki-kaki malam yang lelah berdiri
dengan mengingat aroma tanah kulitmu ; melukis, hidup menjemput mati
dengan gagah menyuara kebenaran ; segala keduniaan, hanya sebatas pikiran yang berpuisi.
Jakarta, 14102016
Alpaprana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H