Tertanam di setanah hampa
yang ada hanya sisa dedaunan kering
dedahanan rapuh
dan akar sepohon kayu yang beranjak mati
Â
Sungguh sebentuk romansa yang patut disyukuri
layaknya bukan asmara dengan kesedihan
sebab ada napas yang menghidupi--
mentari kembali dari langit pagi
menebar kelembutan arah angin
yang mengusai tiap-tiap celah
membawa kabar kesejukan
mengikat putih awan
menggantung kebahagiaan dalam batin kedustaan
Â
Maka, takjublah ;
Tatap-ku di denyut keterasingan jiwa
ketika segala mimpi cinta tlah luruh
hancur diterpa semusim keegoisan dunia
hanya tertinggal ranting-ranting kertas
yang tertulis kenangan senama kekasih
dengan aroma kerinduan
dan sayatan luka yang teramat pedih
Â
Bisakah mereka mendengar?
Ritme tulang-tulangku yang retak kaku
kala suara ampunan tangisku tak berbalas?
Â
Ranting-ranting kertas
tetaplah berada di sepohon kering puisiku
sebab, segetir apapun kisah perjalanan manusia
janganlah menuju keputusasaan
sebab inilah hidup
walau bukan keadilan bagiku
namun keadilan bagi siapapun penikmat cinta
juga mereka yang membangun sucinya pelaminan--
(dengan murka sang Pencipta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H