Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Cinta dan Hujan-hujan Kecil

8 Juli 2016   15:52 Diperbarui: 8 Juli 2016   15:58 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di atas pasir waktu

kita adalah kekata sajak

dengan senja yang pucat manja

dalam gemercik hujan-hujan kecil

di sudut birai bungalow

merangkai aksara jiwa

duduk mesra berdua

dari satu senyuman

menemu pandang kesejukan

dan cinta bercerita tentang kita.

 

Pada suatu ketika

inginku menjadi peneduh

kala sedihmu mulai memendung

dan saat matamu berkaca

aku akan menjelma sebagai airnya

agar apa yang kau-rasa

pun aku juga merasa.

 

Seutuh artikulasi cinta

kita-lah sajak-sajak di gemawan senja

yang dideklarasikan hujan-hujan kecil

di mana setiap butiran airnya

adalah tinta-tinta rindu

jatuh berhamburan dari langit

membasahi jiwa-jiwa sang penikmat rasa.

 

Apakah-ku tlah menyerupa pujangga?

 

Sajak cinta ini

aku tujukan kepadamu, kekasih

kau yang dipaksa memiliki kebohongan

oleh mereka

pada siapapun yang menjalin ikatan suci

dan bukan atas nama keridhoan diri.

 

Tidak mengapa bagiku

mungkin kisah ini terlampau sakit di penghujungnya

sebab-ku bukan penyempurna hidup

hanya sebatas penulis sajak biasa

yang sekedar menghenti waktu

hingga meretas ambang batas logika

karena engkau satu dari alasan-alasanku

mengapa harus bernapas--

juga luka yang tak pernah dianggap ada.

 

Hujan-hujan kecil

sampaikanlah kesedihanku kepada senja

dan kembalilah mengalir ke samudra

menguap ke udara

menyusun bait-bait mendung mesra

lalu hiasilah bungalow lama

saat kami berdua termenung di sudut birainya

di setiap waktu

seperti awal jumpa dalam cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun