Di atas pasir waktu
kita adalah kekata sajak
dengan senja yang pucat manja
dalam gemercik hujan-hujan kecil
di sudut birai bungalow
merangkai aksara jiwa
duduk mesra berdua
dari satu senyuman
menemu pandang kesejukan
dan cinta bercerita tentang kita.
Â
Pada suatu ketika
inginku menjadi peneduh
kala sedihmu mulai memendung
dan saat matamu berkaca
aku akan menjelma sebagai airnya
agar apa yang kau-rasa
pun aku juga merasa.
Â
Seutuh artikulasi cinta
kita-lah sajak-sajak di gemawan senja
yang dideklarasikan hujan-hujan kecil
di mana setiap butiran airnya
adalah tinta-tinta rindu
jatuh berhamburan dari langit
membasahi jiwa-jiwa sang penikmat rasa.
Â
Apakah-ku tlah menyerupa pujangga?
Â
Sajak cinta ini
aku tujukan kepadamu, kekasih
kau yang dipaksa memiliki kebohongan
oleh mereka
pada siapapun yang menjalin ikatan suci
dan bukan atas nama keridhoan diri.
Â
Tidak mengapa bagiku
mungkin kisah ini terlampau sakit di penghujungnya
sebab-ku bukan penyempurna hidup
hanya sebatas penulis sajak biasa
yang sekedar menghenti waktu
hingga meretas ambang batas logika
karena engkau satu dari alasan-alasanku
mengapa harus bernapas--
juga luka yang tak pernah dianggap ada.
Â
Hujan-hujan kecil
sampaikanlah kesedihanku kepada senja
dan kembalilah mengalir ke samudra
menguap ke udara
menyusun bait-bait mendung mesra
lalu hiasilah bungalow lama
saat kami berdua termenung di sudut birainya
di setiap waktu
seperti awal jumpa dalam cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H