Bila kerinduan kita menjelma sajak-sajak pujangga, ijinkan aku menjadi arwah tinta yang setia mengikuti arah gerak pena, menuliskanmu pada kertas kehidupan, pada waktu yang akrab kita sapa sebagai senja.
Sekilas pandang, cinta hanyalah desau putih di balik kaca jendela, yang memainkan nada-nada merdu, sejenak menghibur hampa, meski tiada tergambar nyata.
Manakala jari-jari sastra merangkai aksara-aksara biasa menjadi sajak, jika bukan arwahku berwujud tinta, untuk apa, kata cinta kita dicipta?
Mereka bersuara,"Sangat mudah merangkai seni dalam tulisan, menyampaikan makna roman picisan." Tetapi, kau lebih tahu, bahwa sajak rinduku tlah luruh di senyum, dan tenggelam ke dalam kornea matamu.
Cinta, kaulah senja teduh yang kurindui. Di ruangmu, sajakku bersembunyi dari kemegahan fana dunia. Hingga nampak berbagai warna seperti aurora, dan melahirkan kekaguman jiwa, saat napasmu mengikat udaraku dengan doa-doa kepada-Nya.
Di tepian batas malam yang kita temui sebagai senja, terbentang sadar akan makna cinta yang penuh dilema. Namun, rasaku masih berupa arwah tinta dalam pena, dan di atas kertas kehidupan, sajakku lirih bersuara ; aku merindukanmu seperti takdir rerumputan yang tiada gaduh, kala terinjak kaki-kaki manusia-- Juga seperti wangi kamboja, yang terasing sunyi di jari-jari sang pujangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H