Sepagi tadi, kutitipkan harum kerinduan pada ujung daun Mahoni, di lereng Sidomukti. Agar ketika angin berhembus dengan lembut, bayang jiwaku tlah sampai di kulit tanahmu, menyentuh keutuhan ingatanmu.
Dari detik-detik waktu yang terus melaju, nalarku selalu saja menemui kolam-kolam kecil di alam ilusi. Kolam yang kutuangi air mata, dan meluap, saat bayangmu tampak jelas di ruang puisi.
Mungkin semua orang beranggapan ; tiada yang akan membayang di sana– kecuali sinaran luka atas cinta yang direngkuh keegoisan dunia.
Aku tersenyum menahan sekumpulan lelah. Sebab, mentari hari ini tiada menyilaukan, dan tetap sama dengan kehangatan sesaat. Sementara keluguan langit lebih dari biru, hingga tanah tempatku berpijak menjadi kebahagiaan yang semu.
Di awal Syawal ini, nyaliku untuk keluar dari kesedihan tlah membeku, menyerupa tumpukan bebatuan kutub. Tetapi, puisi-puisiku masih mengalir sejuk, bercerita tentang cinta sederhana, kepada rindu yang harus bijaksana, melebur ke dalam sukma, dan merayakan ingatanku yang semakin terlelap di runtuhnya kejujuran air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H