Lagi Rame!

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Senandung Rintih Bumi(ku)

8 Mei 2016 00:34 Diperbarui: 8 Mei 2016 17:05 75

Laporkan Konten

Laporkan Akun

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihat foto

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tandus bumi(ku)

melagukan nada-nada bisu, airku

bera tanah menggerutu

pohon-pohon tertunduk pilu

rerumputan mengering

hayawan gerah, menari, haus terpelanting

Lihatlah, wahai manusia bumi

tangan-tanganmu mengaku suci

meremas habis bukit-bukit negeri

tunduk memuja duniawi

menjulurkan manis lidah, puas menikmati

lalai akan udara murni

jiwamu mati.

[caption caption="Puisi Alpaprana ; Senandung Rintih Bumi(ku)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :

LIHAT SEMUA

Mohon tunggu...