Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ruang Biru Langit (Our Distruction)

23 April 2016   17:02 Diperbarui: 23 April 2016   17:18 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarilah di langit luar, dan mencari kebebasan yang tenang.

Di padang rumput kering ; (Cinta, air mata, kekasihku), bukanlah dijajakan atas nama takdir. Itu merupakan sesuatu yang tidak mampu kutemui lagi. Walaupun aku menentang keadilan makna dari sebuah ikatan suci, sekeras apapun inginku, sangatlah bencil jika kebenaranku tidak menemui kegamangan.

Melangkahlah, meski dunia dinodai oleh kesalahan, mataku tiada akan pernah membiarkan senyum tercantikmu pergi dari detik-detik kemesraan kita. Setidaknya kau bisa percaya, dan aku mengulurkan kerinduan yang akan membawamu menuju udara bersih, memelukmu erat, menempatkan cinta yang semestinya di ruang biru langit, tanpa siapapun.

(Hasrat, pikiran, tali kasih), selalu nampak seperti takdir yang bohong, bahkan keharuman mawar hanya akan dinikmati sekitarnya, bukan akar tangkainya.

(Cinta, pernikahan, kekasihku), suatu saat nanti, seluruh dunia menyambut dengan gembira pada pertemuan kita, dan mungkin aku tengah bermimpi.

Ya. Ini layaknya sebuah mimpi, hingga aku malas untuk memaknai arti diriku sendiri. Yang aku mampu hanya menuliskan huruf biasa (Alpaprana), menjelaskan tentang hubungan kemurnian kasih, berharap mereka tidak akan tahu, tidak pernah mau tahu, kemudian langkahku membeku, bersembunyi di dalam kesakitan ruang biru langit, tanpa memperlihatkan nada-nada kesedihan tak berujung.

"Dimanakah kita, sekarang?" Pertanyaan itu terus saja mencumbui asumsiku, mengerak tebal, merambat sadis di aliran detak resah jantungku.

(Kisah, kita, biru langit), merupakan ngerinya sayatan luka dari bagian-bagian realitas yang dijalani dengan benar, bahkan mereka akan terus mengibarkan kebahagiaan di sela air mata yang dialiri kesejatian cinta, dan aku merangkum napas sesakku di bawah pelaminan kekasih dengan keluruhan tinta air mata yang memaksa wujudku untuk menemui sirna.

(Cinta, ruang biru, langit kita). Cermin rasaku dibayangi gemuruh tangisanmu jika bibir lembutmu mengeja tiap kalimat yang telah tertanam dari mata pena ini. Kau akan tahu, tulisan sederhanaku tercipta seperti kebenaran kita, namun kebohongan bagi mereka.

(Takdir, kebohongan, kebenaran), menaungi jari-jariku yang merangkak patah, membangun detak jantungku di batas kerelaan yang lemah, dan semua di sekitar tersenyum mewah, menyaksikan kematian hasrat diriku di pusara jiwa tak bertanah merah.

[caption caption="Kebahagiaan mereka, kehancuran kita."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun