Apa sih itu remaja? Kalo kata Siti Sundari, remaja merupakan peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Nah selama perkembangan, ternyata yang berkembang bukan cuma usia, atau fungsi organ reproduksi aja ya.
Zaman serta peradaban juga ikut berkembang. Baik dari yang tadinya cuma ada handphone Esia Hidayah, sekarang sudah banyak macamnya. Sekarang pun namanya juga beda, yaitu smartphone. Dari yang tadinya main Monopoly sekarang mainnya Mobile Legends di smartphone. Sebenarnya masih banyak lagi perubahan sosial dan gaya hidup pada remaja di masyarakat.
Salah satu perubahan yang terjadi di masyarakat terkait dengan konformitas gender. Apa itu konformitas gender? Konformitas gender adalah peran serta ekspektasi yang kita tetapkan pada konsep jenis kelamin.
Contohnya adalah, pria diharapkan menjadi pribadi yang kuat, pendiam, pekerja keras, dan lain-lain. Sedangkan wanita, diharapkan dan dipandang menjadi dan sebagai pribadi yang penyayang, emosional, keibuan, pasif, dan lain-lain.
Saya masih mengingat momen ketika budaya Korea mulai mendapatkan popularitas pada tahun 2010-an dan memang budaya Korea tersebut banyak digandrungi oleh orang yang berumur pada kisaran remaja sampai dewasa.
Pada saat itu, memang penggemar budaya tersebut banyak merupakan perempuan. Maka dari itu untuk menggemari budaya tersebut sebagai pria, harus siap mental dianggap banci dan “kecewek-cewekan”. Mayoritas dari masyarakat pun menganggap rendah pria yang menggemari budaya Korea, mulai dari K-wave dan K-pop.
Saya masih ingat, asisten rumah tangga saya dulu yang senang sekali manteng di saluran Indosiar untuk menyaksikan “Boys Before Flowers” pada sore hari. Dan pembantu saya tidak jarang untuk merasa emosional saat menonton drama tersebut.
Begitu juga dengan drama Korea lainnya yang memang banyak dirancang untuk membuat penontonnya merasa terikat dan terhubung secara emosional dengan karakter drama tersebut. Emosionalitas yang dibawa oleh drama Korea berdampak pada anggapan masyarakat tentang budaya Korea. Sehingga pria yang menggemari budaya Korea kerap dianggap lemah dan emosional.
Tentunya ini berdampak terhadap pandangan dan konformitas sosial bahwa pria harus punya pribadi yang kuat, dan tidak emosional. Maka pria yang gemar terhadap budaya tersebut sering dianggap sebagai banci dan kecewek-cewekan.
Dulu, sepertinya untuk membahas kegemaran terhadap budaya Korea sebagai remaja pria dengan teman sebaya dianggap memalukan di lingkungan saya waktu itu. Pasti ada saja desakan dari teman tongkrongan untuk berhenti membahas dan mungkin berhenti menggemari hal tersebut serta pastinya diejek.