Beberapa hal di atas pater Gregor, SVD sampaikan berdasarkan pandangannya bahwa daerah Flores adalah daerah khusus sehingga tidak usah merisaukan akan terhapusnya praktek-praktek keimanan Katolik di sekolah-sekolah negeri. Bukan sekadar mendikotomikan daerah mayoritas dan minoritas tetapi memang fakta bahwa Flores merupakan daerah dengan penganut Katolik terbesar.Â
Di daerah seperti ini, amat mustahil kalau praktek-praktek keagamaan Katolik di hapus sama sekali. Ritual Semana Santa5), di Larantuka, Flores Timur, sebuah prosesi keagamaan yang berpuncak pada Jumad Agung yang merupakan inti keimanan Katolik tetapi Remaja Mesjid turut terlibat. Mereka ambil bagian dalam urusan pengamanan  demi berlangsungnya peribadatan yang bukan bagian dari keimanan mereka.Â
Dan sebaliknya Orang Muda Katolik (OMK) pun biasa dilibatkan dalam urusan pengamanan atau keamanan bagi acara keagamaan saudaranya yang berbeda iman. Suatu model toleransi amat khas Flores yang memperkuat predikat Flores sebagai daerah khusus.
Takutkan sesuatu yg tidak ada
Sehubungan dengan kekhususan daerah Flores dan kekhasan model toleransi seperti di atas maka Pater Gregor, SVD yang sering disapa pater Goris oleh umat paroki RR Kewapante, berkeyakinan kuat, semua pelayanan keimanan Katolik akan tetap berjalan seperti sedia kala; tidak perlu dirisaukan.Â
Berdasarkan pengalaman beliau, semua pelayanan peribadatan  yang merupakan kekhasan Katolik tetap bisa terlaksana selama gereja mengadakan komunikasi intens dengan lembaga pendidikan yang bernomenklatur negeri. Dengan kedekatan relasi itu, sesungguhnya bayangan akan sirnanya praktek-praktek keagamaan kita hanyalah bayangan semu. Tidak ada. "Untuk apa kita takutkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada?", tandas pastor yang pernah bertugas sebagai misionaris di Chile selam 8 tahun itu. Di Chile, sebuah negara di bagian Tenggara Amerika Selatan dengan ibukota Santiago, menurut pater Gregor, SVD, memang tidak ada pelajaran agama di sekolah negeri. Hanya boleh di sekolah swasta.
Dan memang urusan agama dan sakramen itu urusan privat maka keluarga dan Gereja-lah yang bertanggungjawab penuh untuk urusan itu. Amat berbeda dengan Indonesia yang tidak pernah ada larangan untuk melayani urusan agama di sekolah negeri.
Â
Anak terlayani, guru tercukupi gajinya
Setelah menandaskan keyakinannya bahwa praktek-praktek keagamaan di sekolah negeri tidak akan hilang, pater Gregor, SVD menaruh harapan besar pada pengalihan nomenklatur swasta ke negeri bagi sekolah-sekolah yang  memang sunggguh membutuhkannya. Pengampu mata kuliah Teologi Moral di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero itu berharap, dengan peralihan status ke negeri, anak didik atau siswa terlayani dengan lebih baik.Â
Dengan pengalihan status itu, gurupun tercukupi gajinya biar lebih tenang dan dapat mengerahkan segenap perhatiannya demi pengabdiannya pada kepentingan pendidikan para generasi harapan bangsa. Kondisi menyedihkan selama ini, di mana guru harus nyambi untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya sampai harus mengabaikan tugas pokoknya itu, sudah bisa teratasi. Miris, memang, ketika guru tidak hadir di sekolah lalu ternyata penyebabnya adalah kehabisan uang transpor.