Sudah lebih dari sepekan berlalu semenjak hari pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024, saat kita menggunakan hak suara kita untuk memilih presiden dan wakil presiden harapan kita. Juga anggota legislatif andalan atau jagoan kita; mulai dari tingkat pusat hingga tingkat dua. Tak lupa juga senator kita. Hasilnya  pun sudah ada, walau baru menurut versi hitung cepat atau quick count saja. Bagi yang telah paham akan efektifitas hasil hitung cepat, keyakinan terhadap hasil yang muncul itu sudah bisa ada. Tetapi bagi kebanyakan orang, perhitungan ril atau real count itulah  yang ditunggu. Real count itu berdasarkan perhitungan manual oleh KPU lewat TPS-TPS yang ada.
Semua pendapat yang pro dan kontra tentang proses penyelenggaraan pemilu kali ini berseliweran. Ada yang menganggap semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya dan tak perlu diragukan lagi. Sementara ada yang memandangnya sebagai proses yang penuh kecurangan. Pengiriman foto hasil perolehan suara yang keliru, atau ada masalah kartu suara yang sudah dicoblos sebelum proses pencoblosan oleh warga di TPS tertentu. Itu yang dikeluhkan.
Semua itu biasa ada pada setiap pemilihan umum. Tak pernah ada pemilu yang tak ada kecurigaan tentang kecurangan. Sudah ada lembaga yang siap menangani aduan kecurangan. Ada juga yang merasa tak perlu diragukan karena sudah ada pengawasan berlapis. Tidak mungkin ada pelanggaran yang berarti.
Terlepas dari itu, ada yang masih memperbincangkan soal anomali perolehan suara pemilu kali ini. Contoh PDIP yang perolehan suara partainya sampai 17,36 persen tetapi perolehan elektoral untuk paslonnya hanya sampai 16,27 persen saja bila dibandingkan dengan Gerindra yang perolehan suara partainya 13,15 persen (di bawah PDIP) tapi perolehan suara elektoralnya sampai 58,87 persen. (Poltracking, 15 Februari 2024; suara masuk 71,73 persen).
Ada pula yang membandingkan dengan perkiraan sebelum pemilihan berdasarkan jumlah massa yang menghadiri kampanyenya. Mengapa antusiasme selama kampanye tidak tergambar dalam hasil perolehan suara untuk presiden dan wakil presiden. Terhadap hal itu ada yang berkomentar dengan nada setengah guyon. "Orang di level bawah tidak lihat yang namanya kualitas, elektabilitas, dan popularitas; yang dilihat adalah isi tas." Kalaupun anda populer tapi  tidak ada relasi personal lewat pemberian apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka, orang level bawah itu tidak tertarik untuk memilih kamu.
Ada pula yang menyesalkan, mengapa begitu gencar dikampanyekan soal isu dinasti, abuse of power, politisasi bansos, tapi tidak dimengerti. Begitu diberi bansos, dijanjikan makan siang gratis, susu gratis, itu langsung diterima. Karena langsung menyentuh kebutuhan dasar mereka. Kata pengamat, rata-rata penghasilan rakyat kita di bawah Rp 600.000,-per bulan. Karena itu mereka mudah menerima tawaran bantuan makanan dan uang.
Ada yang mengatakan, "Jangan anggap seolah calon pemilih kita itu berpikir sama seperti kita." Makanya coba pahami aspirasi mereka. Tapi tentu tidak asal ikut maunya mereka begitu saja.
Nah sekarang bagaimana dengan roda pemerintahan tingkat pusat dalam kaitannya dengan parlemen yang akan dibentuk. Pembicaraan yang lebih krusial sekarang barangkali soal bagaimana kemungkinan bergabungnya partai-partai yang  kalah ke koalisi partai yang menang. Bisa ada dua kemungkinan, mau tetap bertahan sebagai oposisi atau ikut dalam sharing of power biar bisa mempunyai keuntungan tertentu. Pro-kontra seputar hal ini sudah dibahas oleh berbagai pengamat di berbagai media. Â
Yang kita harapkan, partai-partai yang kalah tidak begitu saja mudah diajak untuk bergabung ke koalisi pemenang pilpres. Bila itu terjadi, maka fungsi checks and balances dalam parlemen kita tidak akan terlaksana dengan semestinya. Semua program dan kemauan apa saja dari pemerintah tidak akan mendapat tantangan dari parlemen.Â
Tidak akan terjadi debat yang bermutu, yang berpihak dan menguntungkan rakyat. Sebagai contoh, penerapan UU Omnibus Law yang bagi publik yang awam seolah tidak bermasalah. Bahkan yang dikemukakan adalah tentang mudahnya investasi masuk ke Indonesia.Â
Padahal pada pasal tertentu, posisi tawar buruh malah lemah. Atau UU Minerba di mana posisi tawar pemerintah daerah kurang kuat karena urusan izin, misalnya, lebih ditentukan pemerintah pusat. Juga, yang terbaru tentang UU KPK. Kewajiban melapor ke Dewan Pengawas KPK Â untuk urusan penyadapan, misalnhya, itu sebetulnya sudah melemahkan KPK. Tapi itu semua terjadi karena parlemen yang tambun. Semua masuk dalam koalisi pemerintahan sehingga tidak ada lagi yang menyanggah hal-hal yang belum menguntungkan rakyat banyak.Â
Muncullah berbagai predikat kurang sedap yang disandangkan ke parlemen kita. Ada yang menamainya dengan "parlemen rasa eksekutif", parlemen melempem, parlemen tidak bernyawa dan beberapa penamaan minor lainnya.Â
Oleh karena itu, kita berharap agar para petinggi partai sungguh mempertimbangakan perlu adanya semacam oposisi dengan proporsi yang memadai di parlemen sehingga bisa ada penyeimbang yang nantinya tidak sekadar memenuhi semua  kemauan pemerintah tetapi juga memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Tumpuan harapan kita tentu pada partai yang memperoleh suara parlemen yang besar untuk bertahan pada posisi penyeimbang ketimbang menerima tawaran koalisi pemenang pilpres, meskipun tentu ada insentifnya. Kalau partai-partai yang DNAnya suka gabung dalam pemerintahan, sudah pasti tidak bisa kita bendung.Â
Ada satu tawaran menarik untuk mengatasi problematika itu. Kiranya dipikirkan untuk menaikkan subsidi bagi partai. Dengan subsidi yang sekarang berkisaran antara Rp 1000,- hingga Rp 1500,- per suara, posisi oposisi atau penyeimbang menjadi tidak terlampau menarik. Bila saja bisa dinaikkan hingg Rp 100.000,- per suara, partai tidak terlalu perlu tergoda untuk ikut dalam power of sharing yang biasanya disertai insentif finansial. Dengan begitu partai-partai akan menerima pendapat bahwa berada dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan sama mulianya.Â
Dengan begitu juga kita akan mendapatkan politisi-politisi yang tidak hanya cari untung bagi kelompoknya sendiri tetapi juga berpikir untuk membela dan mensejahterakan rakyatnya; dengan cara mendebatkan hal-hal yang sekiranya jelas-jelas tidak menguntungkan rakyat banyak. Kalau sudah begitu, kita akan terhindar dari PARLEMEN TAK BERNYAWA. Semoga harapan ini terkabul. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H