Saat menjadi karyawan di perusahaan minyak dan gas dulu, saya mendapatkan kesempatan bertugas ke Amerika Serikat. Perjalanan tersebut dilakukan dengan kelas bisnis sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Penumpang kelas bisnis tentu saja menikmati berbagai kenyamanan. Kursi yang jauh lebih nyaman, layar tv yang lebih lebar, pelayanan pramugari yang lebih personal dengan menyapa nama kita, jenis makanan yang lebih mewah dan segala hal lain yang membuat kita merasa dimanjakan.
Semua hal kecil lain juga dibuat "lebih" dibandingkan dengan kelas ekonomi untuk mendukung suasana spesial tersebut. Contoh peralatan makan dan minum beneran, sendok garpu stainless steel bukan plastik.
Jadi saat penumpang mengambil kelas bisnis, tentunya ada berbagai harapan dari penumpang yang harus dipenuhi oleh maskapai. Ini wajar karena harga yang dibayar untuk kelas bisnis juga berlipat kali dibandingkan dengan kelas ekonomi. Kru pesawat juga sangat mengerti tentang hal ini. Hingga mereka selalu berusaha memberikan pelayanan lebih.
Nah, dalam perjalanan saya ke AS tersebut, saya dapati colokan USB di kursi saya mati. Saya melaporkan hal ini ke kru dengan harapan mereka bisa memperbaikinya. Sayang sekali ternyata tidak. Mana pula tidak ada kursi lain yang kosong sehingga saya tidak bisa pindah kursi.
Ya sudah, pikir saya. Bukan salah kru juga. Yang salah ya maskapainya kenapa tidak memeriksa dulu kondisi peralatan di pesawat tersebut. Sebagai orang Indonesia yang baik, saya menerima saja keadaan tersebut.Â
Sebenarnya saya tetap bisa men-charge batere hp saya karena colokan untuk kabel laptop bisa dipakai. Jadi saya bisa saja men-charge dengan menyambung kabel usb-nya ke laptop. Sedikit ribet, tapi bisa. Jadi urusan colokan usb tersebut sebenarnya tidak mengganggu saya.
Ternyata, tak lama kemudian, pramugari yang saya mintai tolong tadi kembali ke kursi saya. Dia minta maaf karena masalah USB tadi dan bukan hanya itu, dia juga memberikan voucher untuk belanja dari katalog mereka dengan nilai yang cukup besar. Kalau tidak salah dalam rupiah sekitar Rp 800 ribu. Not bad.
Tentu saja saya sangat senang menerimanya. Sebagai mantan anak kos yang serba kekurangan, menerima gratisan begitu tentu saja membuat saya tersenyum lebar.
Penerbangan saya menjadi lebih menyenangkan karena tindakan sederhana dari si pramugari. Bahkan terbukti hingga sekarang saya masih mengingat hal tersebut.
Saya rasa saat seorang konsumen membeli sebuah barang atau jasa tertentu, sangat wajar jika konsumen itu sudah mempunyai ekspektasi tertentu. Untuk barang atau jasa yang relatif mahal, ekspektasinya tentu lebih tinggi lagi.Â
Makanya jika penyedia barang atau jasa gagal memberikan hasil sesuai dengan standar kelas yang dibeli, konsumen berhak untuk kecewa dan bahkan mungkin marah. Kru penerbangan asing yang saya tumpangi itu mengerti sekali hal ini.Â
Dengan cepat mereka membuat keputusan untuk mengimbangi potensi kekecewaan saya dengan hal lain yang nilainya mungkin lebih besar. Saya tentu saja akan sangat senang memilih terbang dengan maskapai itu lagi jika suatu waktu mendapatkan kesempatan lain untuk terbang menggunakan kelas bisnis.
Kru tersebut sadar bahwa mereka mempunyai standar tertentu dalam pelayanan mereka. Dan mereka bangga akan hal tersebut. Kebanggaan ini salah satunya yang membuat mereka ingin memberikan yang terbaik untuk pengguna jasa mereka.Â
Banyak contoh lain dalam bisnis hospitality yang mungkin pernah kita rasakan ini terjadi. Tidak aneh karena memenuhi atau kalau mungkin melebihi ekspektasi pelanggan sudah menjadi mindset mereka. Â
Karena itu aneh kalau kritik justru dikriminalisasi. Dalam dunia media sosial sekarang ini, semua kritik tersebut dengan cepat menjadi viral. Apa yang diharapkan perusahaan penyedia jasa hospitality jika perusahaan tersebut menjadi viral secara negatif karena justru menolak masukan berharga dari pengguna jasanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H