Mohon tunggu...
Alomet And Friends
Alomet And Friends Mohon Tunggu... profesional -

Kami adalah perusahaan konsultan manajemen strategi yang berbasis pada proses dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Money

Pelurusan Penyimpangan Pengetahuan BALANCED SCORECARD : Pembelajaran di SBM ITB

17 April 2012   09:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:31 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334654847153304315

Sejak satu dasawarsa terakhir, Alomet and Friends telah berupaya melakukan pelurusan penyimpangan pengetahuan dan metodologi penerapan balanced scorecard. Melalui penyebaran pengetahuan –dalam bentuk tulisan, ceramah, maupun reguler workshop strateginya- serta penerapannya pada banyak konsultasi yang dilakukan. Berkat dedikasinya, Mathiyas Thaib selaku CEO Alomet and Friends dipercaya secara reguler untuk menjadi dosen tamu bagi mahasiswa paska sarjana School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB). Saat ini SBM ITB merupakan salah satu institusi pendidikan bisnis dan manajemen papan atas di tanah air. Selain itu, alumnus SBM ITB diyakini merupakan generasi muda produktif, progresif dan inovatif yang di masa depan diprediksi akan mencapai posisi-posisi strategis di pelbagai perusahaan papan atas di tanah air. Pembelajaran teranyar Alomet and Friends di pasca sarjana SBM ITB adalah pada Selasa (3/4) silam, dalam pembelajaran tersebut Mathiyas difasilitasi oleh Bpk. Adirizal, mantan Direktur  PT. Toyota Astra Motor yang belakangan ini mengabdikan diri di dunia pendidikan selaku Dosen tetap di SBM IRB. Berikut ini pokok-pokok pikiran pada pembelajaran tersebut: Penyimpangan Pengetahuan Sejak dipublikasikan pada dekade 1990-an, balanced scorecard telah menggebrak kebuntuan dunia manajemen strategi yang didominasi oleh mazhab balance sheet. Berbeda dengan balance sheet yang berfokus pada keseimbangan neraca (finansial), balanced scorecard justru mendedah kinerja perusahaan melalui empat perspektif, yaitu perpekstif pemegang saham, pelanggan, internal proses dan pembelajaran. Jika keempat perspektif diturunkan lagi, maka balanced scorecard memiliki kemampuan untuk mengakomodir kepentingan seluruh stakeholder. Esensi dari kerangka kerja ini adalah suatu perusahaan yang hendak tumbuh dan berkelanjutan di masa depan harus memenuhi seluruh keinginan para pemangku kepentingannya secara optimal. Para pemangku kepentingan perusahaan biasanya adalah pemegang saham, pelanggan, karyawan, pemasok dan mitra usaha, masyarakat sekitar serta pihak ketiga lainnya. Dewasa ini balanced scorecard telah banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di manca negara yang ingin memenangkan persaingan yang berkelanjutan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, muncul penyimpangan pengetahuan balanced scorecard. Penyimpangan yang paling mengemuka setidaknya ada di dua point. Pertama, maraknya penggunaan konsep Key Performance Indicator (KPI) Individu atau Sasaran Kinerja Individu (SKI), ataupun personal scorecard dengan indikator 4 perspektif. Kedua, publik beranggapan bahwa cukup dengan balanced scorecard, strategy map dan cascading seluruh persoalan kinerja individu (Individual Performance) dapat dipecahkan dalam rangka menerapkan konsep punishment dan reward bagi karyawannya. Kekeliruan Personal Scorecard Terpenuhinya keinginan dan kepentingan pemangku kepentingan perusahaan digambarkan atau diwujudkan dengan dapat dicapainya KPI dari setiap perspektif para pemangku kepentingan. Jika ditelisik lebih mendalam, perspektif tersebut dapat dibagi menjadi: 1) kelompok pemegang saham sebagai perspektif pemegang saham; 2) kelompok pelanggan sebagai perspektif pelanggan; 3) kelompok pemasok, mitra usaha, masyarakat atau pihak ketiga lainnya sebagai perspektif internal proses; 4) kelompok karyawan atau pelaku usaha sebagai perspektif iklim organisasi pembelajaran. Keempat perspektif tersebut, memiliki hubungan sebab akibat (cause effect relationship) yang diawali dengan perspektif iklim organisasi dan pembelajaran dan diakhiri dengan perspektif pemegang saham. Keempat perspektif tersebut memiliki objective, measurement, target dan initiative atau sangat dikenal dengan istilah OMTI dan Target- lah yang menjadi Key Performance Indicator (KPI) atau yang biasa disebut Indikator Kinerja Perusahaan. Target yang telah ditetapkan tidak pernah akan terjadi atau tercapai bila program initiative tidak dijalankan perusahaan dengan sungguh-sungguh secara detail. Kaplan menyebut “tidak ada manajemen tanpa pengukuran”, akibatnya akan banyak indikator kinerja perusahaan yang harus diukur, maka mahaguru balance scorecard tersebut menekankan pencapaian indikator-indikator kinerja yang bersifat kunci atau strategis –yang dengan pencapaiannya akan dapat mendongkrak kinerja perusahaan secara optimal. Persoalannya, akibat ketidakpahaman yang cukup mendasar dari banyak pihak terutama dari para eksekutif dan konsultan selaku peminat dan pengikut pengetahuan balance scorecard yang tidak memahami operation management sebagai dasar pengetahuan BSC, maka banyak pihak atau publik “tergoda” untuk mendayagunakan balanced scorecard lebih jauh. Terjadilah salah kaprah, KPI dipaksakan penggunaannya untuk mengukur kinerja individu yang sering disebut Key Performance Individu atau Sasaran Kinerja Individu (SKI) atau personal scorecard dan dengan konsep 4 perspektif pula. Padahal sejak awalnya Prof. Kaplan merancang Balanced Scorecard agar dapat digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan sebagai pengganti Balanced Sheet. Sebagai sebuah analogi tentunya selama ini kita tidak pernah mendayagunakan Balanced Sheet untuk mengukur kinerja karyawan perusahaan. Setidaknya ada dua kesalahan pada konsep ini. Pertama, berbeda dengan perusahaan yang memiliki ribuan proses bisnis dan aktivitas, individu atau tim kerja pada dasarnya hanyalah melakukan beberapa aktivitas atau sekumpulan kegiatan yang merupakan sebuah proses. Misalnya seorang koki dengan aktivitas rutin memasak dan menghias masakannya. Apa yang dapat dipaksakan sebagai indikator kunci dengan aktivitas yang maha sedikit seperti itu?  mengapa harus ada kata-kata Key, padahal jumlahnya hanya beberapa. Kedua, pengukuran dengan indikator 4 perspektif. Dalam prakteknya tidak mungkin seseorang karyawan pada level operasional dipaksa memiliki indikator kinerja layaknya sebuah perusahaaan dengan berbagai perspektif. Mustahil seorang supervisor atau karyawan di lantai pabrik diukur kinerjanya berbasis perspektif keuangan. Seorang karyawan, baik yang di lantai pabrik atau seorang perawat yang bertugas di kamar operasi rumah sakit, tidak mungkin memikirkan soal-soal keuangan sebagai indikator keberhasilan yang akan dievaluasi. Kekeliruan Cascading Dewasa ini, publik beranggapan cukup dengan konsep-konsep balanced scorecard, strategy map dan cascading seluruh persoalan kinerja perusahaan dapat dipecahkan. Padahal semua konsep dan model manajemen balance scorecard hanya bersifat kerangka kerja (framework) yang utuh pada level strategi (level1). Untuk dapat workable, maka kerangka kerja tersebut harus dibreak-down menjadi rancangan internal proses bisnis dan program inisiatif. Pada titik inilah diperlukan pendayagunaan rantai nilai (value chain)-nya Michael Porter dan proses bisnis (business process)-nya Michael Hammer. Rantai nilai dan proses bisnis tersebut adalah jiwa dari konsep proses kerja (work process) yang utuh pada level operasional (level 2…dst). Sayangnya Kaplan tidak pernah menjelaskan metode pendayagunaan rantai nilai dan proses bisnis secara rinci. Barangkali Kaplan beranggapan para peminat ilmunya sudah paham dan mengetahui mengenai alat-alat manajemen pada level operasional tersebut, sehingga tidak diperlukan penjelasan dan penjabaran lebih jauh mengenai alat-alat manajemen tersebut. Alih-alih sesuai, ketiadaan penjabaran tersebut malahan membuat penerapan balance scorecard menjadi salah kaprah dan tidak tepat. Ambil contoh cascading yang sering diungkapkan ketika perusahaan menyusun perencanaan strategi dengan menetapkan KPI berdasar balaced scorecard. Cascading sering disalahartikan atau dimengerti, sehingga sering diterjemahkan sebagai “diturunkan” atau “dibagi-bagi” dalam konteks pekerjaan dan tanggung jawab. Padahal penerapan cascading menuntut pemahaman tentang hubungan sebab akibat dan rancangan proses bisnis. Karena bagaimanapun, setiap aktivitas ataupun proses bisnis akan terkait dengan aktivitas dan proses bisnis selanjutnya. Penekanan sebatas pada fungsi dan tanggungjawab masing-masing hanya menjebak pada kebuntuan sinergi. Kalaupun perusahaan hendak mengetahui apa dan siapa pelaksana sebuah aktifitas atau sebuah proses kerja maka metode yang dipakai adalah Work Break Down Structure (WBS). Konsep inilah yang seharusnya digunakan ketika kita hendak membedah perspektif internal proses, dan bukannya sebatas mengandalkan pemahaman cascading yang banyak dilakukan oleh pengguna balanced scorecard di tanah air. Ambil contoh perkara fenomena memperbaiki kinerja sebuah perusahaan penerbangan yang selama ini selalu rugi karena persaingan yang tajam dan untuk memperbaiki kinerja perusahan penerbangan tersebut kuncinya adalah bagaimana meningkatkan pendapatan dan menurunkan biaya opersional perusahaan melalui peningkatan produktivitas. Menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan, berarti banyak program inisiatif strategi yang harus dilakukan perusahaan. Program-program inisiatif inilah yang di-break down kembali menjadi sub-sub program inisiatif dan aktivitas. Setiap sub program inisiatif dan aktivitas ini tentunya memiliki penanggung jawab program atau PIC dan atribut-atribut yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan spt; berapa biayanya, berapa lama waktunya dan seperti apa kualitas atau spesifikasinya supaya memenuhi standar. PIC beserta atribut-atribut untuk pengukuran tersebutlah, yang dapat djadikan dasar untuk mengendalikan pencapaian kinerja pada tingkat perusahaan sebagai leading indicator dan juga sebagai dasar penetapan kinerja individu atau individual performance. Sehingga dari uraian contoh diatas terlihat bahwa kata kunci pencapaian kinerja berbasis balanced scorecard bukanlah cascading seperti yang dipahami sebagian pihak peminat balanced scorecard, tetapi adalah rumusan dan jabaran program inisiatif berbasis work breakdown structure pada internal process perspective. Kekeliruan tersebut merupakan ketimpangan pengetahuan yang mendominasi publik dalam konteks balance scorecard, sebagai frame work perencanaan strategi yang berbasiskan pengetahuan manajemen operasional atau operation management. Semoga tulisan ini dapat berkontribusi dalam pelurusan kesenjangan pengetahuan tersebut. Wassallam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun