Mohon tunggu...
Agung Lestanto
Agung Lestanto Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

Analis Anggaran Ahli Madya Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tantangan APBN untuk Kembali ke Batasan Defisit 3 Persen PDB

22 September 2021   22:00 Diperbarui: 22 September 2021   22:06 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia telah menghadapi beberapa periode krisis dan sebagai bangsa, kita selalu berhasil melewati krisis tersebut, bahkan menjadikan krisis tersebut sebagai momentum untuk bertransformasi menjadi lebih baik, termasuk dalam hal pengelolaan keuangan negara.

Sebagai contoh, krisis keuangan Asia atau yang lebih dikenal dengan krisis moneter yang melanda Asia pada 1998, kemudian diikuti dengan terbitnya paket undang-undang keuangan negara yang secara fundamental mengubah pengelolaan keuangan negara menjadi lebih sistematis. 

Kemudian krisis keuangan global pada tahun 2009 kemudian diikuti dengan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang lebih berkualitas antara lain dengan penerapan sistem informasi keuangan negara (SPAN) serta implementasi lebih lanjut penganggaran berbasis kinerja dan pemanfaatan penganggaran dengan horizon jangka menengah. 

Kemudian, krisis utang yang melanda Eropa serta pengurangan stimulus moneter di Amerika tahun 2010 s.d. 2013 kemudian dilakukan kebijakan yang semakin meningkatkan kualitas belanja a.l. reformasi subsidi energi untuk diarahkan kepada belanja produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada akhir 2019 hingga saat ini, tentunya menjadi cambuk bagi kita semua untuk kembali bangkit dan sekali lagi membuktikan bahwa Indonesia mampu untuk melewati krisis yang terjadi untuk kemudian menjadi lebih baik. 

Selama pandemi ini setidaknya ada beberapa kebijakan Pemerintah yang dinilai sangat krusial yaitu: 

(1) relaksasi defisit APBN di atas ambang fiscal rule (tiga persen PDB) selama periode 2020 s.d. 2022 sesuai dengan Perppu nomor 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020, 

(2) penetapan UU Cipta Kerja/ omnibus law (UU nomor 11 tahun 2020) yang membuka “cakrawala baru”  bagi Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya dalam menyelaraskan peraturan-peraturan untuk mendorong iklim usaha, penciptaan lapangan kerja, serta produktivitas 1

(3) kebijakan refocusing serta realokasi belanja untuk difokuskan kepada penanganan pandemi serta pemulihan ekonomi nasional pada tahun 2020 s.d. 2021 ini, 

(4) penetapan turunan dari UU nomor 9 tahun 2018 dalam bentuk PP yaitu (i) PP nomor 58 tahun 2020 mengenai pengelolaan PNBP, (ii) PP nomor 59 mengenai keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP, serta (iii) PP nomor 69 tahun 2020 mengenai penetapan tarif PNBP, dan

(5) revisi UU mengenai ketentuan umum perpajakan yang saat ini dalam proses pembahasan di DPR, merupakan momentum dalam rangka membangun sistem perpajakan yang lebih baik.

Realisasi pendapatan negara pada tahun 2020, baik penerimaan perpajakan maupun PNBP, mengalami penurunan signifikan sebesar Rp312 triliun dibandingkan dengan kinerjanya pada tahun 2019 karena masifnya dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian 2

Namun demikian, turunnya pendapatan negara tersebut juga disumbangkan oleh relaksasi perpajakan dan PNBP yang diberikan Pemerintah kepada dunia usaha dan pengguna layanan, yang a.l. dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan dunia usaha sehingga saat perekonomian mulai pulih, kinerja dunia usaha dapat langsung bangkit yang juga diharapkan akan berdampak kepada penyerapan tenaga kerja. 

Pada tahun 2021 diperkirakan kinerja pendapatan negara akan mulai membaik dan dalam RAPBN 2022 yang disampaikan Pemerintah ke DPR, target pendapatan negarapun kembali meningkat, namun belum mencapai tingkat sebelum pandemi (gambar 1).

Di sisi lain, kebutuhan belanja negara tentunya semakin meningkat karena selain menjaga target pembangunan nasional juga kebutuhan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi relatif besar. Pada tahun 2020 saja realisasi untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp575,9 triliun. 

Pada tahun 2020, langkah penanganan kesehatan difokuskan kepada upaya penerapan protokol kesehatan melalui kampanye 3M, mengurangi mobilisasi, dan impelementasi testing, tracing, and treatment (3T). 

Pada tahun 2021 upaya penanganan kesehatan tersebut diperkuat dengan pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 sejalan dengan telah diproduksinya vaksin Covid-19 dan keberhasilan Indonesia untuk mendapatkan akses terhadap vaksin tersebut.

Kebutuhan alokasi penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi meningkat menjadi Rp744,8 triliun pada tahun 2021, diakibatkan terjadinya peningkatan kasus secara signifikan akibat munculnya varian baru virus Covid-19 pada Triwulan III 2021 yang “memaksa” Pemerintah untuk kembali mengetatkan mobilitas masyarakat yang berdampak kepada peningkatan kebutuhan untuk perlindungan sosial dan penanganan kesehatan. Kemudian, untuk pelaksanaan kegiatan reguler, termasuk layanan kepada publik, tentunya perlu menyesuaikan dengan protokol kesehatan.

Secara komposisi belanja, kenaikan belanja K/L yang signifikan pada tahun 2020 disebabkan oleh kebutuhan tambahan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dan belanja bunga utangpun mengalami peningkatan sejalan dengan kebijakan relaksasi defisit pada tahun 2020 dan 2021 yang akan meningkatkan outstanding utang Pemerintah (gambar 2).  

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Menarik untuk mencermati opsi yang dapat diambil Pemerintah untuk kembali menuju batasan defisit sebesar 3 persen PDB pada tahun 2023. Dalam RAPBN 2022 yang disampaikan Pemerintah bulan Agustus lalu, terlihat bahwa target defisit dalam RAPBN 2022 sebesar 4,85 persen PDB, lebih rendah dari realisasi tahun 2020 (6,14 persen) dan target APBN 2021 (5,7 persen). 

Hal ini menunjukan indikasi konsistensi Pemerintah yang menyatakan di tahun 2022 merupakan langkah konsolidasi fiskal untuk menuju defisit kembali di bawah tiga persen PDB 3

Namun, konsekuensinya belanja negara juga mengalami penyesuaian mengingat target penerimaan perpajakan (persen terhadap PDB) yang belum sepenuhnya mencapai level sebelum pandemi Covid-19. Padahal belanja negara tersebut di saat krisis ini mengemban dua tugas penting, yaitu: 

(1) mendukung pencapaian target pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2020 – 2024 dan (2) penanganan kesehatan dan mengakselerari pemulihan perekonomian.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Pemerintah untuk memuluskan langkah konsolidasi fiskal tersebut. 

Pertama, pemantauan yang kontinu terkait perkembangan pandemi Covid-19, termasuk waspada munculnya varian baru di Indonesia, tetap perlu dijalankan agar meminimalkan potensi terjadinya kembali lonjakan kasus baik di sisa tahun 2021 ataupun di 2022. Kondisi lonjakan kasus tentunya akan berdampak kepada kebutuhan tambahan alokasi yang besar untuk a.l. : 

(1) penanganan kesehatan meliputi a.l. peningkatan kegiatan 3T, lonjakan biaya klaim karena semakin banyak pasien Covid-19 yang dirawat; (

2) program perlindungan sosial dengan adanya pembatasan mobilisasi yang membutuhkan operasional pelaksanaan serta bertambahnya alokasi program bansos terutama bagi warga miskin dan terdampak karena periode pelaksanaan yang lebih panjang; dan 

(3) program pemulihan ekonomi yang menjadi semakin lambat berjalan dan menimbulkan beban tambahan untuk dapat menjaga keberlangsungan dunia usaha. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia maka akan menyebabkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung APBN, mengingat perlambatan perekonomian yang terjadi menyebabkan di tahun 2020 lalu APBN menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.

Kedua, mengoptimalkan sisi pendapatan negara, baik penerimaan pajak maupun PNBP. Rasio pendapatan negara terhadap GDP yang cenderung turun dengan pandemi Covid-19 mungkin perlu waktu untuk dapat pulih. 

Untuk itu, Pemerintah perlu mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi penerimaan yang baru seiring dengan perubahan struktur perekonomian yang terjadi dengan semakin majunya teknologi informasi, termasuk teknologi digital.

Riset vaksin Covid-19 yang tengah diselenggarakan oleh berbagai pihak perlu didukung untuk mendorong Indonesia menjadi negara produsen vaksin di tahun 2022, yang diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau bahkan bisa untuk ekspor.

Kemudian, Pemerintah perlu segera mereviu dan mengimplementasikan revisi perundang-undangan terkait perpajakan yang saat ini tengah dibahas dengan DPR.

Selain itu, Pemerintah juga perlu mengevaluasi insentif fiskal, baik insentifpajak dan relaksasi PNBP, yang diberikan kepada dunia usaha saat ini untuk dapat memprioritaskan insentif mana saja yang dapat di phasing out tanpa mengganggu iklim berusaha di Indonesia. Perbaikan basis penerimaan perpajakan dan PNBP di tahun 2021 tentunya akan meningkatkan kinerja pendapatan negara  di tahun-tahun berikutnya.

Ketiga, meningkatkan kualitas belanja negara, melalui a.l. reformasi di bidang belanja negara seperti penguatan basis data serta pemanfaatannya untuk meningkatkan ketepatan sasaran berbagai program bansos dan subsidi, mengintegrasikan pemanfaatan teknologi dalam memberikan pelayanan publik yang tentunya dapat diakses dengan lebih cepat, lebih efisien dari sisi waktu dan biaya, dan lebih transparan. 

Sistem kesehatan juga perlu untuk diperbaiki agar dapat lebih robust menghadapi kemungkinan pandemi atau isu kesehatan lainnya di masa depan. Kemudian, peningkatan kualitas pendidikan untuk menciptakan SDM yang lebih produktif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. 

Selanjutnya, Pemerintah juga perlu mengidentifikasi stimulus fiskal yang dapat dirasionalisasi setelah pandemi Covid-19 berakhir. 

Pengaturan terkait hubungan Pusat dan daerah juga potensial untuk ditingkatkan sinerginya sejalan dengan revisi Undang-undang mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah (HKPD).

Terakhir, optimalisasi pengelolaan pembiayaan anggaran perlu dipertajam untuk efisiensi kewajiban pembayaran bunga utang di tengah meningkatnya outstanding utang sebagai dampak pelebaran defisit di tahun 2020 dan 2021. 

Kebijakan creative financing perlu diperkuat terutama dalam pendanaan proyekinfrastruktur publik agar akselerasi pembangunan infrastruktur dapat tetap dijaga di tengah keterbatasan fiskal saat ini.

Kembali ke batasan defisit APBN maksimal sebesar 3 persen terhadap PDB merupakan langkah penting dan strategis namun perlu dilakukan secara berhati-hati agar dapat tetap menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah. 

Adalah tugas Pemerintah untuk terus menerus meningkatkan kualitas APBN, terlebih di saat pandemi seperti ini saat APBN menjadi penggerak utama perekonomian. Namun demikian, dukungan seluruh elemen masyarakat untuk memberikan peran terbaiknya demi bumi ibu pertiwi akan mempercepat pulihnya negeri dari pandemi.

Catatan kaki:

  1. Kemenkeu (1)
  2. Kemenkeu (2)
  3. Kompaspedia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun