Tes Pengenalan Diri Menggunakan Cermin
Tes cermin, juga dikenal sebagai tes pengenalan diri menggunakan cermin (mirror self-recognition/MSR), adalah teknik perilaku yang dikembangkan pada tahun 1970 oleh psikolog Gordon Gallup Jr. untuk menentukan apakah suatu hewan memiliki kemampuan pengenalan diri visual dan kesadaran diri. Tes ini melibatkan penandaan hewan dengan tanda visual, biasanya menggunakan pewarna atau stiker tanpa bau, pada area tubuh yang biasanya tidak terlihat, seperti dahi atau telinga. Hewan tersebut kemudian diberikan akses ke cermin, dan perilakunya diamati. Jika hewan tersebut menyentuh atau menyelidiki tanda di tubuhnya sendiri saat melihat cermin, ini diinterpretasikan sebagai bukti bahwa hewan tersebut mengenali gambar yang terpantul sebagai dirinya sendiri, bukan individu lain. Perilaku yang diarahkan pada tanda ini dianggap sebagai indikasi kesadaran diri dan kemampuan untuk pengenalan diri visual.
Inspirasi untuk tes cermin datang dari pengamatan Charles Darwin terhadap orangutan bernama Jenny di Kebun Binatang London pada tahun 1838. Darwin melihat Jenny menatap ke dalam cermin, yang membuatnya bertanya-tanya tentang kemungkinan pengenalan diri pada orangutan. Pada tahun 1970, Gordon Gallup Jr. melakukan studi eksperimental pertama tentang pengenalan diri menggunakan cermin dengan simpanse. Dia memaparkan empat simpanse liar remaja, yang belum pernah melihat cermin sebelumnya, pada pantulan mereka selama 80 jam. Awalnya merasa terancam oleh gambar mereka sendiri, simpanse tersebut akhirnya menggunakan cermin untuk perilaku yang diarahkan pada diri sendiri, seperti merawat area yang tidak terlihat.
Gallup kemudian membius simpanse tersebut dan menerapkan tanda pewarna tanpa bau. Setelah sadar kembali, dia mencatat seberapa sering mereka menyentuh area yang ditandai dengan dan tanpa cermin yang tersedia. Seringnya inspeksi terhadap tanda ketika cermin tersedia menunjukkan bahwa mereka mengenali gambar yang terpantul sebagai diri mereka sendiri. Ini menandai bukti empiris pertama tentang pengenalan diri menggunakan cermin pada spesies non-manusia. Variasi selanjutnya menggunakan penanda taktil atau melewati anestesi, tetapi metode inti mengamati perilaku yang diarahkan pada tanda tetap ada. Tes ini sejak itu dilakukan pada banyak spesies untuk menyelidiki kemampuan kesadaran diri.
Kritik terhadap Tes Cermin
Kritik utama terhadap tes cermin adalah bahwa tes ini mungkin tidak cocok untuk spesies yang lebih banyak mengandalkan indra lain selain penglihatan, seperti penciuman atau ekolokasi. Misalnya, anjing terutama mengenali orang lain melalui bau, sehingga mereka mungkin dengan cepat mengabaikan pantulan cermin mereka sendiri karena kurangnya bau yang terkait. Demikian pula, kelelawar yang menavigasi menggunakan sonar mungkin tidak merespons rangsangan visual murni seperti cermin dengan cara yang secara akurat mencerminkan kemampuan kesadaran diri mereka.
Faktor budaya dan lingkungan juga dapat mempengaruhi hasil tes cermin, terutama pada anak-anak manusia. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dari budaya dengan paparan terbatas pada cermin mungkin gagal dalam tes ini pada usia ketika anak-anak Barat biasanya berhasil, menunjukkan bahwa keterbiasaan dengan permukaan reflektif memainkan peran.
Selain itu, para kritikus berpendapat bahwa pelatihan yang ekstensif atau adanya motivasi tertentu, seperti hadiah makanan, dapat menyebabkan hewan menunjukkan perilaku yang diarahkan pada tanda tanpa pengenalan diri yang sebenarnya. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa tes cermin dapat mengacaukan respons yang dipelajari dengan kesadaran diri yang sebenarnya dalam beberapa kasus.
Alternatif dan Variasi Tes
Untuk menilai pengenalan diri pada spesies yang sangat bergantung pada penciuman, para peneliti telah mengusulkan tes "cermin olfaktori" sebagai alternatif untuk tes cermin visual tradisional. Pendekatan ini melibatkan memodifikasi bau hewan sendiri dengan cara tertentu dan mengamati apakah hewan tersebut menyelidiki bau yang diubah lebih intensif saat disajikan dengan sampel bau mereka sendiri dibandingkan dengan kontrol yang tidak dimodifikasi. Meskipun menarik, tes cermin olfaktori memiliki keterbatasan sendiri, karena sulit untuk memastikan bahwa modifikasi bau benar-benar tidak terdeteksi oleh indra lain.
Selain adaptasi sensorik, beberapa peneliti berpendapat bahwa spesies yang berbeda mungkin menunjukkan kesadaran diri melalui perilaku yang tidak tertangkap oleh tes cermin, seperti vokalisasi khas atau pola penandaan bau. Ekspresi pengenalan diri yang spesifik untuk setiap modalitas ini menyoroti kebutuhan akan penilaian multi-modal yang inovatif yang disesuaikan dengan kemampuan unik setiap spesies dan konteks ekologisnya. Seiring pemahaman kita tentang kognisi hewan semakin dalam, toolkit yang beragam dari tes mungkin diperlukan untuk sepenuhnya menyelidiki batas-batas kesadaran diri di seluruh pohon kehidupan.
Spesies yang Lulus Tes Cermin
Beberapa spesies yang telah lulus tes pengenalan diri menggunakan cermin meliputi:
1. Kera besar (simpanse, bonobo, orangutan, gorila)
2. Lumba-lumba hidung botol
3. Orca (paus pembunuh)
4. Gajah (setidaknya satu gajah Asia)
5. Gagak Eurasia
6. Ikan pembersih (cleaner wrasse)
7. Pari manta
8. Tikus (setidaknya satu strain tikus laboratorium)
Anak-anak manusia biasanya mulai lulus tes cermin sekitar usia 18-24 bulan, menunjukkan perkembangan kemampuan pengenalan diri.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua individu dalam spesies ini secara konsisten lulus tes, dan kinerja dapat bervariasi berdasarkan faktor seperti usia, lingkungan pemeliharaan, dan metodologi pengujian.
Pengembangan Tes Cermin
Para peneliti telah mengeksplorasi berbagai variasi pada paradigma tes cermin klasik untuk menyelidiki berbagai aspek kemampuan pengenalan diri. Beberapa variasi kunci termasuk:
- Sesi Cermin: Alih-alih paparan cermin tunggal, hewan menjalani beberapa sesi cermin yang diperpanjang selama berhari-hari atau berminggu-minggu untuk menilai efek pembelajaran.
- Review Gambar Cermin: Rekaman video perilaku cermin hewan ditinjau dan dikodekan untuk mengukur respons yang diarahkan pada tanda lebih tepat.
- Cermin Tertutup: Cermin secara berkala ditutup untuk menguji apakah inspeksi tanda berkurang ketika hewan tidak lagi dapat menggunakan pantulan.
- Cermin Tambahan: Beberapa cermin ditempatkan pada sudut yang berbeda untuk melihat apakah hewan menggunakannya secara kooperatif untuk melihat diri mereka dari perspektif lain.
- Variasi Tanda Cermin: Menggunakan zat penanda yang berbeda (pewarna, stiker, dll.) atau lokasi penandaan untuk memeriksa generalisasi stimulus dari pengenalan diri.
- Cermin yang Meragukan: Cermin non-reflektif "palsu" digunakan untuk membedakan perilaku yang diarahkan pada diri sendiri dari rasa ingin tahu umum tentang permukaan cermin.
Dengan memanipulasi kondisi tes cermin secara sistematis, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang dasar kognitif dan isyarat perseptual yang terlibat dalam pengenalan diri menggunakan cermin di berbagai spesies. Variasi ini membantu membedakan perilaku yang dipelajari dari kesadaran diri yang sebenarnya sambil menyelidiki batasan dan kekokohan kemampuan tersebut.
Lulus tes cermin secara luas diinterpretasikan sebagai bukti kesadaran diri dan pengenalan diri yang cukup canggih. Kemampuan untuk melihat refleksi diri sebagai representasi diri, bukan hanya individu lain, menyiratkan pemahaman konseptual tentang keberadaan diri sebagai entitas yang berbeda. Kapasitas untuk representasi meta ini dianggap sebagai ciri khas kesadaran dan kognisi yang lebih tinggi.
Namun, ketergantungan tes cermin pada pemrosesan visual telah membuat beberapa peneliti mempertanyakan apakah tes ini sepenuhnya menangkap kesadaran diri pada spesies non-visual. Ada seruan yang semakin meningkat untuk mengembangkan tes baru yang disesuaikan dengan spesialisasi sensorik dan kognitif unik setiap spesies untuk lebih menyelidiki batas-batas kesadaran hewan. Misalnya, tes "cermin olfaktori" menggunakan modifikasi bau dapat memberikan wawasan tentang pengenalan diri pada hewan yang berorientasi pada penciuman seperti anjing. Pola vokal, rutinitas perilaku, atau bahkan tanda-tanda neural dapat mengungkapkan kesadaran diri dalam modalitas yang tidak dapat diakses oleh manusia. Seiring pemahaman kita semakin dalam, toolkit yang beragam yang mencakup penilaian multi-modal kemungkinan akan diperlukan untuk memetakan distribusi filogenetik dan ekspresi beragam kesadaran diri di berbagai taksa.
Pada akhirnya, tes cermin membuka jendela penting ke dalam pengalaman subjektif spesies lain. Namun, keterbatasannya menyoroti kebutuhan mendesak akan metode inovatif yang sesuai dengan spesies untuk terus mengungkap misteri kesadaran dan kognisi non-manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H