Mohon tunggu...
Almunauwar Bin Rusli
Almunauwar Bin Rusli Mohon Tunggu... -

Almunauwar Bin Rusli lahir di Kotamobagu 18 Februari 1994. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta Bidang Studi Islam Konsentrasi Pendidikan Islam. Almunauwar Bin Rusli tinggal di Perumahan Griya Tugu Mapanget Blok B2 Nomor 18 Manado, Sulawesi Utara. Kontak : 082292011859

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka di Negeri Serambi Madinah

15 Agustus 2014   23:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:27 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotamobagu, Senin 14 Juli 2008

“Sayang, kamu kan sudah lulus SMA, kepikiran nggak mau lanjut di mana?” Tanya Mama mengawali perbincangan di teras rumah dengan secangkir teh hangat.
“Noura ingin melanjutkan studi di Universitas Negeri Gorontalo Ma. Insya Allah besok pagi Noura udah mau berangkat ke sana untuk tahap persiapan awal sekaligus ikut tes ujian masuknya, yaa kurang lebih selama tiga hari lah. Menurut Mama bagaimana?
“Hmm selama kamu bisa jaga diri dan taat beribadah, Mama dan Papa setuju-setuju saja, tidak ada masalah. Memangnya kamu mau ambil Fakultas apa nanti di sana?
“Noura sih ingin ambil Fakultas MIPA Jurusan Biologi Ma. Habis waktu di SMA Noura suka banget belajar tentang beragam jenis makhluk hidup, tumbuhan, hewan, bahkan Noura sudah merasa sangat dekat dengan mereka. Kayak keluarga sendiri. Hehehe”. Jawabku sembari menggenggam tangan Mama yang sudah tak halus lagi seperti dulu.
“Yaa udah kalau gitu, nanti Mama doain agar anak Mama yang cantik ini bisa lulus dan di terima sebagai Mahasiswi di kampus idaman. Amin.”
“Amin yaa Rabb. Terima kasih yaa Ma atas doanya. Karena setahu Noura doanya seorang ibu itu cepat diijabah oleh Allah.” Ucapku seraya bangkit dari tempat duduk dan mencium mesra pipi Mama yang sudah mulai sedikit basah.

Tak terasa malam semakin larut, segera ku rangkul tangan Mama untuk masuk kedalam rumah karena suhu udaranya begitu dingin menusuk qalbu. Tiba di depan pintu kamar, aku dan Mama berpisah sebagaimana biasanya, aku ke kamarku dan Mama ke kamarnya yang ukurannya tidak sebesar ukuran ruang kamarku. Namun, sebelum berpisah aku mencium untuk kedua kalinya pipi Mama dengan penuh cinta dan kasih sayang.

***
“Engkau Dinda yang ku puja teruslah bermimpi indah hingga hariku menjemput impian. Engkau Dinda yang ku sayang teruslah berharap bawa aku bintang hati yang terindah.” Ringtone alarm handphoneku berbunyi.
Oh tepat pukul 04.30 Wita. Pertanda Subuh akan segera tiba. Dalam keadaan menguap, aku bergegas masuk ke kamar mandi kemudian menyiapkan mukena untuk persiapan sholat Subuh. Berselang beberapa menit kemudian…
Allahhuakbar Allahhuakbar 2x
Asyhaduallah illa haillalah 2x
Asyhaduanna Muhammad darrasulullah 2x
Hayya alal sholah 2x
Hayya alal fallah 2x
As sholah tu khairum minannaum 2x
Allahhuakbar Allahhuakbar lailla ha illallah.

Demikian merdunya suara adzan yang sudah begitu akrab di telingaku, hingga timbul keinginan dalam hatiku untuk sekali-sekali menjadi petugas muadzin di masjid itu, karena ku pikir kan suara ku bagus, bahkan sering menjadi juara dalam kontes bintang vokalia malah, dengan begitu mungkin akan banyak jamaah yang akan datang ke masjid yang saat ini sudah mulai sepi pengunjungnya, entah mereka sibuk atau sudah tidak rindu lagi dengan Tuhannya. Hehehe, tapi ku sadar betul bahwa aku adalah seorang wanita yang dalam aturan agama tidak di wajibkan untuk mengumandangkan adzan. Sebab, kata guru ngajiku wanita itu lebih banyak resikonya kalau keluar rumah sendirian apalagi di waktu malam, dan tambahnya lagi kalau suara wanita itu adalah aurat, jadi mesti di batasi dalam kadar-kadar tertentu agar tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan wanita itu sendiri, pelecehan seksual misalnya. Aku berhenti sejenak dari asyiknya petualangan melewati jalan pikiranku sendiri, lalu memakai mukena dan melaksanakan ibadah sholat Subuh tanpa seorang imam yang akan ku cium tangannya sehabis berdoa, seorang imam yang dapat menghangatkanku dari dinginnya kebodohan, dan mendinginkanku dari panasnya rasa keingintahuan, serta seorang imam yang bisa menenangkanku dari sakitnya kegalauan.

***
Pukul 08.00 pagi, fisik dan bathinku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke Kota Gorontalo demi mengikuti tahapan persiapan awal serta tes ujian. Semua perlengkapan sudah ku persiapkan secara lengkap selesai sholat Subuh tadi, akhirnya aku pamitan dan mencium tangan Papa dan Mama dengan ucapan salam perjuangan. Mereka pun melepaskan kepergianku seorang diri dengan senyum hangat terselip doa agar aku selalu mendapatkan hasil yang terbaik.
“Ka’ Noura, Ka’ Noura semangat yaa, kalau bisa di jawab semua soalnya. Awas kalau ada yang salah.” Teriak adikku satu-satunya yang melongok dari arah daun pintu.
“Hehehe Insya Allah ya De’. Nanti Kakak usahain. Tapi kalau ada salahnya sedikit nggak apa-apa yah, kan tidak ada manusia yang mengetahui segalanya. Namun yakinlah setiap manusia pasti mengetahui sesuatu.” Jawabku sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah tersisir rapi.
“ Iya deh Kakakku yang paling pinter. Hmm hati-hati di jalan yaa Ka’. Kalau ada apa-apa telfon ade. Ade’ kan baru di beliin Papa handphone baru. Hehehe.” Balasnya.
“Hahaha bisa saja kamu De’. Ok ship pahlawan kecilku, nanti Kakak akan telfon ade.”

***
Di tengah perjalanan menuju tempat tes, aku kembali terbayang oleh wajah Mama, Papa dan Faiz adikku, dan oh ternyata aku mulai merindukan mereka, tapi aku berhasil menjinakkan perasaan rindu ini yang mulai berkeliaran di dalam kandang hati, agar bisa fokus untuk mengisi ujian tes nanti. Bus yang ku tumpangi pun sampai tepat pukul 17.00 Wita di terminal Kota Gorontalo. Sesampai disana, aku langsung mencari tempat untuk menginap kurang lebih selama 3 hari. Dan syukur Alhamdulillah, tak sengaja aku bertemu dengan seorang bapak yang baru ku kenal di warung makanan. Ia begitu ramah bahkan sopan santunnya sudah sangat berlebihan kepadaku, seolah-olah dia menganggapku seperti anaknya sendiri. Setelah mendengar penuturan panjang lebar dariku, dia pun mengizinkan aku untuk tinggal gratis di rumahnya bersama seorang istri dan kedua anaknya. Karena aku orangnya positive thinking, tanpa berlama-lama aku pun menyetujui penawarannya. Tiba malam terakhir di rumah itu, aku merasakan suasana yang agak sedikit berbeda di bandingkan dengan malam- malam sebelumnya. Yaa, rumahnya terlihat sepi tanpa penghuni. “ Ah mungkin ibu, bapak dan kedua anaknya sedang keluar sebentar untuk menikmati udara malam di alun-alun Kota.” Gumamku dalam hati. Momen pada malam itu pun aku manfaatkan sebaik-sebaiknya untuk belajar ekstra. Karena, ke esokan harinya aku akan menghadapi tes ujian agar bisa masuk di Universitas yang selama ini aku idam-idamkan. Tepat jam 12 tengah malam, terdengar bunyi ketukan halus di pintu kamarku. Aku pun segera membukanya.

“Boleh bapak masuk Noura? Tanyanya santun kepadaku
“Oh yaa silahkan Pak, ni kan juga rumahnya Bapak. Hehehe.” Jawabku

Kini, hanya ada aku dan bapak di dalam kamarku. Aku pun tak pernah menaruh curiga kepadanya. Sebab, semenjak awal ia begitu baik kepadaku bahkan aku sudah menganggapnya seperti orangtuaku sendiri. Tapi alangkah kagetnya aku, tanpa basa basi dia pun mulai mengambil jarak yang begitu dekat dengan tubuhku, memegang erat kedua pundakku, dan menatap mesra kedua bola mataku sambil berkata, “kau sungguh cantik Noura’, kau begitu seksi sekali, sejak kau disini, hampir setiap malam bapak selalu berfantasi seorang diri dalam nikmatnya surga onani, oh’ sungguh bapak sudah tak tahan lagi untuk melampiaskan nafsu birahi ini kepadamu, mari kita nikmati dosa terindah ini Noura.” Ujarnya kepadaku tanpa rasa berdosa. Dadaku berdegup kencang, emosiku meledak ketika mendengar apa yang baru saja ia katakan, lima jariku pun refleks menampar keras wajahnya yang sudah lancang berkata seperti itu kepadaku. Ia pun semakin menjadi jadi, di baringkannya tubuhku di atas ranjang dengan sekuat tenaga seraya membuka kancing kameja cokelat yang di pakainya. Aku pun berteriak histeris dan memberontak pada malam itu, hingga tak sengaja ku menendang buah zakarnya yang sudah mulai menegang. Ia pun jatuh tersungkur di bawah lantai dan merintih kesakitan. Ku coba bangkit dan berlari. Tapi, apa daya ketika hendak melangkah ia kembali mendekap tubuhku dan membaringkan untuk kedua kalinya di atas ranjang yang sudah berhamburan tak karuan. Mau tidak mau, aku harus kembali bertarung melawan ambisi birahinya dengan rasa takut yang sangat mendalam. Setelah melakukan perlawanan sengit yang cukup lama, akhirnya aku pun tunduk dan pasrah di hadapannya. Melihat kondisiku seperti itu, dengan cekatan ia mulai melepaskan satu per satu pakaian tidur merah maron yang aku kenakan, hingga aku hampir saja dalam keadaan telanjang. Aku hanya terdiam lemas berderai air mata karena mulutku di tutupnya dengan kain tebal sehingga aku tak dapat berkata-kata ketika ia mengusik payudaraku. Tapi ternyata, Allah tidak tinggal diam ketika melihat diriku teraniaya oleh nafsu dunia. Sebab, sebelum ia berhasil melepas pakaian tidur dan menikmati tabir kesucianku, tiba-tiba ada sosok pemuda tampan yang datang memukul kepala lelaki itu hingga mengeluarkan darah, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri. Dengan cepat aku menoleh ke arah pemuda itu, namun ia menghilang pergi entah kemana.

Saking geramnya, aku melompat dari ranjang hina itu, membereskan barang, kemudian pergi meninggalkan rumah yang berbau api neraka Hawiyyah. Seraya meneteskan air mata ketakutan, aku menyusuri gelapnya lorong jalan dan masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku alami di malam itu. Ya, lelaki yang awalnya begitu ramah ternyata hanyalah palsu belaka, lelaki yang awalnya begitu sopan ternyata hanyalah bualan syetan dan satu lagi, awalnya aku menyangka Negeri Serambi Madinah (Gorontalo) itu adalah tempat insan-insan beriman tapi ternyata hanyalah tempat bapak-bapak bajingan seperti dia. Setengah jam setelah perjalanan, aku mendapati sebuah musholah kecil dekat pertokoan. Aku pun memutuskan mampir sebentar untuk menenangkan kacaunya hati dan pikiran. “Yaa Allah, meskipun sakit batin ini, aku ingin mengucapkan rasa syukur karena Engkau telah menyelamatkan diri hamba dari hinanya nafsu dunia. Aku tak akan pernah bisa membayangkan jikalau pada saat itu Engkau tidak mengutus penolong-Mu untukku, mungkin aku sudah kehilangan kesucian dan keperawanan yang hanya ingin ku persembahkan kepada laki-laki yang kelak akan menjadi suami yang halal bagiku. Yaa Allah jadikanlah ini pengalaman pertama dan terakhir untukku, jadikanlah ini sebuah pembelajaran untuk menuju proses pendewasaan. Aku percaya Kau sayang padaku, sebab aku pun sangat menyayangi-Mu.” Pintaku lirih.

Tiba-tiba kumandang adzan subuh menghentikan laju doaku. Segera ku basuh wajah dan bagian-bagian tubuhku dengan air wudhu hingga jiwa ini benar-benar terasa tenang pada saat itu. Pukul 07.00 pagi, aku berangkat meninggalkan musholah dengan penuh optimisme dan keteguhan untuk bisa mengerjakan soal-soal ujian. Meski aku baru saja lolos dari korban pemerkosaan. “Ah, aku harus bisa melupakan kejadian semalam di rumah itu, toh sekarang aku masih baik-baik saja. Masih banyak lagi hal-hal penting yang harus aku pikirkan, dan aku kerjakan untuk meraih sebuah masa depan.” Begitulah upayaku meyakinkan hati yang telah tersakiti.

***
Seluruh peserta mulai memasuki ruang ujian, aku pun demikian. Tak lupa, seperti biasanya sebelum ujian aku selalu berdoa kepada Allah agar di mudahkan serta di beri kepahaman untuk mengerjakan segala sesuatu yang aku cita-citakan. Sebab ku yakin, jikalau pertolongan Allah itu terkadang menembus batas logika manusia. Tak terasa 3 jam telah berlalu, Alhamdulillah dari 120 nomor soal, aku telah berhasil mengisi 100 nomor, dan 20 nomornya lagi selesai tepat pada pukul 12.00 Wita. Lega hati ini rasanya, bisa menyelesaikan tes ujian tanpa ada halangan yang cukup berarti. Tiba-tiba rasa rindu yang sempat ku jinakkan kembali berkeliaran di dalam kandang hati, kali ini aku benar-benar tak tahu lagi bagaimana cara untuk menjinakkannya. Padahal, baru 2 hari aku tidak bertemu dengan mereka. Lalu aku putuskan untuk segera pulang sebab prajurit logika ternyata tak mampu merobohkan benteng perasaan yang berdiri kokoh di dalam dada. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri terlebih dahulu sholat dzuhur di musholah samping gedung ujian. Selesai sholat, aku segera menaiki bus arah Kotamobagu. Di dalam bus, tidak tahu mengapa rasa rinduku kepada Mama tak dapat lagi ku kendalikan, Yaa Allah ada apa ini? Tak biasanya aku merasakan hal seperti ini! Apakah ini pertanda hidup Mama sudah takkan lama lagi? Sebab rasa rindu ini membuatku tidak ingin jauh-jauh lagi dari Mama. Entahlah. Pukul 22.00 Wita, aku baru sampai di rumah, sebab sepanjang jalan aku di suguhi oleh acara kemacetan bak hajatan akbar di kota Makkah Al Mukarammah, ku lihat Papa sudah tertidur pulas di atas pangkuan Mama yang masih mencabut satu per satu rambutnya yang sudah mulai memutih di depan sebuah cermin. Aku pun tersenyum melihat romantisme mereka berdua.

“Assalammualaikum…
“Waalaikumsalam.. duh anak Mama baru pulang, pasti capek yaa?
“Eh gimana ujiannya sayang? Tanya Mama menghampiriku seraya memindahkan kepala Papa di samping kursi secara perlahan.
“Hu’um, capek banget. Alhamdulillah ujiannya lancar Ma. Semuanya, Noura jawab dengan usaha yang maksimal, dan hasil ujiannya insyaAllah akan di umumkan 2 minggu depan. Mudah-mudahan Papa dan Mama bahagia mendengarnya” jawabku sambil mencium tangannya.
“Iya Mama yakin kamu pasti akan mendapat hasil yang terbaik, yang penting jangan pernah lupa berdoa kepada Allah dan bersyukur terhadap apa saja yang ia berikan, entah itu nikmat maupun musibah. Ok, sekarang kamu mandi, makan, terus langsung istirahat, agar besok bisa beraktifitas seperti biasanya” balas Mama menepuk pundakku yang mulai terasa letih oleh jauhnya perjalanan.
“Iya terima kasih yaa Ma, Noura akan selalu mendengar nasehat-nasehat Mama. Noura sayang Mama” kami pun saling berpelukan.

***

Tibalah saat-saat yang paling menegangkan dalam hidupku, hasil kelulusan ujian tes akan segera di umumkan tepat pukul 10.00 pagi, aku pun menanti pengumumannya di surat kabar harian daerahku. Perlahan tapi pasti ku mulai membuka lembaran demi lembaran surat kabar yang ku pegang. Yupss ini dia kolom pengumumannya, mataku mulai terfokus dan jari telunjukku bergerak ke bawah melewati beberapa nama peserta dari berbagai wilayah. Tiba di urutan ke 114, mataku berkaca-kaca, jariku berhenti dengan sendirinya, melihat apa yang tertera pada surat kabar itu. “Yee yeee yeee Alhamdulillah aku lulusssssss. Terima kasih yaa Allah.” Ucapku bangga dengan mata yang berkaca-kaca. Dengan kencang, aku berlari menuju kamar Mama untuk menyampaikan kabar gembira ini, tapi ketika hendak membuka pintu kamar, langkahku terhenti sejenak melihat Mama sedang khusyuk dalam sholat dhuhanya, perlahan ku perhatikan ia mulai meneteskan air mata bahagia, rupanya ia sudah mengetahui apa yang aku rasakan. Tanpa pikir panjang, ku hampiri ia dan memeluk erat hangat tubuhnya.

“Ma, Noura lulus Ma. Terima kasih atas jasa, pengorbanan, dan doa Mama selama ini. Mama yang telah mengandung Noura selama 9 bulan, Mama yang sudah memperjuangkan hidup dan mati hingga Noura dapat hadir di dunia ini, bahkan Mama juga yang telah merawat Noura dengan penuh kelembutan dan kasih sayang”. Ucapku menahan isak tangis kebahagiaan. Sebenarnya pada saat itu juga aku ingin menceritakan kepada Mama bahwa aku selamat dari korban pemerkosaan oleh lelaki yang tak bertanggungjawab yang hampir saja merenggut kesucianku di malam itu. Tapi aku takut, lidahku kaku untuk melafadzkannya. Biarlah ini kan menjadi rahasia hatiku, pemuda itu, dan tentunya Allah sebagai penguat jiwaku. Sambil menutup doanya, Mama bertutur kepadaku, “Sayang, Mama sudah tahu apa yang kamu rasakan dan tak ada kebahagiaan yang Mama inginkan selain melihat kamu dan adikmu menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta menjadi seorang insan yang selalu di rindukan orang. Sudah, sekarang hapus air matamu, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberikanmu kesempatan untuk menuntut ilmu. Sebab, ilmu adalah harta yang akan terus mengikuti kita kemanapun kita melangkah”. Jawab Mama sembari melepaskan mukena yang warnanya sudah mulai memudar.
“Iya Ma, Noura nggak kan nangis lagi, nanti make up nya luntur. Hehehe.” Jawabku seraya menghapus air mata dengan selembar tissue.

***
Gorontalo, Sabtu 14 Januari 2012

4 tahun kemudian, tepatnya tanggal 14 Januari 2012, aku merayakan ulang tahunku yang ke-23. Umur yang sudah tak bisa lagi di bilang muda, hehehe sok ketuaan aku. Bahagia ku rasakan saat itu, bisa foto narsis sama teman-teman cewek lalu di upload ke layar facebook, suap-suapan cake cokelat favoritku, nyanyi bareng meski suara agak sedikit fals, bahkan Rio teman cowokku tega menyiramku dengan 1 ember air hingga aku basah kuyup kedinginan. Aku pun tak tinggal diam, ku ambil kue cake yang masih tersisa di atas piring lalu ku tampalkan tepat di wajahnya.

“Humpp rasain lo Rio. Itu pembalasan dariku, habis kamu sih pakai acara nyiram segala hahaha.” Ucapku meledeknya
“Huhhh tapi nggak apa-apa lah. Lumayan, pipiku bisa di sentuh ama bidadari cantik kayak kamu Noura.” hihihi
“Apa bidadari cantik? Hahaha gombal banget kamu, Yo! Ckckckck….”
Dari ramainya suasana sore itu, tiba-tiba dari arah kejauhan aku melihat pak pos mengendarai sepeda motor dan berhenti tepat di depan gedung fakultas tempat kami berkumpul.

“Maaf Dek, numpang nanya, kalian kenal nggak sama Putri Noura Mokoginta”?
“Ia Pak, saya orangnya. Memangnya ada apa yaa?” Tanyaku sedikit penasaran
“Oh kamu, ini ada kiriman amplop dari ayahmu di Kotamobagu. Mohon di paraf dulu tanda terimanya.” Jawabnya seraya memberiku pena
“Ok. Terima kasih yaa Pak.”
“Iya sama-sama Dek” balasnya memutar setir motor lalu pergi meninggalkan kami.

Hatiku pun merasa sangat bahagia ketika menerima amplop dari Papa. Aku berpikir “ Duh Papa baik banget deh, pas di hari ulang tahunku masih sempat-sempatnya mengirim uang jajan. Padahal uang jajanku kan masih ada. Hehehe ini baru namanya Papa Noura”. Karena tak sabaran, segera ku buka amplop itu dan ternyata isinya tidak sama sebagaimana yang ku bayangkan sebelumnya. aku terdiam sejenak, dan bertanya di dalam hati “ apa maksud Papa mengirimku surat seperti ini, membaca pun ia jarang apalagi menulis, atau jangan-jangan Papa sudah beralih profesi menjadi seorang penulis kali yaa, hehehe.” Tanpa pikir panjang aku pun cepat-cepat membuka surat itu dan membacanya.
Assalammualaikum wr.wb

Noura sayang, selamat ulang tahun yang ke 23 yah, mudah-mudahan engkau senantiasa menjadi insan yang berguna dan di berkahi Allah. Papa bangga dengan prestasi terbaik kedua Olimpiade Biologi Tingkat Nasional yang telah kau raih di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tapi, Papa mengerti kamu tidak mau agar diberitakan kepada orang lain, karena akan menjadi perbuatan riya'. Oh ya, tolong sampaikan salam dan ucapan terima kasih Papa pada keluarga Ummi Aidah yang selama ini sudah begitu baik bahkan dengan senang hati memanggilmu untuk tinggal bersama mereka. Terus, kapan libur semesternya? Papa merinduimu Nak. Sebenarnya, Papa ingin sekali meneleponmu untuk sekedar mendengar suara manjamu, tapi Papa tidak kuat untuk mengatakan sesuatu hal kepadamu, tapi mau tidak mau sekarang akan Papa katakan, kalau saat ini tidak ada lagi sosok wanita yang sangat kau cintai dan sayangi, wanita yang selalu membelai rambut panjangmu, memeluk tubuhmu, dan wanita yang selalu mendoakanmu. Mama telah pergi untuk selamanya. 3 hari yang lalu dirinya mengalami kecelakaan berat ketika hendak mengantarkan kado ulang tahun untuk hari jadimu Nak, dan nyawanya pun tak dapat di selamatkan. Awalnya Papa sudah sempat melarangnya untuk tidak pergi menemuimu. Sebab, sejak 1 minggu sebelum musibah ini tiba, perasaan Papa sepertinya akan kehilangan sesuatu di keluarga kita. Tapi apa daya, Mamamu tetap bersikukuh untuk pergi. Papa ingat betul kata-kata terakhir sebelum ia pergi meninggalkan rumah “ Pa, ni kado special yang Mama beliin khusus untuk Noura anak kita, buah hati kita, darah daging kita, Mama ingin sekali bertemu dengannya, untuk sekedar memastikan apakah dia baik-baik saja atau tidak ,masih rajin ibadah atau tidak, dan masih cantik seperti Mamanya atau tidak,, hehehe. Tapi Pa, kalau seandainya Mama tak dapat bertemu dengan Noura, tolong jaga, cintai dan sayangi dia, serta berikanlah hak-haknya ketika ia mulai membutuhkannya. Terakhir buat Faiz, didiklah ia Pa, karena Mama sudah tak bisa lagi mendidiknya untuk waktu yang cukup lama. Itu saja pesan Mama.” Begitulah kata-kata terakhirnya pada Papa Nak. Semoga kau tabah membaca tulisan ini. Perlu kau tahu, ini adalah lembaran kertas yang ke seratus empat belas yang berhasil Papa tulis, karena kertas yang pertama hingga keseratus tiga belas semuanya basah oleh air mata Papa yang tumpah mengenang wajah Mama. Wassalammualaikum wr wb.

***
Denyut nadiku terhenti, ruang bathinku terasa kosong, hampa, penuh debu dan tak bertuan.Yaa, kebahagiaan yang ku rasakan pada sore itu seakan lenyap seketika di telan bumi, aku sangat merasa kehilangan saat itu, aku telah kehilangan ibu kandung yang senantiasa mendoakanku, aku kehilangan penghibur jiwaku ketika aku rapuh, aku kehilangan malaikat tanpa sayap yang selalu mendekap tubuhku dan membelai rambut panjangku. Sekilas aku terbayang oleh moment-moment indah yang sebentar lagi akan ku jalani. Sambil menahan isak tangis, aku pergi menjauh dari teman-temanku dan duduk menyendiri di sudut dinding ruang laboratorium sembari membuka foto tarakhir Mama di layar handphoneku. Dengan suara pelan aku mulai berujar…

“Ma, mengapa begitu cepat Mama pergi meninggalkan Noura?
“Mengapa Mama pergi pas di hari ulang tahun Noura?
“Apakah Mama sudah tidak sayang lagi sama Noura?!!! Jawab Maaaaaaaaa…
“Oh iya, tau nggak Ma, beberapa tahun yang lalu waktu Noura pergi ikut tes sendirian ke luar daerah, Noura hampir saja di perkosa di sebuah rumah oleh seorang lelaki bajingan. Noura di paksa untuk melayani nafsu birahinya, untungnya ada seorang pemuda tampan yang datang menyelamatkan Noura. Tapi, sampai saat ini Noura tak mengenal siapa dirinya. Noura sungguh shock pada malam itu Ma, Noura takut, Noura ingin memanggil Mama, Noura ingin memeluk Mama, tapi sekarang Mama sudah tidak ada.
“Ma, sebentar lagi Noura akan memakai toga dan baju sarjana, Noura ingin Mama ada di samping Noura pada saat wisuda, agar Noura bisa tunjukkin ke teman-teman bahwa inilah Mama yang sangat Noura cintai dan sayangi.”
“Ma, Noura ingin Mama yang memilihkan baju pengantin yang akan Noura pakai saat menikah nanti dengan pria yang Noura cintai, dan Noura ingin Mama melihat cucu pertama Mama yang insyaAllah akan lahir dari dalam rahim Noura.
“Ma, Mama dengarkan apa yang Noura katakan?” ucapku tanpa henti-hentinya meneteskan air mata.

Namun ku sadar, Mama takkan bisa lagi berkata-kata seperti dulu. Selamat jalan Ma, semoga Mama tenang di alam sana. Noura janji akan sering-sering berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Mama. Sudah dulu yaa Ma, air mata Noura telah kering keronta, Noura harus mengikhlaskan semuanya. Tuhan, aku titip Mama. Semoga, Negeri Serambi Madinah tak lagi menggoreskan luka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun