Mohon tunggu...
Almunauwar Bin Rusli
Almunauwar Bin Rusli Mohon Tunggu... -

Almunauwar Bin Rusli lahir di Kotamobagu 18 Februari 1994. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta Bidang Studi Islam Konsentrasi Pendidikan Islam. Almunauwar Bin Rusli tinggal di Perumahan Griya Tugu Mapanget Blok B2 Nomor 18 Manado, Sulawesi Utara. Kontak : 082292011859

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menata Sekolah : Menyalakan Optimisme Anak Bangsa

10 Oktober 2014   17:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sebenarnya, yang menyelamatkan kita bukanlah pendidikan, melainkan keterampilan”. Begitulah singgung seorang penulis tua disalah satu media TV Nasional. Pernyataan ini ingin menggugat konsep pendidikan kita yang terlalu kaya teori tapi lemah pada ketepatan aplikasi, ditambah pula pendidik yang memiliki kompetensi paedagogik, profesional, sosial serta kepribadian sesungguhnya bisa dihitung dengan jari. Sedangkan dibalik tembok keprihatinan tersebut, terdapat fakta yang menyesakkan dada. Dalam sebuah studi internasional pada tahun 2006, dari 57 negara, Indonesia berada diurutan ke-52 untuk ilmu alam, ke-48 untuk membaca, dan ke-51 untuk matematika. Sementara, Studi lain pada tahun 2007 menetapkan Indonesia diurutan ke-57 dari 65 negara yang mengikuti ujian dalam pelajaran matematika dan ilmu alam.[1]

Terpisah dari itu, konferensi internasional yang diselenggarakan oleh PGRI pada awal tahun 2010 mengambil tema “The Child Friendly School” yang merupakan gagasan utama pendidikan abad ke-21. Tema ini diambil karena pendidikan di berbagai belahan dunia tengah dilanda oleh kekhawatiran pendidikan yang telah berubah menjadi penjara. Peserta didik telah dimatikan kreativitasnya demi untuk mencapai berbagai standar pendidikan. Sekolah telah dianggap pabrik yang memproduksi manusia yang terstandardisasikan melalui Ujian Nasional yang uniform. Pendidikan bukan lagi suatu proses yang membebaskan peserta didik seperti gagasan Ki Hajar Dewantara, Mohammad Syafei, Ivan Illich, atau Paulo Freire, tetapi sekedar untuk mendapatkan ijazah atau lulus Ujian Nasional.[2] Sekolah yang membebaskan adalah yang mampu merubah keadaan potensial menjadi aktual kekinian.

Potret ironis ini sebagai konsekuensi logis dari mundurnya kesadaran dan lunturnya tradisi keilmuan. Padahal, cita-cita menuju gerbang kehidupan yang lebih baik hampir menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Mulai dari yang menulis di layar gadget maupun yang duduk berjongkok sambil menggariskan mimpinya dengan sebatang kayu di atas tanah karena ketidakmampuan membeli kertas di warung tetangga. Ditampilkannya kalimat ‘membangun’ secara tidak langsung mengindikasikan bahwa selama ini eksistensi pendidikan nasional masih ‘tertidur’. Lalu, apanya yang salah? Jawaban sederhananya, distribusi guru tidak merata dan kualitas guru rendah. Akhirnya, tidak ada agen yang mampu menginspirasi jutaan hati dengan keteladanan membanggakan.

Kalau kita ingin menggunakan perhitungan matematis dari 2014 ke 2045, maka ada waktu panjang selama 31 tahun untuk melakukan proses perubahan, mempertajam prinsip dan memperjuangkan pilihan. Sekali lagi, ketertinggalan bukanlah hal yang mesti terus diceramahkan, melainkan harus ditindaklanjuti secara berkesinambungan. Kalau tidak, anak bangsa akan terbiasa bermental konsumen bukan produsen. Efeknya sudah bisa ditebak, yakni terjadinya ketimpangan ekonomi yang mendekatkan pada kekacauan sosial. Pertanyaan mendasar ialah, apakah pemerintah bisa mengejar seorang diri? Tentu jawabannya tidak. Di sinilah dibutuhkan sinergisitas “ABG” (Academician, Businessman and Government).

M     Menata sekolah berbasis pendidik dan kelas adalah fokus dalam tulisan ini. Sebab, sekolah sangat mempengaruhi siklus pengetahuan, sikap dan keterampilan. UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwapendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Efektifnya definisi ini jika dilakukan penetapan tujuan sekolah, review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya, pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan, justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan, implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan adanya pelaporan hasil.[3]

Pertama, menuju Indonesia emas 2045, mewajibkan kita menyeleksi tenaga pendidik yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidangnya masing-masing. Caranya dengan mengadakan tes langsung (lisan/tulisan), melihat catatan prestasi akademiknya pada institusi terkait, kemudian prestasi sosial yang berhubungan dengan pendidikan dilengkapi bukti-bukti konkret. Jika tidak, harus segera dilengserkan. Tugas selanjutnya, mengadakan analisis permintaan pendidik di pelosok Negeri. Sebab, di sanalah banyak tumpukan harapan yang sedang menunggu kepastian, apakah mereka akan mendapatkan sekolah yang layak atau langsung menjadi kuli-kuli industri di bawah terik matahari. Melakukan pendekatan kultural dan emosional dengan Kepala Daerahnya adalah langkah bijaksana yang tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Tenaga pendidik yang memiliki world class competence, tapi nuraninya berpijak pada masyarakat, itulah yang diutamakan.

Kedua, ruang kelas sangat tergantung oleh selera dan cara berpikir muridnya. Selera meliputi lingkungan belajar yang sejuk, nyaman, mencerdaskan dan menyenangkan. Dr. Marian Diamond menemukan bahwa tikus-tikus laboratorium yang hidup di lingkungan yang kaya adalah pelajar-pelajar yang baik.[4] Sedangkan berpikir meliputi tahap pengakuan, penerimaan rasa, serta tindakan. Ilustrasinya seperti ini, “Pada hari Senin pagi, Ibu Riry masuk ke dalam ruang kelas III Al-Khawarizmi di SDN 01 Yogyakarta dengan wajah ceria. Di seragam dinasnya terdapat bros berbentuk bundar dengan tulisan “jika tidak menyimak pelajaranku, kau akan rugi besar”. Ketika tiba di hadapan murid-muridnya, sang guru mengucapkan, “Assalammualaikum, selamat pagi kelasnya orang-orang hebat! Apa kabar anak-anakku tersayang? Oh ya, siapa yang hari ini berulang tahun? Ayo maju ke depan. Ibu punya kejutan spesial. Atau, siapa yang ingin memberikan kata-kata inspirasi? Silahkan berdiri, dan teman-teman lain akan memberikan aplaus yang paling meriah”. Setelah apersepsi selesai, Ibu Riry membagi kelompok belajar lalu menjelaskan keterampilan Matematika menggunakan notasi dan simbol. Di papan tulis sudah tergantung poster manusia berwarna warni. Ibu Riry meminta mereka menyebutkan satu per satu jenis anggota badan pada poster kemudian menjumlahkan anggota badan mereka sendiri. Isi kelas juga seolah ‘berbicara’. Ada alunan music classic, AC, deretan pot bunga, serta perpustakaan mini yang teratur rapi. Di sebelahnya ada tempat bermain. Dinding-dinding yang kosong pun dipenuhi koleksi kata disertai gambar. Semua kata dan gambar itu memotivasi mereka untuk tetap belajar. Diantaranya, ada sosok BJ Habibie, Muhammad Nuh, Anies Baswedan, Munif Chatib dan tidak ketinggalan foto mereka bersama Papa Mama di rumah. Baik itu sedang merayakan keberhasilan, berkompetisi, maupun menerima tantangan. Ibu Riry juga selalu memberikan sertifikat penghargaan sekaligus mengajak murid terbaiknya jalan-jalan ketika mereka meraih hasil terbaik saat evaluasi pembelajaran.”

Ibu Riry adalah gurunya manusia. Dia mampu menyajikan informasi sederhana, nyata, dan bisa diproses dengan cepat. Diawali dengan pemakaian bros serta penamaan kelas yang kreatif, yakni kelas Al-Khawarizmi yang notabane seorang ilmuan besar di bidang Matematika, lalu menghargai sekaligus mengakui keberadaan individu dengan reward yang telah disiapkan. Selain itu, dia mampu mendisplay kelas dengan beragam instrumen pendukung, sehingga kelas menjadi seperti surga bukan penjara. Perpaduan antara selera dan berpikir ini akan lebih indah jika menerapkan single track system bukan multiple track system. Artinya, mengkhususkan mata pelajaran pada keahlian yang diminati alias tidak banyak tuntutan sistem yang membuat wajah pendidikan kita terkesan amburadul.Hal ini juga bisa ditopang oleh penerapan cooperative learning (pembelajaran berbasis magang dengan 3 acuan utama, dapat memahami, memecahkan, serta mengantisipasi masalah) dan learning society (pembelajaran berbasis banyak sumber, seperti televisi, handphone, internet, koran, radio, wawancara dll).

David Jenner Martin dalam Elementary Science Methods, A Constructivist Approach memberikan ide brilian tentang keterampilan. Menurutnya, ada 12 keterampilan ilmiah yang harus dikuasai murid, yakni, observasi, klasifikasi, berkomunikasi, mengukur, memprediksi, membuat inferensi, mengidentifikasidan mengontrol variabel, membuat dan menguji hipotesis, menginterpretasi data, membuat definisi operasional, bereksperimen serta membangun model.[5] Ide ini sebenarnya ingin menegaskan bahwaproses pembelajaran di sekolah adalah menempatkan murid sebagai pusat perhatian. Karena sekolah adalah tempat untuk meninggalkan jasa, bukan noda apalagi luka. Pendidik yang baik adalah mereka yang mengajar dengan hati bukan dengan penggaris besi.

Rogers (1961) menekankan, kecenderungan alamiah kita sebagai pembelajar adalah memenjarakan diri pada beberapa ranah yang membuat kita nyaman. Maslow (1962) juga mengemukakan, untuk memiliki skill baru, maka seseorang mutlak perlu dibuat tidak nyaman dalam arti memberikan pekerjaan outdoor secara bertahap untuk diselesaikan dalam batas waktu.[6] Sebagai kesimpulan, sekolah harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari. Sekolah harus menguntungkan. Sekolah harus diorganisasikan secara lokal. Penyesuaian bahasa, alam pikiran, gender, dan etnis murid akan mempercepat penerimaan pelajaran. Sekolah harus membantu menumbuhkan kesadaran dan kesiapan terhadap perkembangan budaya belajar murid. Sekolah harus membuat murid menyadari siapa dirinya, posisinya, dan akan seperti apa dia kelak.Meminjam istilahnya orang Maluku,“Beta Sekolah, Beta Merdeka”.

1 Dewi Susanti, “Inovasi Dan Penelitian Bagi Pemerataan Pendidikan Berkualitas” dalam Sutjipto (ed), Pendidikan Nasional : Arah Ke Mana?, (Jakarta : Kompas, 2012), Cet ke-I, h. 61

2 H.A.R. Tilaar, “Kata Pengantar” dalam Utomo Dananjaya, “Media Pembelajaran Aktif”, (Bandung : Penerbit Nuansa Cendekia, 2013), Cet ke-III, h. ix

3 Amiruddin Siahaan et. al, “Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah”, (Ciputat : Quantum Teaching, 2006), Cet ke-I, h. 6

4 Bobbi DePorter & Mike Hernacki, “Quantum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan”, Terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung : Kaifa, 2003), Cet ke-XVII, h. 78-80

5Amiruddin Siahaan et. al, “Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah”, op. cit., h. 17

6 Bruce Joyce, et.al “Models of Teaching”, Terj. Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), Cet ke-II, h. 451

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun