Peran media massa di zaman globalisasi seperti saat ini sangatlah urgent. Media massa menjadi perantara antara rakyat dengan informasi nasional maupun internasional. Begitu pula dengan Indonesia. Tidak bisa dibayangkan lugunya rakyat jika media massa dibredel keberadaanya seperti pada saat pemerintahan Orde Lama. Pembredelan media massa dulu membuat rakyat tidak memiliki sarana menyuarakan aspirasinya. Suatu keadaan yang bertentangan dengan prinsip negara demokrasi.
Masa yang kelam dalam demokrasi Indonesia itu pun telah berlalu. Banyak perubahan-perubahan di berbagai bidang sebagai tuntutan dari reformasi. Tak terkecuali media massa, yang kini diklaim sebagai salah satu pilar demokrasi. TV sebagai salah satu media massa elektronik saat ini bukan menjadi kebutuhan tersier lagi. ‘Kotak ajaib’ ini mudah di jumpai di rumah-rumah rakyat Indonesia. Berbagai stasiun TV dengan beraneka ragam acarapun dapat dinikmati. Namun, apakah TV saat ini benar-benar dapat melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi?
Jika melihat realita yang terjadi, banyak yang harus dibenahi dari stasiun TV sebagai salah satu media massa di Indonesia. Tentunya dari segi profesionalismenya. Point pertama,berkaitan dengan sikap stasiun TV yang seharusnya independent, tidak memihak dan tanpa tekanan. Artinya apa yang disajikan oleh stasiun TV disampaikan secara obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Di Indonesia sendiri, hal semacam ini belum sepenuhnya dapat dilakukan. Hal ini tidak lepas dari TV yang menjadi industry ekonomi, yang tentunya memiliki visi dan misi. Visi dan misi suatu stasiun TV sangat dipengaruhi dari para elitis media yaitu pemilik, pemegang saham dan penyedia modal. Tak sedikit pula dari elitis media tersebut merupakan politikus-politikus yang akan bersaing di PEMILU 2014 nanti. Maka pencitraan atas suatu partai politik atau aktor politik tertentu menjadi hal yang biasa.
Belum lama ini terjadi peneguran yang dilakukan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terhadap TVRI (Televisi Republik Indonesia). Direktur Lembaga Pemantau Tayangan Televisi Indonesia, Roy Thaniago, mengatakan bahwa siaranblocking timeacara konvensi calon presiden Partai Demokrat di TVRI pada Ahad malam, 15 September 2013, melanggar Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (Tempo, 18/9). Stasiun TV milik negara yang seharusnya bisa menayangkan fakta secara obyektif dan menjadi contoh stasiun TV swastapun terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini merupakan contoh bahwa sangatlah sulit menghadirkan kenetralan stasiun TV terhadap pemberitaan.
Tentu TV menjadi alat doktrinisasi masyarakat yang sangat ampuh. Setiap minggu, setiap hari, bahkan setiap jam dapat kita jumpai tayangan-tayangan yang berbau kampanye. Sesuatu yang ditampilkan secara berulang-ulang, disadari atau tidak akan membentuk frame berpikir masyarakat. Rakyat ‘dikekang’ pikirannya mengenai sosok pemimpin ideal itu seperti yang sering muncul di TV itu. Namun, pengekangan itu tidak dirasakan oleh rakyat. Inilah hebatnya doktrin yang dilakukan secara massive.
Independensi TV bagaimanapun juga belum dapat diwujudkan, mengingat posisi strategis aktor politik di dalam elitis media. Sekarang ini, memang belum masuk dalam masa kampanye. Meskipun begitu, telah banyak iklan-iklan yang mempromosikan partai politik dan calon presiden tertentu. Seharusnya elitis media sekaligus elitis partai paham dengan waktu kampanye yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga tidak melanggar peraturan ini.
Kemudian akan lebih baik jika tidak hanya menampilkan golongan atau partai politik tertentu, sebisa mungkin memberi kesempatan kepada partai politik lain untuk juga memperkenalkan diri. Tentunya di waktu yang sudah ditentukan.
Poin kedua, mengenai keprofesionalan media adalah terkait dengan content di dalamnya. Mari kita cermati stasiun TV di Indonesia. Dapat kita lihat bersama, berapa porsi waktu untuk tayangan di TV yang mencerdaskan serta memberikan pencerahan kepada rakyat. Sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dengan acara yang hanya bertujuan menghibur semata. Sinetron yang sarat dengan nilai-nlai dan kebudayaan barat setiap hari dapat ditonton di hampir semua stasiun TV. Acara-acara komedi yang menjadi strategi untuk mempertinggi rating pun mulai digencarkan keberadaannya, yang dalam kenyataannya guyonan yang ada jauh dari kata “intelektual”. Inilah yang menjadi tantangan stasiun TV kini, bagaimana memperoleh keuntungan yang banyak, namun turut serta dalam mencerdaskan rakyat. Bisa dengan mengurangi porsi acara yang hanya untuk hiburan semata dan memperbanyak acara yang menambah informasi dan wawasan bagi rakyat. Atau dengan mengemas tayangan-tayangan ilmiah dengan santai, bisa juga disertai humor. Harapannya bisa membuat penonton untuk tertarik melihatnya.
Selain isi (content) acara, waktu penayangan juga menjadi perhatian penting. Masih bisa dijumpai, stasiun TV yang menayangkan acara-acara dewasa bukan pada waktunya. Acara semacam ini memang sudah harus lulus sensor, namun akan sama saja jika waktu penayangan bisa diakses oleh anak di bawah ketentuan. Hal semacam ini akan berpengaruh pada kepribadian si anak yang mana kondisi psikologinya masih labil dan cenderung meniru orang lain dalam bertindak. Jika dibiarkan, maka bisa disimpulkan TV ikut berperan membentuk anak-anak Indonesia berperilaku (sikap, perkataan) yang tidak seharusnya. Dampaknya sudah bisa dirasakan di Indonesia. Sering kita dengar siswi SMP yang hamil karena pacaran. Masih ada juga bocah yang duduk di bangku sekolah dasar yang menjadi korban tindak pidana temannya. Entah itu pemerasan, bullying bahkan pengeroyokan.
Memang contoh-contoh ini tidak murni kesalahan acara di TV yang belum saatnya mereka lihat. Namun dengan memperbaiki jadwal acara dapat meminimalisir hal tersebut. Tentu perlu juga pengawasan dari orang tua untuk membentuk pribadi anak yang baik. Penempatan jadwal ini pula yang juga membantu pengawasan orang tua. Misalnya tidak menempatkan acara-acara anak di waktu belajar (petang hingga malam). Kemudian menempatkan acara dewasa di malam hari.
Poin ketiga, seharusnya stasiun TV benar-benar faham dan melaksanakan apa yang menjadi kaidah atau tata aturan dalam menyajikan fakta. Entah itu dalam perspektif hukum, agama, kesusilaan ataupun kesopanan. Pada perspektif hukum misalnya. Hukum pidana Indonesia, berlaku asas persumpton of innounce (praduga tak bersalah). Artinya seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan dirinya bersalah. Berangkat dari asas inilah seharusnya stasiun TV melindungi kerahasiaan identitas dari tersangka. Bisa dengan hanya menyebut inisial nama saja dalam pemberitaan. Atau dengan tidak menampilkan wajahnya.
Inilah sedikit koreksi dari stasiun TV di Indonesia. Tentunya dibutuhkan intropeksi dan perbaikan diri yang harus terus dilakukan oleh stasiun TV. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan KPI seharusnya menjadi pedoman tiap-tiap stasiun TV dalam menayangkan sebuah acara. Berdasar dengan P3 dan SPS ini pulalah sebagai warga negara, bisa turut serta mengawasi tayangan-tayangan di TV. Harapannya TV menjadi media massa yang mendidik, mencerdaskan dan mencerahkan rakyat. Tidak sekedar menyuguhkan tontonan tapi juga tuntunan. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H