Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Akses Kompas.id Premium untuk Penulis KOMPAS

11 Maret 2022   19:48 Diperbarui: 11 Maret 2022   19:58 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pekerja media, saya sering berlangganan koran, terutama Kompas. Ini saya lakukan ketika masih aktif bekerja di sebuah koran lokal di Aceh. Namun, setelah tidak lagi bekerja di koran, saya pun berhenti berlangganan koran. Pun begitu, saya masih rutin membeli koran secara, terutama jika ada isu menarik atau saat ada momen tertentu, seperti pagelaran Euro atau Piala Dunia. Salah satu pertimbangan saya membeli koran (Kompas) adalah karena ulasan sepakbolanya yang termasuk lengkap, serta keberadaan kolom sepakbola yang ditulis rutin oleh Sindhunata.

Pertimbangan lainnya adalah karena saya kerap mengirim artikel ke Harian Kompas. Sebagai orang yang hobi menulis, saya tentu saja perlu membaca Kompas untuk mengikuti isu dan pemberitaan. Hal ini akan membantu saya memahami bagaimana sikap Kompas terkait sebuah isu atau persoalan. Memahami perspektif dari sidang redaksi akan membantu kita saat menulis opini. Memang, kita boleh saja berbeda pendapat, tapi memahami posisi mereka juga penting untuk meneguhkan sikap kita.

Meskipun saya berhenti berlangganan koran Kompas, sesekali saya masih berlangganan edisi digital. Biasanya untuk satu-dua bulan. Hal ini saya lakukan jika semangat menulis saya sedang kambuh, dan saya ingin mengikuti isu yang menjadi perhatian Kompas. Sebagai orang daerah, memang sulit sekali menembus rubrik opini Kompas yang memiliki banyak penulis dari beragam latar belakang. Kompas termasuk koran yang sangat memperhatikan spesialisasi seorang penulis. Ya, di Kompas, seorang penulis harus menulis sesuai dengan passion atau bidang keahlian.

Sebagai orang yang dulu rutin mengirim tulisan ke Kompas, saya kerap menerima penolakan. Saya tidak menghitung berapa banyak tulisan saya yang ditolak. Belakangan saya memahami alasan kenapa tulisan saya ditolak: selain sumir dan klise, saya menulis topik yang bukan passion saya. Sebagai informasi, baru sekali tulisan saya yang dimuat di rubrik Opini Kompas, dan tulisan ini berkaitan dengan isu Aceh.

Beberapa tahun terakhir saya memang sudah jarang mengirim tulisan ke Kompas (dan juga media lain). Saya ingat, saya berhenti mengirim tulisan setelah beberapa kali menerima penolakan dengan alasan yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya tulisan saya ditolak karena alasan pembahasan terlalu sumir, kesulitan tempat atau tidak sesuai dengan pembaca, maka belakangan tulisan saya ditolak karena: topik yang Anda tulis sudah kami pesan pada penulis lain. Saya sempat memperhatikan tulisan yang dimuat memang tidak jauh berbeda intinya dengan tulisan saya. Alhasil, saya pun menunggu kapan saya diminta menulis oleh Kompas. Dan, saya ternyata tidak seberuntung para penulis Kompas yang lain.

Inti yang ingin saya sampaikan sebenarnya bukan curhatan seperti di atas. Kebiasaan saya mengirim tulisan ke Kompas ternyata sangat berguna di kemudian hari. Kompas sangat rapi dalam urusan arsip atau database. Sekali kita mengirim tulisan ke Kompas, identitas kita tercatat di server dan database mereka. Saya pikir sangat sedikit koran di Indonesia yang memberi apreasiasi setinggi itu kepada para penulis. 

Karena pernah mengirim tulisan ke Kompas, saya pun kerap menerima email notifikasi dari Kompas. Kita diberitahu tiap ada produk baru atau ada isu menarik melalui email. Bahkan, kita sering dikirimi email ajakan untuk berpartisipasi dalam survei yang memang rutin mereka lakukan. Apakah itu survei tentang produk atau survei tentang kepemimpinan nasional. Para responden terpilih biasanya akan mendapatkan reward dalam bentuk "bebas biaya berlangganan kompas digital".

Sebagai informasi, biaya berlangganan Kompas.id adalah Rp50 ribu per bulan atau Rp360 ribu per tahun, sementara untuk berlangganan Kompas.id plus koran cetak Rp153 ribu per bulan atau Rp1.536.000 per tahun.

Saya sudah dua kali mendapatkan akses ke kompas digital (Kompas.id) karena menjadi responden survei. Akses yang diberikan lumayan menarik: kita bebas mengakses Kompas.id selama tiga bulan. Selain dari mengikuti survei, saya juga dua kali mendapatkan akses Kompas Premium karena pernah mengirim tulisan ke rubrik Opini. Bedanya, jika menjadi responden survei kita diberikan akses hingga tiga bulan, untuk para penulis ini cuma diberikan akses untuk satu bulan.

Nah, jika pembaca Kompasiana ingin mendapatkan akses Kompas Premium, rajin-rajinlah mengikuti survei yang diadakan oleh Kompas dan biasanya dikirimkan ke alamat email. Selain itu, mulailah mengirim tulisan ke rubrik Opini Kompas, agar Anda juga bisa mendapatkan akses ke Kompas Premium. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun