Sebentar lagi bulan Ramadhan. Menjalani ibadah puasa di di Jakarta itu menyenangkan: baik bagi yang berpuasa maupun yang tidak. Tapi, berpuasa di Jakarta banyak godaannya. Tak ada larangan jualan di siang hari. Warung buka seperti biasa. Para wanita kantoran berpakaian minim, menggoda iman, dan dapat mengurangi pahala puasa.
Tapi bukan itu yang membuat hidup di Jakarta menarik. Bagi kita yang memiliki ekonomi pas-pasan, tak perlu takut tak bisa berbuka puasa dengan makanan lezat atau sahur dengan nyaman. Kita masih bisa berbuka dengan makanan yang lezat-lezat dan mewah, begitu juga dengan sahur.
Bagaimana bisa? Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, kita cukup mencari informasi di mana ada acara buka puasa bersama. Pengalaman saya selama 2,5 tahun hidup di Jakarta, sangat banyak sekali seminar, diskusi atau bedah buku selama bulan puasa. Acara itu kebanyakan digelar di hotel mewah. Malah, The Freedom Institute itu saban tahun menggelar diskusi, bedah buku atau seminar di kantornya. Agenda-agenda itu bisa kita dapatkan melalui milis, blog atau memantau twitter. Undangan itu biasanya bersifat terbuka.
Namun, kita biasanya kesulitan untuk mengakses agenda lembaga-lembaga yang menggelar diskusi selama ramadhan. Dulu sebelum twitter seheboh sekarang, undangan-undangan itu biasanya diantar ke kantor/lembaga, dikirim via milis atau melalui pesan pendek. Sekarang pasti undangan-undangan itu disebar melalui twitter, facebook maupun broadcast BBM. Jadi, catat saja agendanya.
Bagaimana dengan cara kedua. Ini tak pakai ribet. Yang perlu kita lakukan hanya menjadi taat dan disiplin melaksanakan shalat Magrib secara berjamaah. Selama ramadhan, masjid-masjid di Jakarta rutin menyediakan makanan berbuka dan sahur. Jadi, jangan pernah absen shalat magrib dan subuh di masjid.
Waktu di Jakarta, Saya sendiri beberapa kali berbuka dan sahur di masjid. Biasanya, jika sudah bosan dengan menu makanan di kost atau malas menghadiri acara diskusi di hotel. Tapi, pernah juga saya ketiban sial. Suatu hari, entah puasa ke berapa teman-teman saya menghadiri undangan berbuka di sebuah hotel di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Saya sendiri tak berada di kost saat itu. Mereka pun tak mau menunggu, karena takut terjebak macet di jalan.
Saat tiba di kost, keadaan sudah sepi. Saya kemudian meminta kunci sama ibu kost (kami sering menitip kunci sama dia). Menjelang waktu berbuka, saya makin gelisah. Soalnya, saat pulang tadi saya tak membeli makanan untuk berbuka. Di rumah persediaan beras sudah habis.
“Bakal berbuka dengan air putih nih,” gumam saya dalam hati. Apalagi, Ibu kost yang sempat menawari makanan berbuka saya tolak dengan halus, meski dalam hati menyesal banget.
Dugaan saya benar. Saya terpaksa berbuka dengan air putih, itu pun air dari keran. Soalnya di kost tak ada dispenser. Untuk kebutuhan air biasanya kami memasak air keran atau beli air mineral. Seumur-umur baru sekali itu saya berbuka dengan air keran. Asyik, bukan?
Ketika teman-teman pulang, saya ceritakan kejadian itu sama mereka. Mereka kaget bukan kepalang. Soalnya mereka sudah mengirim SMS dan memberitahu bahwa ada uang Rp5 ribu yang diselipkan di kantong baju di gantungan. Mereka menitipkan uang itu untuk modal membeli makanan berbuka. Tapi, saya merasa tak ada SMS masuk dari mereka.
“Duh, gara-gara SMS gagal masuk, saya harus buka puasa dengan air keran.” Mereka pun tertawa. Tapi untungnya, besoknya saya bisa berbuka di Hotel Indonesia. Semoga pengalaman ini menginspirasi teman-teman yang akan menjalani ibadah puasa di Jakarta. Jangan ulangi kesalahan konyol yang sama. Cukup saya saja. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H