Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Aceh Tukang Kawin?

11 Agustus 2014   07:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:51 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin-Jumat, telur Medan masuk Aceh. Sabtu-Minggu, telur Aceh masuk Medan.

Awalnya, tulisan ini hanya sekadar keisengan belaka. Memang, sudah lama saya mau menulis tentang ini, tetapi tak kunjung kesampaian. Bukan hanya karena tema ini takut dipandang melabrak rambu ‘abu-abu’, melainkan juga ini lebih terkait masalah personal dan perilaku sebagian orang Aceh, tak bisa digeneralkan begitu saja. Tapi, menulis tetaplah menjadi medium pembelajaran, mencari sesuatu yang belum kita tahu, sehingga kita terpuaskan dari rasa penasaran.

Sekali pun bahasan kita sangat serius, terutama kalau diperhatikan dari judul, tapi ini murni (seperti disinggung di atas) hanya sekadar iseng-iseng saja. Saya tidak tahu persis, apakah sudah pernah ada penelitian sebelumnya yang menunjukkan orang Aceh tukang kawin atau tidak. Agar tidak terkesan men-judge, saya sengaja menambahkan tanda tanya di depan judul, bentuk kehati-hatian saya dalam membuat kesimpulan.

Sebab, soal beginian masih sangat sensitif dibahas. Memang, dalam hal isi selangkang, orang Aceh tak pernah ragu-ragu membahasnya, dan seolah-olah hal itu hanya perkara biasa saja. Bahkan dalam hadih maja (ungkapan bijak yang hidup dalam masyarakat Aceh), soal isi selangkang, sering disebutkan secara lugas dan tegas, sekali pun bukan dimaksudkan untuk mengumbar syahwat secara vulgar. Sekadar contoh, ‘ureueng Aceh munyoe hana tupeh, boh kreh juet taraba’*). Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam hal bersahabat dan berkawan, orang Aceh sering tak memperdulikan ukuran apapun, termasuk sesuatu yang tabu. Hal-hal yang sangat pribadi pun tak menjadi ganjalan demi nilai-nilai persahabatan.

Dalam pergaulan sehari-hari, soal isi selangkang ini sering disandingkan dan terkait erat dengan keberanian. Ukuran seberapa besar isi selangkang dipandang mewakili keberanian, terutama ketika dihadapkan pada hal-hal prinsipil dan ketika menantang lawan. “Munyoe na kreh kapreh kei bak simpang,”**)demikian biasanya seorang pejantan Aceh mengajak duel orang-orang yang dipandang sebagai lawan.

Perang panjang di Aceh, baik perang melawan Portugis, Belanda, Jepang, dan bahkan perang dengan Indonesia, menjadi contoh seberapa jantan (na kreh) orang Aceh. Ini juga seakan-akan menegaskan, kejantanan tak hanya dinilai dari seberapa kuat mereka berduel di ranjang, melainkan juga saat bertempur di medan perang. Hal ini sudah menjadi filosofi hidup di Aceh, bahwa kemulian seorang suami di Aceh bukan orang yang mati di ranjang sambil memeluk istrinya, melainkan syahid dalam perang melawan musuh. Tentang hal ini dapat kita pelajari dari Hikayat Perang Sabi karangan Teungku Syik di Pante Kulu, bahwa sebuah aib besar dan menjadi bahan pergunjingan di Aceh jika seorang suami mati di ranjang di rumah istrinya.

Begitu mulianya kedudukan orang yang meninggal di medan perang, sehingga para istri yang ditinggal mati suaminya karena perang memilih untuk melanjutkan perjuangan sang suami. Para istri ini pula memilih menikah dengan lelaki lain yang juga pejuang, agar dapat melanjutkan tugas suaminya melawan musuh. Kisah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan lain-lain kiranya mampu menjelaskan tentang hal ini. Bahkan, dalam perang Aceh-Jakarta, banyak istri pejuang GAM misalnya memilih menikahi anggota GAM lain agar bisa menuntut balas. Jumlah wanita seperti ini tentu tak sedikit di Aceh.

Lalu, apakah ada hubungan antara kejantanan dengan menikahi lebih satu wanita? Saya belum menemukan referensi yang memadai sampai tulisan ini saya buat. Tapi, dalil-dalil agama, misalnya, membolehkan seorang laki-laki mengawini empat wanita asalkan mampu berlaku adil, memberi sedikit pencerahan kepada kita bahwa Tuhan pun memandang persoalan ini begitu penting. Saya bukan ahli tafsir, sehingga tak mampu menjelaskan secara detil, makna di balik kandungan dalil tersebut. Sebagai pencipta, Tuhan tentu saja lebih mengetahui tentang seluk-beluk makhluk ciptaannya. Secara kasar, boleh kita duga-duga, jangan-jangan di balik dalil bolehnya seorang laki-laki mengawani lebih dari satu wanita menjadi tanda dan terkait erat dengan soal kejantanan. [Lelaki loyo mana berani menikahi banyak wanita, dengan satu saja sudah nyerah, kan?]

Diakui atau tidak, wanita memang menjadi penyemangat sang suami. Ada orang mengatakan, bahwa di balik kesuksesan seorang lelaki, ada wanita hebat di belakangnya. Ketika perang Badar, misalnya [saya bukan sejarawan, jadi mohon diperiksa lagi informasi ini], Rasulullah membolehkan para istri-istri kaum muslimin ikut maju ke medan perang, mendukung para suami mereka. Mereka memang tidak ditempatkan di barisan depan, melainkan sebagai tenaga support logistik dan pemberi semangat untuk suami. Bisa jadi juga, mereka melayani para suami di sela-sela rehat perang [saya baca dulu perang ada waktu jedanya] untuk memulihkan stamina.

Kita juga teringat kisah tragis Kim Bok-dong, yang waktu itu berusia 14 tahun diperintahkan tentara pendudukan Jepang di Korea Selatan bekerja di pabrik seragam militer, tapi kemudian dikirim ke rumah pelacuran yang dikelola militer Jepang. Di tempat ini, dia harus melayani lebih kurang 15 serdadu Jepang setiap hari. Kisah-kisah soal rumah bordir yang dibangun serdadu Dai Nippon bukan isapan jempol belaka, kita bisa mencarinya di internet. Kita tidak tahu, apakah penyediaan rumah bordir tersebut semata-mata untuk memuaskan nafsu bejat serdadu atau untuk memberi semangat bagi mereka dalam perang di Asia Timur Raya. Selain itu, kita juga membaca soal tragedi Nanking, ibukota Cina waktu itu, di mana ribuan perempuan dewasa dan anak-anak diperkosa, setelah dibunuh setelah organ seksualnya dirusak.

Di medan perang mana pun, perempuan sering menjadi simbol kelemahan. Seolah-olah berlaku rumus, jika ingin merusak mental lawan, maka perkosa dulu wanitanya. Seakan-akan jika perempuan di kubu lawan belum ditundukkan maka akan sulit menghancurkan perlawanan musuh. Saya kira, kenapa di medan perang, termasuk dalam perang Aceh, pemerkosaan menjadi senjata pamungkas membungkam lawan. Sebab, selama perempuan belum disentuh, mereka akan memberi energi lebih untuk para lelakinya berperang. Mudah-mudahan kesimpulan saya ini salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun