Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi: Ekonomi Keren, Pengamat: Rakyat Susah, Salahnya Dimana?

11 Oktober 2022   19:29 Diperbarui: 11 Oktober 2022   19:37 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: BPM/Setpres dalam Kompas.com

Video Presiden Jokowi yang diunggah oleh YT/Sekretariat Presiden memperlihatkan Opening Speech Beliau di acara Investor Daily Summit 2022. Video yang diunggah di Youtube channel pada hari ini, 11 Oktober 2022, merilis kata sambutan Pak Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah salah satu yang terbaik di dunia. Wow keren ini.

Jika kita merujuk ke publikasi BPS, memang ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen dan 5,44 persen, YoY, masing-masing untuk Triwulan I dan T II 2022. Data ini konsisten dengan pernyataan Beliau. Namun, ini tidak konsisten dengan berita yang menyatakan bahwa gelombang PHK dan lemahnya daya beli masyarakat yang terus berlanjut.

Penulis belum sempat cek data PHK dan daya beli masyarakat itu. Ini disampaikan oleh beberapa pengamat sebagai berikut.

Kompas.com, hari ini juga, 11 Oktober 2022, jam 05.11 WIB, tayang artikel dengan judul menggigit "Gelombang PHK Kembali Menerpa, Indonesia Diambang Resesi?" Disini ditulis bahwa beberapa waktu lalu gelombang PHK terjadi di sejumlah Start Up atau perusahaan rintisan dan kemudian menjalar ke perusahaan lain. 

Di artikel ini, Kompas.com merilis pernyataan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, bahwa  ramainya gelombang PHK di dalam negeri dikarenakan perusahaan harus menyesuaikan kapasitas produksi dan model bisnis dengan proyeksi perlambatan ekonomi yang terjadi di tahun depan. Lebih jauh, Bhima menyatakan bahwa naiknya biaya bahan baku, ongkos angkutan tidak berjalan lurus dengan naiknya daya beli masyarakat, dan menurut artikel ini pernyataan ini dilansir Kontan.co.id, Senin (10/10/2022).

Artikel Kompas.com ini selanjutnya melaporkan pernyataan Bhima bahwa beberapa perusahaan di bidang teknologi, yang sebelumnya disebut sebagai pandemi darling juga perlu memangkas karyawan karena mobilitas masyarakat yang kembali berbelanja secara fisik di toko ritel sehingga perubahan perilaku konsumen sangat mempengaruhi rencana bisnis jangka panjang. Unsur lain yang menjadi penyebab ramainya PHK di tanah air menurut Bhima adalah adanya kenaikan tingkat suku bunga acuan yang berpengaruh terhadap cost of financing pelaku industri sehingga rencana investasi baru cenderung terhambat oleh naiknya biaya pinjaman. Last but not least, dilaporkan juga oleh artikel ini bahwa hal lain yang menyebabkan gelombang PHK itu menurut Bhima adalah  ketidakpastian outlook ekonomi yang membuat pendanaan di perusahaan rintisan juga ikut terpengaruh, sehingga investor atau modal ventura lebih selektif memilih perusahaan dengan kinerja profitabilitas yang baik dibanding mengejar market share atau valuasi.

Artikel ini juga menyajikan pandangan yang konsisten dengan analisis Bhima yang dikemukakan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda. Huda, menurut artikel ini, menyatakan bahwa  inflasi global yang sangat tinggi menjadi penyebab ramainya PHK di perusahaan dalam negeri. Di Indonesia, lanjut Huda,  kebijakan menaikkan harga BBM Pertalite terbukti menaikkan tingkat inflasi dan diperparah dengan kenaikan suku bunga acuan, sehingga  pengangguran diprediksi akan meningkat. 

Nah pertanyaannya sekarang adalah apakah pernyataan Jokowi itu bertentangan dengan pernyataan Huda dan Bhima? Bisa ya bertentangan dan juga bisa tidak bertentangan.

Itu tidak bertentangan dengan pernyataan Bhima jika sumber utama pertumbuhan itu adalah bidang ekspor minyak gas bumi dan pertambangan. Devisa hasil ekspor itu berkemungkinan disimpan di bank luar negeri dan/atau tidak dinvestasikan/digelontorkan ke ekonomi dalam negari. Dengan kata lain, trickling down effects devisa ekspor itu tidak atau belum menyentuh ekonomi rakyat.

Itu bisa bertentangan dengan pernyataan Huda dan Bhima jika terjadi kesalahan dalam menghitung angka pertumbuhan termaksud. Misalnya, nilai investasi dan pengeluaran pemerintah dan BUMN hanya dihitung/ditaksir berdasarkan angka APBN/APBD/BUMN . Angka APBN ini dipersepsikan mengalami kebocoran (dikorupsi) dalam kisaran 20 hingga 50 persen. Jika persepsi publik ini benar dan BPS juga menghitungnya hanya berdasarkan sumber-sumber termaksud, maka angka pertumbuhan yang sebenarnya akan jauh labih kecil dari masing-masing 5,01 dan 5,44 persen tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun