Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mamahami Narasi Cukong Kedaulatan Rakyat Prof Mahfud MD

25 September 2022   14:49 Diperbarui: 25 September 2022   14:51 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto credit: Antara Foto/Wahyu Putro A dalam CNNI

Untuk itu, calon kepala daerah perlu berkampanye atau berkomunikasi dengan mereka secara langsung door to door, dan biasanya perlu membawa "sesuatu" dalam kunjungan-kunjungan termaksud. Jelas sekali biaya kunjungan door to door, ke puluhan ribu rumah pemilih norak ini, sangat besar. Biayanya ini akan bertambah berlipat kali sangat besar nya, dalam hitungan ratusan miliar, karena kunjungan-kunjungan ini tidak cukup sekali tetapi berkali-kali dan puncaknya menjelang hari H pencoblosan.

Menjelang hari H tersebut, penulis pernah dengar, dan persepsi publik juga demikian adanya, tarif satu suara itu berkisar dari 100 -- 300 ribu rupiah. Jika, untuk menang perlu satu juta suara, maka dengan rerata tarif 200 ribu, maka uang hari H yang perlu disediakan oleh calon kepala daerah adalah sekitar 200 miliar rupiah.

Jumlahkan itu uang hari H Rp200 miliar dengan biaya kunjungan, katakan, Rp100 miliar, maka total uang untuk "membeli" satu juta suara tersebut adalah Rp300 miliar. Tapi, tunggu dulu. Kita belum menghitung "sewa perahu" Parpol atau gabungan Parpol, dan angkanya juga bisa mencapai ratusan miliar.

Calon independen bagaimana? Betul itu "sewa perahu" tidak ada tetapi persyaratan mengumpulkan copy KTP sebagai bukti dukungan awal juga akan menguras puluhan miliar juga, belum lagi ribetnya vertual KPU yang tidak memiliki protokol pelaksanaan.

Nah, jika Anda memiliki uang ratusan miliar itu apa ada niat untuk menjadi calon kepala daerah? Biasanya yang berniat adalah yang tidak punya uang itu dan perlu untuk berha ha hi hi dengan para cukong seperti yang dikatakan oleh Prof Mahfud MD itu. 

Solusinya jelas ada. Tinggal menunggu waktu yang bisa mencapai beberapa generasi. Ingat era reformasi sekarang sudah mendekati satu generasi, 25 tahun dan belum ada indikasi yang cukup kuat praktik percukongan ini akan berakhir. 

Kita ringkas saja ya solusi yang ada di benak penulis. Sederhana, namun jebakan demokrasi membuatnya menjadi super sulit. 

Begini, ada dua agenda penting agar praktik percukongan Prof Mahfud MD ini dapat dikendalikan. Pertama, bersama, kita yang termasuk pemilih cerdas, perlu berupaya untuk mengendalikan pemilih norak. Bentuknya beragam sekali mulai yang paling sederhana seperti komunikai persuasif dengan mereka itu yang berada dalam jangkauan masing-masing, hingga ke format yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Kedua, melalui perbaikan-perbaikan beberapa pasal UU Pilkada. Perbaikan ini mencakup penegakan azas-azas demokrasi dalam penentuan calon kepala daerah dan memperberat sanksi pidana dan administratif bagi mereka yang terlibat politik uang. Sanksi-sanksi ini super ringan dalam UU Pilkada yang ada.

Sulit diharapkan tercapainya perbaikan dan/atau revisi itu dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini didasarkan pada pengalaman penulis beracara di Mahkamah terkait uji materi persyaratan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden. Juga, penulis yakin bahwa Prof Mahfud MD, sebagai Mantan Ketua Hakim Konsitusi, paham akan lemahnya sanksi-sanksi tersebut dan sejauh ini belum terdengar pesannya untuk mengadu ke Mahkamah Konstitusi.

Praktis yang hanya bisa mengendalikan percukongan kedaulatan rakyat ini adalah kita bersama. Konstitusi UUD 1945 menjamin kebebasan kita bersuara. Hayu bersuara. Jangan pernah kalah lagi dengan Malaysia.                

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun