Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kapan yah Kita Bisa Bebas dari Jebakan Demokrasi?

20 September 2022   19:37 Diperbarui: 20 September 2022   19:46 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Pinterest/The Salt Lake Tribune

Kita semua pasti pernah terjebak. Mulai dari terjebak macet yang berjam-jam, banjir, hingga terjebak di Bandara. Pasrah, tawaqal, serta berdo'a segera mendapat pertolongan, berdo'a  cuaca segera membaik.

Ekonom sudah sangat paham dengan frasa middle income trap. Ada lagi jebakan kemiskinan atau lebih dikenal dengan kata kemiskinan akut. Jebakan korupsi, sistem hukum dan peradilan, serta banyak lagi. Sekarang coba lirik frasa buruk jebakan demokrasi. 

Langsung to do point aja ya. Kita mulai dengan sosok populer, dan banyak mendapat sorotan dan kritikan sejak menjabat sebagai Menko Polhukam Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, ya siapa lagi jika bukan Prof. Mahfud MD. 

Beliau mengungkapkan kegalauanya menyongsong Pilkada serentak 2024. Beliau terkesan hanya bisa berdo'a agar praktik percukongan dalam penyelenggaraan Pilkada segera dapat diakhiri. Terkesan juga, Beliau menghimbau pihak-pihak yang terkait untuk berupaya melepaskan arena Pilkada dari jebakan cukong.

Seperti dilansir oleh CCNI, 11 Sept 2022, 17.03 WIB, Prof Mahfud mengatakan bahwa 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Lanjut, Beliau mengatakan bahwa para cukong itu akan mendapat imbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan mereka. Sepakat, kita semua sepakat, penulis yakin bahwa para cukong dan kepala daerah serta kroni-kroninya untung. Rakyat yang tidak berdaya buntung.

Rakyat buntung dalam bentuk seperti buruk dan minimnya pelayan publik pemerintah daerah. Rakyat buntung karena karena sumber nafkah mereka terganggu, dan, keselamatan dan kesehatan terancam, serta pelayanan Pendidikan yang tidak berkualitas.

Dan, Prof Mahfud MD tidak bisa apa-apa walaupun menduduki jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Ham. Beliau lunglai menyampaikan keresahanya termaksud. 

Pesanya itu disampaikan secara terbuka, ditujukan ke  berbagai pihak yang terkait, dan tentunya, juga termasuk ke Presiden, Kepolisian, Mendagri, Menkumham, MK, KPU/Bawaslu, DPR, dan KPK. Kegalauan Beliau juga sebetulnya juga diarahkan kepada kita semua. Sebab suara kita semua lebih ampuh dari suara-suara mereka itu.

Suara apa yang perlu kita kumandangkan untuk membantu Prof Mahfud MD itu? Turunkan Jokowi? Saya kira ini tidak tepat. Boikot Pemilu 2024? Entalah, mari kita pikir bersama.

Sambil pikir-pikir, coba kita dengar sejenak suara keputusasaan Pak Beye (SBY). Menurutnya ada yang mengatur agar dalam Pilpres 2024 hanya ada dua pasangan Capres, dan tentu saja, lojik, yang siapa saja yang menang nantinya, merupakan kroni yang mengatur termaksud.

Bahwa ada yang "mengatur" siapa saja yang dapat lolos sebagai calon pejabat negara terpilih seperti calon presiden sebetulnya bukan barang baru.  Pada awalnya ini disuarakan oleh Prof Winters, menjelang Pilpres 2014. Suara ini kemudian semangkin bergema seiring berjangkitnya Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 yang lalu.

Saat ini, jarang jika ada, yang belum pernah mendengar bahwa oligarki bermain dalam penetapan pasangan calon presiden/wakil presiden dan bahkan lebih serem lagi, ada kemungkinan hanya ada Pasangan Calon Tunggal pada Pilpres 2024 nanti.

Penulis yakin bahwa Pak Beye juga paham bahwa secara teknis ini dapat dikendalikan dengan membatalkan norma presidential threshold. Akan lebih dapat terkendali, menurur penulis, jika norma demokratisasi dalam penetapan Pasangan Calon termaksud ditegakan, yang identik dengan penegakan prinsip demokrasi, yaitu, inklusivitas, transparan, dan terbuka yang tertuang dalam Pasal 223 UU Pemilu tahun 2017.

Namun, Pak Beye kelihatanya tidak dapat mempengaruhi "pihak itu" untuk membatalkan kedua pasal UU Pemilu. Jika "pihak itu" tidak dapat dipengaruhi, maka sebaiknya tidak pergi ke Mahkamah Konsitusi. Percuma ke MK, jika tidak dilakukan dengan persiapan dan strategi yang extra ordinary untuk mengendalikan oligarki termaksud.

Tidak akan diberikan legal standing. Ingat, Prof Yusril pernah mengatakan bahwa MK itu dikendalikan oleh oligarki.

Hal yang sangat penting sekali berikutnya terkait dengan frasa sengak "Pemilih Norak." Porsi pemilih norak ini sangat besar dan menurut hasil kajian yang diungkapkan dalam suatu webinar beberapa waktu yang lalu, porsinya sekitar 95 persen!

Bersama kita perlu mengendalikan pemilih norak ini. Hanya suara kita bersama yang dapat melakukanya.

Ringkasnya, ada tiga mega agenda yang harus dirampungkan agar Indonesia bisa bebas dari jebakan demokrasi. Pertama, hapus presidential threshold, kedua, demokratisasikan penetapan calon presiden/wakil presiden, dan, ketiga, ubah pemilih norak menjadi pemilih cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun