1. Pilih-pilih Dalil Hukum Penggugat yang akan dibahas
Pemohon biasanya mengajukan beberapa dalil gugatan (posita) dan beberapa dalil kerugian konsitusionalnya. Kesemua dalil termaksud seharusnya dibahas oleh Hakim Konstitusi. Namun, Hakim Konstitusi umumnya hanya membahas yang disukainya saja terutama yang bermuara pada penolakan dalil-dalil hukum gugatan termaksud.
Misalnya, hal yang demikian dapat dilihat pada Perkara (Putusan) yang terdaftar dengan nomor 42/PUU-XX/2022. Ada dua pasal UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang digugat. Pertama, Pasal 222 tentang syarat minimal perolehan kursi atau suara nasional, yang diperoleh Parpol pada Pileg lima tahun yang lalu, untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden pada Pilpres sekarang. Pasal ini lebih dikenal sebagai pasal Presidential Threshold atau ambang batas minimal bagi Parpol atau gabungan Parpol untuk mengusung Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden. Kedua, Pasal 223 nya dari UU itu juga. Ini terkait dengan raibnya semangat demokrasi dalam penetapan calon presiden/wakil presiden yang akan diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol.
Disini kami penggugat, sebagai warga negara perseorangan, mengajukan enam dalil kerugian konstitusional atas pemberlakuan Pasal 222 Pemilu tahun 2017. Keenam dalil tersebut masing-masing terkait dengan dalil bahwa : (i) Pembentuk UU mencatut hak warga negara untuk mengusung calon presiden/wakil presiden; (ii) Pemilih hanya disodorkan Pasangan Calon yang dikendalikan oleh oligarki; (iii) Persyaratan ambang batas minimal tidak dilengkapi dengan ambang batas maksimal; (iv) Sangat potensial memunculkan Pasangan Calon tunggal; (v) Penggugat tidak tahu bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan untuk persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden pada Pilpres 2024, dan (vi) Norma hasil Pileg lima tahun yang lalu untuk Pilpres sekarang merupakan pembodohon publik.
Mahkamah Konstitusi hanya meringkas tiga dalil kerugian konstitusional penggugat, yaitu butir: (i) Pembentuk UU mencatut hak warga negara; (ii) Pasangan Calon oligarki, dan (v) penggugat kurang paham atau tidak tahu bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai persyaratan pencalonan Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Lebih membingungkan lagi, Hakim MK hanya membahas butir (v) saja yang terkait dengan kekurangan paham para penggugat termaksud.
Tambah membingungkan lagi Hakim MK menolak legal standing (kedudukan hukum) para penggugat dengan merujuk ke penolakan legal standing yang tertuang dalam putusan perkara tahun 2020 yang terdaftar dengan nomor: 74/PUU-XVIII/2020. Dalil hukum legal standing kerugian konstitusional para penggugat pada perkara ini jauh berbeda dengan dalil hukum legal standing kerugian konstitusional pada perkara no: 42/PUU-XX/2022 tersebut diatas. Jika argumentasi kerugian konstitusional yang tertuang pada perkara nomor 74 hanya terkait, atau lebih terfokus, pada frasa "20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional," Â maka argumentasi kerugian konstitusional pada perkara no 42 jauh lebih mendasar dan dahsyat yang utamanya terkait dengan pencatutan hak warga negara untuk mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden, angka 20% dan 25%, Â dan, pembodohon publik, hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai syarat Pilpres 2024, oleh pembentuk UU. Â Â
Sangat mencekik, dalil hukum yang diajukan oleh MK untuk menolak legal standing para penggugat pada perkara no: 74 diatas sangat di luar nalar akal sehat, yaitu, hanya Parpol yang ber hak untuk menggugat Pasal 222 itu. Ada dua argumentasi Hakim MK untuk mendukung dalil hukum sesat ini. Pertama, Pemilu yang diatur oleh UU No 7/2017 adalah Pemilu Serentak yang berbeda dengan Pemilu-Pemilu tahun sebelumnya. Kedua, konstitusi menyatakan bahwa hanya Parpol atau gabungan Parpol yang ber hak mengajukan Pasangan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden dan dalam hal presiden/wakil presiden berhalangan tetap, maka hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Hakim Konsitusi abai, atau, pura-pura dungu, pada dua prinsip utama legal standing perkara konstitusi. Pertama, setiap warga negara memiliki hak konstitusional dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum. Para penggugat diatas mengajukan argumentasi dan bukti bahwa mereka sangat dirugikan atas pemberlakuan kedua pasal a quo. Ini tidak dibahas dan ujug-ujug Hakim Konstitusi mengatakan hanya Parpol yang memiliki legal standing.
2. Salah Kaprah Bertindak sebagai Wakil Pemerintah
Hakim Konstitusi sering mengambil alih fungsi pemerintah, persisnya, pembentuk UU (pemerintah dan DPR), dalam mengadili perkara konstitusional. Ini kesalahan yang sangat fatal dan tidak dapat ditolerir mengingat pengadilan itu mengadili dua pihak yang berseteru. Pihak pertama adalah penggugat dan pihak kedua adalah tergugat. Ini sudah biasa dalam pengadilan pidana dan perdata. Posisi hakim berada ditengahnya, tidak berpihak baik kepada penggugat maupun kepada pihak tergugat dan  wajib mengambil keputusan yang seadilnya.
Hal yang sama berlaku juga di pengadilan hukum tata negara. Subjek hukum yang digugat adalah undang-undang (UU) yang mencakup pengujian UU atas Undang-Undang Dasar 1945.