Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Oligarki, Demokrasi dan Referendum Amademen UUD 45

15 Oktober 2021   17:20 Diperbarui: 16 Oktober 2021   12:05 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Merdeka.com

Jarang yang masih ingat dengan Prof George Junus Aditjondro (almarhum).  Nah Beliau lah yang menjentik kata tengik oligarki. Beliau adalah penulis  buku yang berjudul MEMBONGKAR GURITA CIKEAS.  

Pada acara bedah buku ini, live dari beberapa stasiun Tv nasional pada waktu itu, serta, belum ada Podcast dan youtube ketika itu, almarhum menjelaskan bahwa buku ini adalah hasil risetnya tentang Oligarki yang dibangun oleh Presiden SBY.  

Sekarang kata tengik oligarki itu sudah menghantui kita semua, rasanya. Kata oligarki bergentayangan di berbagai forum, Podcast, Webinar, pesan WA, dan lain sebagainya.

Apa itu Oligarki? Apa ada persamaan dengan Elit Penguasa?

Prof Winters membedakan oligarki (sistem) dan oligark orangnya oligarki dengan elit. Menurutnya oligarki itu segelintir orang yang sangat-sangat kaya, atau, super kaya yang memiliki kekuasaan politik yang sangat besar dan elit adalah orang yang memiliki kekuasaan politik yang besar tetapi tidak kaya.

Presiden Soekarno menurut Prof Winters adalah jauh dari kaya tetapi sangat berkuasa pada waktu itu. Betul juga ya Presiden Soekarno sangat berkuasa sebagai Ketua PNI Front Marhaenis. Presiden Soekarno secara inskonstitusional mendklarasikan Dekrit 5 Juli 1959 dan dinobatkan menjadi Presiden Seumur Hidup.

Karena mendapatkan kekuasaan politik bukan dengan uang yang super banyak, maka, Presiden Soekarno bukan Oligark, menurut Prof Winters. Almarhum Presiden Soekarno adalah Elit demikian ya menurut konsep Prof Winters.

Demokrasi dan Oligarki

Demokrasi

Sering kita mendengar apa gunanya demokrasi jika hukum masih tajam kebawah dan tumpul keatas. Apa gunanya jika KKN bukan saja tidak mereda tetapi tambah murko.

Lihat juga itu ketimpangan kesejahteraan sosial yang super ekstrim. Terdapat beberapa orang saja dari 272 juta jiwa orang Indonesia yang super kaya, dan, di sisi sebaliknya terdapat ratusan juta orang Indonesia yang super miskin yang untuk bertahan hidup perlu mendapat perlindungan berbagai program subsidi dan bantuan sosial dari pemerintah.

Lah apa gunanya demokrasi? Prof Yudi Latif memberikan penjelasan sebagai berikut. Passages penuh dari Kang Yudi https://www.instagram.com/yudi.latif/, adalah seperti passages dengan huruf miring dibawah ini. Judul:  Politik Akal Sehat.

Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibukota negara sbg ibu teladan menjelma jadi ibu pesakitan. 

Bbgai bentuk pilihan dan kebijakan publik tak memenuhi asas2 nalar publik  yg  sehat--dgn tendensi pengabaian 4 prinsip utama politik responsif: rasionalitas, efisiensi, keadilan dan kebebasan. Bahwa  politik  responsif  hrs pertimbangkan  rasionalitas  publik  tanpa kesemena-menaan  membuat  kebijakan; adaptabilitas  kebijakan dan institusi politik thd keadaan; senasib sepenanggungan dlm keuntungan dan beban; persetujuan partisipatif rakyat thd (kebijakan) pemerintah. 

Politik responsif menghendaki agar perkembangan demokrasi tak berhenti sebatas demokrasi minimalis yg elitis, ttp menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yg dipimpin hikmat-kebijaksanaan. 

Demokrasi elitis, sbgmn dikonseptualisasikan  Joseph  Schumpeter, mengerdilkan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi  berkaitan dgn  tujuan  kesejahteraan  atau  perbaikan  nasib  rakyat. Demokrasi hanyalah  seperangkat  prosedur sbg wahana  keputusan  diambil dan kebijakan dihasilkan. 

Kedua,  konsep  politik  dianalogikan  dgn konsep  ekonomi  pasar. Kompetisi  politik  berhubungan  erat  dgn kompetisi  ekonomi. Demokrasi  elitis  menempatkan  demokrasi  sbg  arena kompetisi  bagi  elit terbatas  dan  teratas.  Politisinya pengusaha,  wakil  rakyatnya saudagar,  voternya konsumen. 

Ketiga,  demokrasi elitis berbeda tipis dgn sistem totalitarianisme sebatas bahwa pemimpin dr demokrasi elitis diajukan sementara dlm sistem kediktatoran berdasarkan pemaksaan. 

Keempat, rakyat umum memiliki peranan  minimal.  Rakyat  hanya  datang  ke pemilu  utk  memilih  wakilnya  namun  mereka  tdk  dpt "menentukan"  dan berpartisipasi dlm pengambilan kebijakan.

Demokrasi deliberatif bermaksud mengatasi kekurangan demokrasi elitis  dgn memandang kebebasan  individu  dan  kesetaraan  politik  sbg  hal  penting  sejauh  dpt mendorong  kemampuan  manusia  utk  membentuk  tatanan  kolektif  yg berkeadilan melalui deliberasi rasional.

Demokrasi Prosedural Vs Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila Deliberatif 

Demokrasi Deliberatif yang dimaksud Kang Yudi diatas adalah Demokrasi Pancasila Haqiqi. Demokrasi seperti ini selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan hanya mungkin terwujud jika adanya amandemen kelima UUD tahun 1945 melalui sesuatu kesepakatan nasional semacam referendum. Substansi referendum mencakup: (i) jaminan dan perlindungan kemudahan berserikat dan menyampaikan pendapat, (ii) jaminan kemudahan untuk ikut serta dalam kontestasi Pemilu, dan (iii) penghapusan berbagai belenggu dan beban keuangan yang super besar untuk tampil dalam kontestasi Pilpres dan Pileg.

Semangat generik demokrasi deliberatif menghendaki hadirnya aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi, bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan. 

Dengan kata lain, keputusan-keputusan politik hanya bisa diterima dan mengikat semua anggota masyarakat jika ia merupakan produk dari sebuah proses dialog yang berawal di wilayah periperi, yang bergerak menuju parlemen melalui prosedur-prosedur demokratik dan konstitusional.

Perlu diperhatikan bahwa model demokrasi deliberatif ini menghendaki proses demokrasi berada di luar lembaga-lembaga formal sistem politik dan terletak di wilayah publik yang lebih bersifat informal yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai organisasi dan asosiasi yang membentuk masyarakat sipil.

Demokrasi Pancasila Prosedural

Ada beberapa unsur yang mengindikasikan bahwa demokrasi yang berlangsung di Era Reformasi dewasa ini baru sebatas demokrasi prosedural, yaitu: (i) Pemilu lancar sesuai jadual; (ii) Tidak ada kekerasan fisik di Pemilu; (iii) Pejabat terpilih langsung mundur seusai masa baktinya, dan (iv) tersedia banyak pilihan kandidat dan perahu Pemilu. Selain itu, Pemilu juga dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang sah.

Penulis sepakat dengan Pandangan Kang Yudi diatas bahwa Demokrasi Pancasila Deliberatif wajib kita perjuangkan bersama dan secara berkelanjutan.

Aliansi Peduli Demokrasi

Mari bergabung dengan WAG Aliansi Peduli Demokrasi untuk berperan serta secara aktif dan konstrukti dalam memperjuangkan Demokrasi Pancasila Deliberatif.

Silahkan buka tautan ini jika berkenan. Terima kasih.  https://chat.whatsapp.com/KWvMWCV435XD8e3dbZ9OWm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun