Ekonomi Indonesia tumbuh 7%? Lip service? Ngibul lagi? Kamuflase?
Pekan yang lalu, suara-suara itu berisik sekali di sosial media dan berbagai Youtube Podcast. Miris, BPS cuek saja. BPS tidak mendengar saran Menko Polhukam, Prof Mahfud MD, untuk sesegera mungkin menanggapi aspirasi rakyat.
Artikel ini juga tidak berharap (banyak) akan terdengar oleh BPS. Namun, kita sesama Kompasianer dapat berbagi melihat kebenaran angka 7% itu. Maksudnya kita perlu memahami apa angka itu ngibul, lip service, kamuflase, dan lain sebagainya. Dengan pemahaman ini kita akan lebih gampang mencerna pengumuman-pengumuman BPS yang akan datang dan yang paling dekat untuk Triwulan (TW) III 2021, yang akan dipublikasikan akhir Oktober atau awal September nanti.
Coba kita lihat dulu jangkau (magnitude) unsur-unsur pertumbuhan TW II 2021 versi BPS, seperti tersaji dibawah ini.
Secara normatif dan universal memang ada lima unsur PDB pengeluaran yaitu: (i) konsumsi rumah tangga (RT); (ii) Pembentukan Modal Tambah Bruto (PMTB); (iii) Net Eskpor (Ekspor -- impor); (iv) Konsumsi Pemerintah, dan (v) lainnya. Pertumbuhan PDB TW II 2021 didominasi oleh unsur konsumsi rumah tangga, lazimnya memang demikian, dengan tingkat pertumbuhan 3,17%, diikuti oleh unsur PMTB, dan yang paling kecil adalah lainnya.
Kita lihat unsur yang paling gampang dulu untuk dianalisis yaitu unsur konsumsi pemerintah. Unsur ini memang tingkat pertumbuhannya relatif kecil yaitu 0,61 persen. Namun demikian, selain uangnya banyak juga dengan tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu 8,06%.
Menurut Google, dan, penulis sepakat dengan definisi Google ini, karena boleh dikatakan relatif identik dengan definisi OECD dan Bank Dunia, misalnya, yang dimaksud dengan konsumsi pemerintah itu adalah:
Jumlah seluruh pengeluaran pemerintah (pusat dan daerah) yang meliputi: (i) pembelian barang dan jasa (belanja barang); (ii) pembayaran balas jasa pegawai (belanja pegawai), dan (iii) penyusutan barang modal. Pola distribusi ketiga unsur konsumsi pemerintah tersebut adalah: 55%, 40%, dan 5%, masing-masing untuk butir (i), (ii), dan (iii).
Jumlah Belanja Negara, menurut informasi APBN publikasi Kementerian Keuangan R.I., total pemerintah pusat plus pemerintah daerah, tahun 2021, Rp2.750 triliun. Hasil ekstrapolasi penulis mendapatkan porsi masing-masing unsur konsumsi pemerintah tersebut adalah: (i) Belanja Barang Rp1.100 triliun; (ii) Belanja Pegawai Rp1.512.5 triliun, dan (iii) penyusutan Rp137.5 triliun. Asumsikan konsumsi itu rata untuk masing-masing triwulan sehingga konsumsi pemerintah (negara) untuk Triwulan II 2021 adalah: (i) Belanja Barang Rp275 triliun; (ii) Belanja Pegawai Rp378,125 triliun, dan (iii) penyusutan Rp34,375 triliun.
BPS tidak menghitung sendiri tetapi hanya menggunakan angka, termasuk untuk laporan TW II 2021, yang dibuat oleh Kementerian Keuangan cq Ditjen Perbendaharaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa konsumsi pemerintah ini juga termasuk konsumsi seluruh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan kota.
BPS menginput apa adanya angka-angka yang didapatnya dari laporan Kementerian Keuangan. BPS tidak melakukan evaluasi dan/atau penyesuaian atas angka-angka itu. Dengan demikian, anekdot di dunia komputer, GIGO, garbage in garbage out, berlaku disini. Dengan kata lain, jika data yang diterima salah, maka otomatis komputasi pertumbuhan PDB juga salah.
Dengan demikian, walaupun BPS pernah mendengar dan/atau patut menduga bahwa terjadi mark up (korupsi) besar-besaran atas pembelian barang dan jasa pemerintah, BPS tetap saja menginput angka yang ada pada laporan termaksud tanpa melakukan perubahan/penyesuaian sedikitpun.
Mengingat porsi mark up atau yang dikorup itu, menurut rahasia umum, berada dalam kisaran 20 -- 50 persen, maka terjadi kelebihan entry data nilai PDB Belanja Barang yang persis sama dengan angka dalam kisaran ini. Dengan kata lain, nilai PDB Pengeluaran Belanja Barang yang diolah oleh sistem komputasi BPS terlalu besar dalam rentang 20 -- 50 persen untuk pos ini.
Coba lihat hasil ekstrapolasi unsur-unsur konsumsi pemerintah yang disajikan diatas. Angka Belanja Barang yang di entry BPS untuk TW 2 itu adalah Rp275, sehingga jika angka pengganda PDB adalah 5, maka total seluruh PDB yang dihasilkan oleh Belanja Barang ini adalah Rp1.375 triliun. Namun karena mark up atau korupsi, nilai total seluruh pengeluaran rakyat hanya Rp893,75 triliun.
Dengan kata lain, PDB pengeluaran untuk unsur Belanja Barang Negara yang dilaporkan oleh BPS adalah Rp1.375 triliun. Dengan asumsi rata-rata mark up hanya 35%, maka PDB aktual untuk unsur ini hanyaRp893.75 triliun. Artinya terjadi kelebihan nilai PDB pengeluaran untuk unsur Balanja Barang Negara sebesar Rp481,25 triliun, yang dilaporkan oleh BPS.
Sedikit bercanda, #BismilahKomisarisBUMN!
Kesalahan yang kronis juga terjadi pada unsur Belanja Pegawai. BPS masih menggunakan asumsi lama bahwa pegawai membelanjakan 90% dari take home pay yang diterima. BPS tidak mengadakan penyesuaian seiring dengan melonjaknya take home pay pegawai pemerintah, remunerasi dll, porsi yang dibelanjakan tinggal 60% saja. Artinya, BPS seharusnya hanya mencantumkan angka yang 60 persen ini dan bukan angka yang 90 persen itu.
Implikasinya, sama seperti unsur Belanja Barang, unsur Belanja Pegawai juga dihitung terlalu besar dalam komputasi PDB Indonesia.
Otomatis pertumbuhan konsumsi pemerintah yang dilaporkan sebesar 0,61 persen itu perlu dipangkas. Berapa persisnya angka pemangkasan itu? Coba kita hitung nanti pada artikel yang baerikutnya.
Artikel berikutnya kita akan lebih fokus pada unsur Konsumsi Rumah Tangga. Porsi Konsumsi RT secara universal lebih besar dari 55 persen dan akan semangkin membesar semangkin maju atau Makmur negara itu.
Selain itu, kita akan perlihatkan sisi-sisi lemah metodologi BPS dalam melakukan penghitungan nilai konsumsi RT.
Kontak: kangmmizan53@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H