Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Koreksi, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dibawah Tujuh Persen!

11 Agustus 2021   15:19 Diperbarui: 12 Agustus 2021   11:03 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: The Indonesian Institute

BPS tidak menghitung sendiri tetapi hanya menggunakan angka, termasuk untuk laporan TW II 2021, yang dibuat oleh Kementerian Keuangan cq Ditjen Perbendaharaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa konsumsi pemerintah ini juga termasuk konsumsi seluruh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan kota.

BPS menginput apa adanya angka-angka yang didapatnya dari laporan Kementerian Keuangan. BPS tidak melakukan evaluasi dan/atau penyesuaian atas angka-angka itu. Dengan demikian, anekdot di dunia komputer, GIGO, garbage in garbage out, berlaku disini. Dengan kata lain, jika data yang diterima salah, maka otomatis komputasi pertumbuhan PDB juga salah.

Dengan demikian, walaupun BPS pernah mendengar dan/atau patut menduga bahwa terjadi mark up (korupsi) besar-besaran atas pembelian barang dan jasa pemerintah, BPS tetap saja menginput angka yang ada pada laporan termaksud tanpa melakukan perubahan/penyesuaian sedikitpun.

Mengingat porsi mark up atau yang dikorup itu, menurut rahasia umum, berada dalam kisaran 20 -- 50 persen, maka terjadi kelebihan entry data nilai PDB Belanja Barang yang persis sama dengan angka dalam kisaran ini. Dengan kata lain, nilai PDB Pengeluaran Belanja Barang yang diolah oleh sistem komputasi BPS terlalu besar dalam rentang 20 -- 50 persen untuk pos ini.

Coba lihat hasil ekstrapolasi unsur-unsur konsumsi pemerintah yang disajikan diatas. Angka Belanja Barang yang di entry BPS untuk TW 2 itu adalah Rp275, sehingga jika angka pengganda PDB adalah 5, maka total seluruh PDB yang dihasilkan oleh Belanja Barang ini adalah Rp1.375 triliun. Namun karena mark up atau korupsi, nilai total seluruh pengeluaran rakyat hanya Rp893,75 triliun.

Dengan kata lain, PDB pengeluaran untuk unsur Belanja Barang Negara yang dilaporkan oleh BPS adalah Rp1.375 triliun. Dengan asumsi rata-rata mark up hanya 35%, maka PDB aktual untuk unsur ini hanyaRp893.75 triliun. Artinya terjadi kelebihan nilai PDB pengeluaran untuk unsur Balanja Barang Negara sebesar Rp481,25 triliun, yang dilaporkan oleh BPS.

Sedikit bercanda, #BismilahKomisarisBUMN!

Kesalahan yang kronis juga terjadi pada unsur Belanja Pegawai. BPS masih menggunakan asumsi lama bahwa pegawai membelanjakan 90% dari take home pay yang diterima. BPS tidak mengadakan penyesuaian seiring dengan melonjaknya take home pay pegawai pemerintah, remunerasi dll, porsi yang dibelanjakan tinggal 60% saja. Artinya, BPS seharusnya hanya mencantumkan angka yang 60 persen ini dan bukan angka yang 90 persen itu.

Implikasinya, sama seperti unsur Belanja Barang, unsur Belanja Pegawai juga dihitung terlalu besar dalam komputasi PDB Indonesia.

Otomatis pertumbuhan konsumsi pemerintah yang dilaporkan sebesar 0,61 persen itu perlu dipangkas. Berapa persisnya angka pemangkasan itu? Coba kita hitung nanti pada artikel yang baerikutnya.

Artikel berikutnya kita akan lebih fokus pada unsur Konsumsi Rumah Tangga. Porsi Konsumsi RT secara universal lebih besar dari 55 persen dan akan semangkin membesar semangkin maju atau Makmur negara itu.

Selain itu, kita akan perlihatkan sisi-sisi lemah metodologi BPS dalam melakukan penghitungan nilai konsumsi RT.

Kontak: kangmmizan53@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun