Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Oligarki, Apa ada Parpol/Ormas Pro Demokrasi, HAM, dan Keadilan?

23 Juni 2021   17:23 Diperbarui: 24 Juni 2021   04:12 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam, 22 Juni 2021, saya sempat menyaksikan video YouTube yang berjudul "Kemunduran Demokrasi ditengah merebaknya Korupsi dan Politik Sektarian." Video yang diproduksi oleh Bravos Radio ini menyajikan diskusi menggigit antara Gigin Praginanto, journalist senior FM Bravos dengan Prof Dr Hedi Hadiz.

Hadiz yang merupakan sosok kelahiran tahun 1964 ini dan juga sudah cukup lama menjadi Professor di Melbourn University Australia memulai diskusi dengan menyampaikan rasa keprihatinan yang tinggi atas terus merosotnya demokrasi di Indonesia. Indikasinya, menurut sosok yang pernah juga menjadi Guru Besar National University of Singapore ini, mencakup UU ITE yang menghantui kebebasan mimbar akademis, UU Omnibuslaw yang merugikan para pekerja dan berpotensi memperparah kerusakan linkungan hidup, dan, terkini pembantaian KPK yang merupakan simbol reformasi yang paling bermakna.

Mas Gigin Praginanto mengangkat isu inisiatif revisi substansi hukum pidana (KUHAP) yang akan menghidupkan kembali pasal-pasal penghinaan kepada presiden. Penulis pernah mendengar analisis pasal-pasal penghinaan kepada presiden ini pada Channel Refly Harun atau Channel Rocky Gerung. Mereka pada prinsipnya sepakat bahwa penghidupan kembali pasal-pasal zaman kolonial ini jika nantinya jadi diundangkan akan sangat mengekang kebebasan bersuara dan berpendapat. Demokrasi Indonesia akan semangkin ambruk menurut mereka itu.

Prof Hadiz juga merupakan Co-author buku Reorganizing Power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets." Buku yang diterbitkan oleh Routledge Curzon, London and New York, 2004 ini authornya adalah Richard Robinson. Disini Robinson dan Hadiz melihat bahwa tumbangnya Oligarki (Monolitik) Cendana dan terbitnya Era Reformasi, yang sebetulnya reformasi semu, di tahun 1998, melahirkan Oligarki baru.

Sebagai catatan, Ulfa (2021) tayang artikel di Kompasiana dengan judul Sama Buruknya Kartel, Oligopoli, dan Oligarki. Oligarki ada kebalikan dari demokrasi. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat sedangkan oligarki terjadi jika secara de facto hanya segelintir orang yang memerintah negara.

Prof Hadiz yang pernah menjadi peneliti tamu pada Universitas Kyoto di Jepang, International Institute of Social Studies di Belanda, Universitas Indonesia dan School for Advanced Studies in the Social Sciences (EHESS) di Prancis, menyatakan bahwa Oligarki baru itu yang dalam perkembangannya terdiri dari beberapa faksi yang bersifat cair dengan diskursus yang berubah-rubah sesuai kepentingan para Oligarkist, banyak kemiripannya dengan Oligarki di Thailand. Demo menggulingkan rezim yang berkuasa terjadi silih berganti tetapi oligarki tetap menguasai Parlemen Thailand. Selain itu, Hadiz juga mengatakan bahwa Monarki Thailand juga merupakan Kapitalist raksasa. Maksudnya, menurut penulis, Monarki Thailand juga bagian dari Oligarki sehingga Raja bukan hanya sebagai simbol negara.

Penulis memang kagum dengan berbagai jawaban sosok yang juga alumnus Universitas Indonesia (UI) ini. Antara lain, misalnya, atas pernyataan Mas Gigin bahwa parlemen Indonesia dikuasai oleh partai PPP, maksudnya, partai pendukung pemerintah, Prof Hadiz menyatakan sebetulnya tidak ada perbedaan esensial antara PPP dengan Parpol oposisi. Parpol oposisi relatif hanya kebagian sedikit sumber-sumber negara yang langkah. Tidak ada perbedaan ideologis, semangat HAM, dan semangat keadilan sosial antara PPP dengan Parpol oposisi, imbuh sosok yang dianugerahi gelar Ph.D dari Murdoch University, Australia ini.

Terkait kemungkinan terjadinya demo mahasiswa secara besar-besaran seperti tahun 1998, jawaban keren sosok yang juga menulis Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (Cambridge University Press, 2016), kecil sekali jika ada. Gerakan semacam People power itu bukan terjadi secara instant begitu saja. Ada orang-orang dan/atau organisasi dan/atau Parpol yang menggeraknya. Prof Hadiz yang juga awardee Future Fellowship dari Australian Research Council pada tahun 2010 mengatakan tidak melihat kehadiran orang-orang dan/atau organisasi itu pada saat ini. Mungkin jawabannya sedikit berubah jika demam Jokowi Tiga Periode berlanjut.

Prof Hadiz yang pada karir awalnya sebagai Adjunct Professor Universitas Indonesia ini menyatakan tidak ada satu pun Parpol di Indonesia yang memiliki Platforms Demokrasi, HAM, dan Keadilan Sosial. Demikian juga halnya dengan ormas-ormas di Indonesia, imbuh sosok yang sangat kaya dengan Karya Tulis Ilmiah yang dipublikasikan oleh jurnal ilmiah dalam negeri dan internasional ini.

Menurut penulis, platforms termaksud ada saja tertulis di AD/ART masing-masing organisasi termaksud. Namun, itu tidak diimplementasikan dalam program-program nyata. Selain itu, penulis juga merasakan ketidakhadiran organisasi-organisasi termaksud pada isu-isu penting dan strategis terkait Demokrasi, HAM, dan keadilan sosial.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun