Drama pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia 2021 masih tetap hangat hingga hari ini. Sebagian substansinya terkait kasus keuangan yaitu tentang tingkat keamanan dan penggunaan dana ummat ini.
Semalam, atau, tadi pagi ya, penulis kebetulan menyaksikan tayangan YouTube Secangkir Opini Refly Harun. Judulnya angat-angat kuku: PLT DIRJEN HAJI: INVESTASI DANA HAJI UNTUK SUBSIDI JEMAAH!!
Pak Dirjen ini dibanyak media sering disapa dengan Pak Khoirizi saja. Penelurusan ke SIMPEG.KEMENAG.GO.ID mengarah ke sosok H. Khoirizi, S,SOS., MM. Beliau ini, jika memang orang yang sama, selain sebagai PLT Dirjen termaksud juga adalah Direktur Bina Haji Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama.
Pak Haji Khoirizi di Youtube ini mengatakan bahwa nilai keseluruhan dana haji adalah sekitar Rp145 triliun dengan nilai manfaat (return on investment, red.) sekitar Rp7 triliun (pada tingkat 5 - 6% return annually). Selanjutnya, alumnus UMB ini mengatakan bahwa uang Rp7 tirliun itu digunakan untuk mensubsidi Ongkos Naik Haji (ONH) yang rerata nilai per tahunnya adalah Rp14 triliun (subsidi sekitar 50 persen). Persisnya, setiap Jemaah yang berangkat hanya bayar sekitar Rp35 juta tetapi ONH aktual adalah sekitar Rp70 juta, begitu menurut PLT Dirjen Kemenag ini.
Jika kita amati Laporan Keuangan BPKH, yang dapat diakses pada website-nya, Jelas ini bukan subsidi pemerintah tetapi subsidi dari uang Jemaah yang dulu-dulu. Nilai yang Rp145 triliun itu berikut nilai manfaat investasinya (hasil investasi) merupakan  akumulasi dari uang Jemaah tahun-tahun sebelumnya.
Pertanyaannya adalah adakah manfaat finansial atau manfaat lain dari uang setoran ONH Jemaah yang dulu-dulu itu diterima oleh yang bersangkutan. Ini perlu dijelaskan oleh Kementerian Agama dan/atau Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Lebih jauh lagi, untuk memelihara integritas dan kredibilitas Kementerian Agama dan BPKH, BPKH perlu menjelaskan dana haji yang digunakan/dibelanjakan oleh Kementerian Agama. Misalnya, untuk tahun 2019 Kemenag untuk menyelenggarakan kegiatan haji tahun 2019 sudah mengeluarkan/membelanjakan uang dana haji sebesar Rp14,45 triliun.
Perlu dipublikasikan pokok-pokok pengeluaran tersebut. Misalnya, berapa untuk tiket pesawat, berapa untuk akomodasi dan konsumsi, berapa untuk uang saku, serta berapa untuk transportasi lokal. Last but not least, berapa yang dikonsumsi oleh Kemenag.
Publikasi ini penting sebab banyak berita yang menyatakan ONH Indonesia terlalu mahal. Jauh lebih mahal, misalnya, jika dibandingkan dengan ONH Malaysia.
Hal mendesak lain yang sangat ditunggu-tunggu terutama oleh calon jemaah haji dhuafa adalah tentang kemungkinan keberangkatan mereka. Mereka ini termasuk dalam kelompok Jemaah Haji Tunggu yang posisi akhir tahun 2019 saja sudah berjumlah 4.500.000 (4,5 juta) orang. Rerata keberangkatan Jemaah haji Indonesia per tahun adalah 215.000 orang, atau, hanya sekitar 5 persen dari jumlah Jemaah Haji Tunggu.
Mungkin Anda sudah pernah dengar bahwa bagi orang-orang kaya dan/atau pegawai pemerintah naik haji adalah sangat gampang. Ambil contoh, shohib saya di Kementerian Keuangan, perbankan, Bank Indonesia, anggota DPR/DPRD, dan lain sebagainya, banyak yang belum satu tahun nabung, atau, mungkin tidak pernah nabung sama sekali sebelumnya, ya jika sudah ada "panggilan" berangkat saja. Kelompok masyarakat yang lain tidak demikian.
Kelompok masyarakat lain termaksud termasuk kelompok Jemaah Tunggu yang sebagiannya merupakan Jemaah Dhuafa. Mereka ini ada yang berprofesi sebagai pedagang asongan, penjual makanan/minuman serta tukang sayur gerobak, ART, buruh tani dan nelayan, dan lain sebagainya. Katanya ada yang sudah menabung lebih dari 10 tahun.
Penulis pernah mendengar mereka ini menabung dalam jumlah puluhan ribu, jarang jika ada yang dalam jumlah ratusan ribu apalagi jutaan rupiah setiap bulannya. Selain itu, tidak pernah dipublikasikan berapa banyak kaum dhuafa dalam kelompok Jemaah Haji Tunggu itu. Siskohat Kementerian Agama sepatutnya mempublikasikan  statistik Jemaah Tunggu, misalnya, menurut lamanya waktu menabung dan usia penabung.
Terlepas dari berapa jumlah Jemaah Tunggu Dhuafa tersebut, mereka ini sudah selayaknya untuk mendapat prioritas pemberangkatan untuk musim haji tahun 2022 yang akan datang. Selain itu, prioritas pemberangkatan plus subsidi silang dari perolehan investasi dana haji yang sekitar Rp7 triliun saat ini juga dibutuhkan. Akan sangat mulia jika uang tabungan mereka dikembalikan saja. Penulis yakin, nilai uang mereka ini relatif kecil dibandingkan dengan uang BPKH Rp145 triliun itu.
Selain itu, Dana Kemaslahatan Ummat BPKH setiap tahunnya cukup besar. Dana ini untuk tahun 2020 Rp157 miliar, 2019 Rp157 miliar, dan 2018 Rp 590 miliar. Menurut PP No 5 tahun 2018, Â enam asnaf penyaluran dana ini adalah kebutuhan Prasarana ibadah, Kesehatan, Pelayanan Ibadah haji, Ekonomi umat, Pendidikan dan Dakwah serta Sosial Keagamaan. Pelayanan Ibadah Haji untuk Jemaah Tunggu Dhuafa tentunya termasuk dalam asnaf ini.
Patut juga kita minta klrifikasi Biaya Operasional BPKH. Biaya ini sepenuhnya didanai dari hasil investasi uang Jemaah haji.
Mungkin publik cukup memahami bahwa BPKH ini adalah entitas pemerintah. Entitas pemerintah ini, patut diduga seperti sebagian besar, jika tidak seluruhnya, mengalami obesitas atau kelebihan pegawai yang super besar. Adanya efisiensi di BPKH tentunya dapat dipertimbangkan untuk membantu Jemaah Tunggu kaum dhuafa termaksud.
Kontak: kangmizan53@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H