Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi, Riwayatmu Kini!

3 Juni 2021   19:33 Diperbarui: 3 Juni 2021   19:51 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Kemenkeu dalam Pikiran Rakyat Cirebon

Presiden Joko Widodo yang pernah akrab dengan sapaan Jokowi kini bukan Jokowi yang dulu lagi. Dulu suara-suara indah yang dialamatkan ke Alumnus UGM ini bergema hingga ke seberang lautan. Memang dulu juga suara-suara sumbang itu ada tetapi tidak banyak dan dari kelompok yang itu-itu juga. Kini, suara-suara sumbang itu deras sekali dan sudah menjalar ke berbagai kelompok yang berbeda termasuk dari akademisi senior pegawai sektor pemerintah.

Sosok yang dulu terkadang dianggap sebagai titisan Legenda Bengawan Solo, Joko Tingkir dengan meme kerempeng tenaga banteng, kini disuarakan secara terbalik baik langsung maupun tidak langsung ke Mantan Walikota Solo ini oleh banyak pengamat sosial ekonomi politik termasuk juga oleh beberapa orang Jenderal TNI Purnawirawan. 

Sliweran meme Anti Jokowi sekarang dibuat lebih brutal dan lebih terbuka lagi utamanya di broad cast via beberapa Podcast yang terhubung secara live streaming cadas ke Youtube Channel. Meme-meme Podcast yang brutal, cadas, dan terbuka itu antara lain terkait dengan isu tertembaknya perempuan (diumumkan secara resmi sebagai teroris) di Mabes Polri, kasus Prokes HRS, Kasus kerumunan masa Jokowi di NTT, Presiden Tiga Periode, dan kulminasinya adalah Pegawai KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan.

Dalam artikel ini, penulis menyajikan analisis kegagalan Jokowi yang lain, yang belum pernah diangkat ke publik. Ini jauh lebih substansial dari kasus kegagalan mega proyek mantan Gubernur DKI ini yang mencakup kegagalan proyek KRL Bandara Palembang, Bandara Kerta Jati yang kosong melompong, hingga Bendungan tanpa irigasi. Taksiran nilai kegagalan atau pemborosan, dalam perspektif opportunity costs, Presiden Jokowi yang akan kita diskusikan disini berada dalam hitungan yang lebih dari Rp5 ribu triliun hingga tahun 2024 saja.

Sebelum melangkah ke inti artikel ini, ada baiknya penulis mengingatkan pembaca atas banyak momentum reformasi selama krisis Pandemi Covid-19 sejauh ini yang gagal dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi. Itu terjadi diberbagai bidang termasuk ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan.

Artikel ini akan lebih fokus pada kegagalan Ayahendanya Kaesang ini yang gagal untuk memanfaatkan momentum krisis Pandemi Covid-19 untuk melakukan Reformasi Birokrasi yang super strategis dan visioner dengan perspektif waktu jauh ke depan dan tidak terikat dengan siklus Pemilu. Tentu saja ini bukan dalam perspektif hingga tahun 2024 seperti, antara lain, yang diinisiasi oleh Menteri Keuangan Sri Muljani Indrawati, tetapi perspektif super strategis menyongsong Indonesia Emas 2045. Perspektif 100 tahun Kemerdekaan Indonesia.

Foto Credit: Kemenkeu dalam Pikiran Rakyat Cirebon
Foto Credit: Kemenkeu dalam Pikiran Rakyat Cirebon
Perspektif reformasi birokrasi yang sudah ditetapkan oleh Bu Ani itu, panggilan akrab Bu Sri Muljani, hanya untuk lima tahun kedepan serta terbatas pada hanya Reformasi Birokrasi dalam format yang sangat sederhana yaitu Negatif Growth pegawai pemerintah dan hanya berlaku untuk Kementerian Keuangan. Selain itu, time perspektifnya hanya terbatas hingga tahun 2024. Beyond 2024, terutama menjelang tahun politik 2029, jumlah pegawai Kementerian Keuangan, pasti akan melonjak kembali dan segera mengarah ke posisi super mubazir sebelum tahun 2020.

Halnya akan sangat berbeda dan bernuansa sangat strategis jika inisiasi itu muncul dari Presiden Jokowi. Maksudnya, ada PP Presiden Jokowi sehingga PMK Menkeu Bu Ani tidak akan pernah diterbitkan. PP pertumbuhan negatif pegawai sektor pemerintah dengan demikian akan menggantikan PMK pertumbuhan negatif pegawai Kementerian Keuangan.

Penulis sendiri adalah pensiunan pegawai Kementerian Keuangan dengan unit kerja Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Pekerjaan pokok BKF adalah kompilasi asumsi makroekonomi, simulasi Postur APBN, dan kompilasi dokumen-dokumen anggaran yang lain. Semuanya sudah well computerized dengan dukungan micro dan macro models, template dan formula serta aplikasi yang sangat canggih.

Implikasinya, dengan dukungan teknologi 4.0 itu, pegawai BKF seharusnya tidak lebih dari 50 orang. Namun, apa lacur, pegawai yang ada sekitar 600 orang. Pemborosan yang ruarrr biasa.

Kondisi Pandemi Covid-19 dengan kebijakan WFH juga memperlihatkan bahwa kebutuhan aktual pegawai BKF memang dalam rentang hanya 50an orang saja. Hasil atau output BKF dengan pegawai yang sangat sedikit itu bukan saja tidak menurun tetapi memperlihatkan tendensi yang bahkan jauh lebih baik.

Super kelebihan pegawai yang serupa juga terjadi di hampir, jika tidak di seluruh,  Satker Kemenkeu yang lain. Ini mencakup Satker Ditjen Perimbangan yang tugasnya hanya klik tombol DAU dan Dak, Ditjen Utang Negara, yang tugas utamanya hanya menerbitkan Surat Utang Negara, dan Ditjen dan Badan dalam lingkungan Kementerian Keuangan yang lain.

Dalam perspektif sektoral, penulis yakin, pembaca masih ingat dengan sosok Pudjiastuti dan Koh Ahok. Ahok alias BTF, ketika menjabat Gubernur DKI dulu pernah menyatakan bahwa kebutuhan pegawai Pemda DKI sebetulnya cukup 50 persen dari yang ada. Selain itu, sosok yang pernah terpidana kasus penistaan agama ini, yang juga sangat transparans dan reformist, menyatakan ada pegawai DKI yang kerjanya hanya photo copy tetapi dapat gaji 25 juta rupiah per bulan! Sangat menusuk rasa keadilan sosial.

Sedangkan sosok Sri Pudjiastuti yang menurut Presiden Jokowi adalah sosok yang terkadang nekat adalah sangat fenomenal. Tenggelamkan adalah trade mark Bu Susi, panggilan akrab mantan Menteri KKP ini, yang tidak mungkin terlupakan.

Di tahun 2019 yang lalu, rasanya, satu-satunya Menteri Kabinet Pemerintahan R.I yang hanya berbekal ijazah SMP, mengunggah postingan di Instagram pribadi yang viral di Sosmed. Postingan ini juga diangkat di acara talkshow Kompas Tv karena isi postingan itu sangat menghujam.

Isi postingan Instagram Bu Susi itu pada prinsipnya menyakan bahwa satu-satunya cara untuk membrangus mafia impor adalah dengan membubarkan  Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Bentuk Unit Satker kecil yang dicantolkan di Kementerian Luar Negeri, sebagai penggantinya, kurang lebih isi postingan Instagram Bu Susi itu.

Dengan kata lain, pemilik Susi Air ini, mengatakan bahwa penggunaan pegawai yang sangat berlebihan di dua Kementerian itu bukan saja menimbulkan pemborosan keuangan negara yang sangat besar tetapi juga menghalangi terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Kementerian dan Lembaga Negara yang lain bagaimana? Idem ditto. Pemerintah daerah? Wis podo ae. BUMN dan BUMD, jangan ditanya lagi.

Sebagai kesimpulan, adalah sangat nelongso, PP Rencana Strategis Presiden Jokowi tentang kebijakan negative growth pegawai sektor pemerintah, jika pernah diusulkan, gagal diterbitkan. Lebih pesimistis lagi atas peluang terbitnya UU tentang pemangkasan pegawai sektor pemerintah dengan skala besar dan dilakukan secara bertahap menyongsong Indonesia Emas 2045, 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun