Di banyak negara lain, mereka memiliki protokol yang jelas dan pasti untuk menjamin keberlangsungan Prodi tanpa perlu ada kewajiban menerbitkan semacam performance bonds seperti praktik yang berlaku di Indonesia sejauh ini. Banyak kolega penulis baik alumni PT di Indonesia apalagi alumni PT luar negeri sangat kaget mendengar praktik Rp10 miliar tersebut.Â
Kejadian melongo serupa terjadi pada beberapa kolega penulis yang lama berkecimpung (menjadi dosen/pejabat struktural) di PT mulai dari yang di USA, Australia, New Zealand, hingga yang di Malaysia.Â
Kolega yang di Malaysia ini bahkan pernah menjabat sebagai dekan di PT terkemuka di negeri jiran ini. Ia merasakan situasi yang sangat nyaman dalam berkomunikasi dengan pejabat-pejabat kementerian pendidikan disana dan menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar adanya kebijakan setor hingga Rp10 miliar tersebut.
Belum Adanya Kepastian Waktu Audiensi dengan Mas Nadiem
Kolega penulis yang lebih dari 20 tahun menjadi dosen/dekan di PT ternama di Malaysia tersebut menyatakan itu langkah yang tepat untuk audiensi dengan Mas Nadiem dalam rangka pendirian universitas digital di Indonesia. Namun, Beliau ini lagi-lagi melongo ketika penulis sampaikan bahwa hingga saat ini belum diperoleh kepastian atas permohonan audiensi dengan Mas Nadiem termaksud.Â
Idealnya, menurut penulis, Kemendikbud menyiapkan formulir untuk audiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan formulir tersebut, Kemendikbud dapat menyiapkan waktu audiensi dengan Menteri dan/atau pejabat Kemendikbud yang ditunjuk. Dapat juga Kemendikbud menolak permohonan audiensi tersebut dengan memberikan alasan yang wajar dan/atau mengarahkan langkah-langkah alternatif.
Moratorium Izin Pendirian Perguruan Tinggi Baru
Hal lain yang berseberangan dengan ucapan Presiden Jokowi dan Mas Nadiem diatas terkait dengan kebijakan moratorium pemberian izin pendirian perguruan tinggi baru. Mungkin tidak banyak yang pernah mendengar bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan kebijakan moratorium atau penghentian pemberian izin pendirian perguruan tinggi baru sejak tahun 2018. Moratorium tersebut tidak berlaku secara nasional. Moratorium itu berlaku misalnya di Provinsi DKI Jakarta. Moratorium itu tidak berlaku, misalnya, untuk Provinsi Banten, sebagian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, dan sebagian besar wilayah di luar pulau Jawa. Â
Pertanyaannya sekarang bagaimana jika ada perguruan tinggi baru dengan sistem pembelajaran sepenuhnya online atau sepenuhnya melalui jaringan internet? Katakan saja badan pengelola perguruan tinggi daring tersebut ada di DKI Jakarta yang terkena kebijakan moratorium tersebut. Namun, peserta didik nya, mahasiswai, bukan hanya di DKI Jakarta. Mahasiswai nya jelas akan banyak yang di Banten, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pada prinsipnya bukan saja di seluruh pelosok negeri ini tetapi juga di seluruh penjuru dunia yang memiliki akses internet yang baik. Â
Nuansa yang sama untuk seluruh civitas akademika perguruan tinggi online (digital).  Civitas akademika perguruan tinggi digital tersebut, mahasiswai, rektor, dekan, ketua Prodi, staf perguruan tinggi, philantropists, dan banyak sekali volunteers dengan aneka profesi, juga berada dimana saja.Â
Lebih mendasar lagi, pendirian perguruan tinggi baru dengan model pembelajaran 100 persen dalam jaringan internet adalah sangat sejalan dengan semangat Presiden Jokowi untuk mendorong percepatan kuliah daring. Seperti sudah disampaikan diatas, Beliau menegaskan bahwa kuliah daring telah menjadi normal baru (new normal) bahkan normal selanjutnya (next normal) bagi para mahasiswai dan universitas.