TalkShow Kompas Tv Mudik Ditengah Wabah Corona
Barusan penulis mengikuti acara talk show Jabodetabek Mudik. Acara ini menghadirkan Imam Prasadjo, Sosiolog UI, dan dua pembicara lain melalui telepon dan diskusi virtual.Â
Sambungan telepon dilakukan untuk Juru Bicara Pemerintah, Fadjroel Rachman, dan virtual conference dengan anggota DPR Komisi 5, Syarif nama nya jika tidak salah.
Acara talkshow yang berlangsung selama satu jam ini, 7.00 - 8.00 malam, Selasa, 3 April 2020, mengusung tema Mudik Ditengah Pandemi Corona. Salah satu narasi yang diangkat dari tema ini adalah posisi Presiden Jokowi yang tidak melarang mudik tetapi tidak juga menganjurkan untuk mudik bagi warga Jabodetabek.
Kisah Ibu Single Parent Driver Taksi Online
Banyak hal penting yang dibahas pada narasi tidak melarang dan tidak menganjurkan itu. Salah satu nya terkait dengan insentif bantuan sosial dalam format PKH dan Kartu Pra Kerja.
Diskusi Bansos PKH dan Kartu Pra Kerja tersebut mengusik ingatan penulis dengan pesan WA kepada penulis tadi sore dari seorang ibu single parent yang anaknya indekost di tempat kami. Ibu yang pekerjaannya adalah driver taksi online mohon keringanan sewa karena sepihnya penumpang dalam waktu satu bulan terakhir. Ini komunikasi WA penulis dengan ibu single parent ini.
Rp 110 Triliun Perlindungan Sosial Virus Corona
Memang kedengarannya uang yang disediakan oleh Menteri Keuangan, Srimuljani Indrawati, untuk mitigasi dampak sosial ekonomi wabah virus Corona yang sangat dahsyat ini cukup banyak. Dari Rp 406 triliun Paket Virus Corona ini, Rp110 triliun disiapkan untuk perlindungan sosial yang mencakup paket PKH, paket Pra kerja, paket BNPT, dan Paket Sembako.Â
Pola Kuota dan Top Down Penerima Manfaat Bantuan Sosial
Walaupun demikian, penulis pesimis Ibu single parent yang bekerja sebagai driver taksi online ini akan dapat mengakses  salah satu paket lebih-lebih lagi beberapa paket perlindungan sosial wabah virus Corona ini. Ini terutama disebabkan mekanisme top down penetapan penerima manfaat perlindungan sosial tersebut bersumber dari data yang bersumber dari usulan RT/RW dalam suatu desa/kelurahan.
RT/RW diberikan kuota jumlah penerima manfaat dan mereka secara manusiawi lebih mementingkan orang-orang yang mereka kenal lebih dahulu dan/atau orang-orang yang "dekat" dengan mereka. Misalnya, satu RT diberikan kuota lima orang, maka lima orang yang dipilih oleh RT ini tidak tertutup kemungkinan kondisi sosial ekonomi mereka relatif lebih baik dari puluhan atau bahkan ratusan orang lain yang berada dalam RT/RW ini dan bahkan jika diperluas dalam kelurahan ini.
Exclusion dan Inclusion Errors
Puluhan atau bahkan ratusan dari orang-orang yang terpinggirkan tersebut, dan mungkin juga termasuk ibu single parent yang disebutkan diatas, biasanya tidak tahu dan/atau tidak memiliki keberanian untuk menuntut hak mereka. Lebih jauh lagi, biasanya tidak ada yang tahu siapa saja penerima berbagai program perlindungan sosial pemerintah tersebut.
Mereka itu dalam narasi bantuan sosial universal termasuk dalam kelompok exclusion errors. Mereka itu terpinggirkan dan ini dapat disebabkan oleh kuota yang tidak mencukupi atau kendala pendataan atau terkait dengan unsur korupsi pada mata rantai penetapan penerima manfaat bantuan sosial.Â
Hal yang serupa penulis temui di WAG RW kami. Ada postingan dari Pak RT yang menyatakan bahwa desa kami akan dapat jatah sembako dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.Â
Menurut postingan Pak RT ini jumlah kuota sembako itu adalah untuk 300 KK dan biasanya untuk RT dan RW kami tidak pernah ada warga yang pernah mendapat Bansos apa pun karena memang kondisi sosial ekonomi warga ini sudah mencukupi.
Walaupun demikian, jumlah 300 KK tersebut sangat kecil dibandingkan dengan jumlah keluarga miskin dan hampir miskin dari 25 RW dengan jumlah penduduk sekitar 600.000 jiwa atau sekitar 100.000 KK yang ada di desa kami.Â
Jalan pintas yang diambil oleh pemerintahan desa adalah memberikan kuota pada setiap RT/RW yang umumnya bukan di kompleks perumahan. Dengan kata lain, RT/RW yang terpilih untuk diberikan berbagai program perlindungan sosial adalah RT/RW Perkampungan.
Dengan pola kuota yang bersifat top down dan jumlah kuota yang relatif sangat kecil, maka potensi sangat banyak nya orang-orang terpinggirkan atau orang-orang yang termasuk dalam kelompok exclusion errors sangat-sangat mungkin sekali.Â
Hal ini diperparah lagi karena hampir tidak ada transparansi atas daftar penerima manfaat tersebut. Maksudnya, jarang sekali, jika ada, orang-orang tahu siapa saja para penerima bantuan perlindungan sosial termaksud. Kondisi ini jelas membuka peluang terjadinya konflik kepentingan dan/atau korupsi.
Kesalahan target termaksud penulis kupas, misalnya, dalam artikel Bongkar Peserta PKH Bodong demi Nasib Jutaan Orang Miskin. Disini penulis mengangkat isu orang yang tidak ber hak tetapi masuk dalam daftar penerima manfaat PKH. Ini isu Inclusion errors dalam terminologi Bank Dunia. Lebih jauh lagi penulis perlihatkan bahwa jenis kesalahan ini terjadi secara luas baik di pulau Jawa maupun di Sumatera dan Kalimantan.Â
Selain itu, di dalam artikel tersebut penulis juga menyoroti nasib beberapa orang pemulung, beberapa orang tukang batu harian lepas, beberapa orang tukang ojek online di dua atau tiga desa dalam Kecamatan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, yang tidak pernah menerima bantuan sosial apapun dari pemerintah. Mereka ini menurut pengamatan penulis bukan hampir miskin, bukan juga miskin, tetapi sangat miskin atau  kemiskinan ekstrim dalam terminologi Bank Dunia. Ironi memang mereka itu tidak pernah masuk dalam daftar penerima berbagai program bantuan sosial pemerintah. Kondisi seperti ini dalam terminologi Bank Dunia adalah exclusion errors.
Opsi Bottom Up Screening Penerima ManfaatÂ
Sejauh ini kita mendengar bahwa Pemerintah memasang target 29,3 juta penerima perlindungan sosial wabah virus Corona. Dari jumlah ini, 15,2 juta merupakan penerima bantuan sosial yang sudah ada baik dalam program PKH maupun dalam program BNPT. Yang ini jalan saja dulu walaupun di sana sini masih banyak terdapat kesalahan sasaran. Ini pola kuota dan top down seperti yang kita kenal sejauh ini.
Selebihnya, terdapat 14,1 juta calon penerima perlindungan sosial baru utamanya dalam rangka mitigasi dampak sosial ekonomi wabah virus Corona. Perlu terobosan baru untuk menjaring mereka ini. Jangan lagi gunakan pendekatan top down seperti yang dilakukan sejauh ini. Gunakan pendekatan alternatif bottom up yaitu mereka diminta untuk mendaftarkan diri mereka sendiri sebagai penerima program perlindungan sosial wabah virus Corona. Usahakan sedapat mungkin agar pendaftaran itu dilakukan secara online.Â
Prioritas Penerima Manfaat
Selain itu, perlu ditetapkan prioritas penerima program perlindungan sosial ini yaitu orang-orang yang sangat terpukul dengan kebijakan Fiscal Distancing (FD) atau Work and Study From Home (WSFH). Kebijakan FD dan/atau WSFH telah membuat mereka kehilangan pekerjaan atau walaupun masih ada pekerjaan atau usaha penghasilan yang didapat sangat kecil sekali seperti tidak cukup lagi untuk makan. Kebijakan FD dan/atau WSFH itu juga menyebabkan gagalnya para pencari kerja baru untuk mendapat pekerjaan.
Serukan agar dari Rp110 triliun itu ada yang menetes untuk orang-orang itu. Sebagian dari orang-orang itu, jika tidak seluruhnya, berada di sektor informal atau semi informal seperti pemilik dan/atau buruh warung kecil, para pedagang pasar, driver daring, serta pekerja informasl lain dengan upah harian.
Orang-orang itu jelas bukan ASN pusat dan daerah, bukan juga anggota TNI Polri, serta bukan juga pegawai BUMN/BUMD beserta anak cucu perusahaan-perusahaan ini. Selain itu, mereka juga tentunya bukan pegawai perusahaan multi nasional dan/atau perusahaan raksasa lainnya.
Diatas kesemua itu dan untuk kepentingan keadilan, vertikal dan horizontal, serta untuk pengendalian konflik kepentingan dan korupsi, maka penciptaan keterbukaan atau transparansi pada program perlindungan sosial wabah virus Corona Covid19 adalah sangat penting.  Misalnya, kampanyekan seluas mungkin keberadaan program ini jauh sebelum pendaftaran peserta dibuka. Selain itu, juga sangat penting untuk mempublikasikan penerima manfaat berbasis by name, by adress dan by NIK. Paling ideal jika publikasi ini dapat diakses oleh publik melalui jaringan internet.Â
Publikasi ini mirip-mirip publikasi Daftar Pemilih Tetap dalam pemilihan umum tahun 2019. Walaupun demikian, daftar penerima manfaat jelas sangat jauh lebih kecil dari Daftar Pemilih Tetap termaksud. .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H