Beberapa Hal Yang MenarikÂ
Coba kita lihat wacana terdahulu seperti tersaji dalam artikel Stimulus Fiskal Corona: Indonesia Digodok, Malaysia dan USA Siap Saji. Misalnya, dalam artikel ini untuk kluster Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dituangkan secara eksplisit seperti dibawah ini:Â
- Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).Â
- Pemerintah saat ini sedang menyiapkan voucher belanja pengganti beras untuk orang miskin (Raskin) yang diberi nomenklatur Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Target penerimanya adalah 29,3 juta orang. Â Dari jumlah 29,3 juta ini, 15,2 juta orang merupakan warga yang selama ini telah menerima BPNT.
- Bantuan Langsung Tunai (BLT)
- Masih digodok juga program bantuan uang langsung atau lebih dikenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT).
- Target penerima:
- Sektor informal seperti warung, toko-toko kecil, dan pedagang pasar;
- Sopir transportasi online serta pekerja informal dengan upah harian.
Dalam draf Perppu diatas (sekarang ternyata dituangkan dalam Keppres) isu BPNT dan BLT tersebut tidak disajikan secara eksplisit. Kedua isu ini terkesan diakomodir dalam format bantuan sosial Kartu Sembako dan Kartu Pra Kerja. Tidak begitu jelas, misalnya, apakah wacana semula target penerima seperti sektor informal yang mencakup warung, toko-toko kecil, dan pedagang pasar serta sopir transportasi online serta pekerja informal dengan upah harian, juga masih dipertimbangkan untuk menerima Bansos Covid19 ini.
Pengalaman Jaring Pengaman Keuangan dan Sosial Krisis Moneter 1999
Mungkin ada yang masih ingat bahwa Program Jaring Pengaman Keuangan dan Sosial Krisis Moneter 1999 mengakibatkan negara Indonesia terlilit utang yang sangat besar sekitar Rp 600 triliun pada waktu itu. Cicilan utang dan pembayaran bunga program ini membebani APBN lebih dari Rp2.000 triliun. Beban cicilan pokok dan bunga utang tersebut sebagian sudah dibayar pemerintah secara teratur dalam kurun waktu 20 tahun. Sebagian lagi masih belum lunas dan perlu dibayar dalam waktu sekitar 10 tahun lagi. Dengan demikian, warisan utang krisis moneter tahun 1999 itu dipikul oleh dua generasi anak cucu kita.Â
Selain itu, program tahun 1999 tersebut sarat dengan korupsi dan salah sasaran. Salah satu sumber utama salah sasaran tersebut karena kurangnya transparansi dan teknologi informasi seperti big data cloud dan cloud computing belum tersedia. Sekarang fasilitas big data cloud dan cloud computing itu sudah tersedia dengan biaya yang relatif sangat murah.Â
Mengingat utang Rp405,1 triliun ini dan hampir pasti akan bertambah lagi dalam APBN 2021, APBN 2022, dan entah kapan akan berhenti, akan dipikul sebagian besar oleh anak cucu kita dalam beberapa generasi mendatang, maka upaya untuk menghindari korupsi dan salah sasaran tersebut penting sekali untuk diakomodir  dalam Keppres yang segera akan diterbitkan ini, atau, Keppres yang berikutnya yang khusus untuk pengendalian risiko korupsi dan salah sasaran. Langkah yang paling strategis adalah membuat Paket Rp405,1 triliun ini lebih transparan berbasis teknologi big data cloud dan cloud computing. Â
Lebih jauh lagi, mungkin banyak yang masih ingat bahwa korupsi Program Jaring Pengaman Keuangan Krisis Moneter 1999 melibatkan antara lain beberapa direksi dan bahkan Gubernur Bank Indonesia. Mereka itu divonis bersalah dan dipenjara, walaupun semuanya sudah bebas saat ini.
Selain itu, banyak juga konglomerat papan atas yang dibui dan sebagian lagi masuk dalam Daftar Pencari Orang (DPO) yang hingga saat ini, setelah lebih dari 20 tahun belum juga diketemukan. Juga, banyak pejabat negara yang lain yang juga sudah divonis bersalah dan masuk penjara, namun semuanya sudah bebas murni saat ini.Â
Hayu suarakan transparansi agar Rp405,1 triliun bebas korupsi dan bebas salah sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H