Kita semua tentunya sudah mendengar berita pandemic coronavirus. Virus mematikan ini bermula dari kota Wuhan yang berpenduduk 11 juta jiwa dan merupakan ibukota Provinsi Hubei, Tiongkok. Kita juga mendengar bahwa korban terinfeksi dan meninggal dunia terus bertambah dari hari ke hari dan hingga sore ini angka kematian itu sudah mendekati 1.000 orang dan yang terinfeksi hampir 40.000 orang.
Trend Kompasiana minggu ini adalah gugurnya peniup peluit ancaman mematikan coronavirus baru, Dr Li Wenliang. Berbagai media memberitakan bahwa Dr Li yang berasal dari wilayah Utara Timur (Timur Laut) Tiongkok mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari otoritas setempat karena cuitannya di Sosmed Weibao (Twitter) waktu itu dianggap menimbulkan kepanikan dan ketakutan.
Pagi ini kita juga mendengar insan pers Tiongkok  Chen Qiushi hilang kontak ketika sedang melakukan tugas jurnalisme di kota Wuhan itu. Di bawah ini kelihatannya foto viral ke seluruh dunia yang diunggah dari video Youtuber Chen yang memiliki nama lengkap Cheon Chu Shi. Dugaan penulis ini merujuk ke narasi The Washington Post, Senin, 10 Februari.
Dengan demikian, Rezim Komunis Tiongkok sebetulnya juga memiliki toleransi pada desakan merdeka bersuara di negara Panda ini. Namun, negara ini, seperti di seluruh negara yang lain termasuk Indonesia, juga memiliki rambu-rambu merdeka bersuara walaupun tidak begitu jelas.
Dalam kasus whistle blower Dr Li Wenliang, ia hanya diingatkan oleh administratur RSUP Wuhan dan kemudian diintrograsi oleh pejabat kepolisian setempat dan menandatangani beberapa kesepakatan. Puluhan ribu cuitan belasungkawa dan kemarahan netizen Weibo atas wafatnya pahlawan medis ini dihapus oleh otaritas Tiongkok keesokan harinya.Â
Terlihat di sini bahwa pemerintah negara motor ekonomi dunia ini merasa cuitan netizen Weibo tersebut sudah melanggar rambu-rambu jurnalistik yang mungkin tidak begitu jelas dan/atau tidak tertulis. Menarik untuk membandingkan sensor di negara mitra dagang utama Indonesia dengan beberapa negara mitra dagang utama Indonesia yang lain seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Di Inggris mungkin kita masih ingat dengan kasus sexual harrasment yang dilakukan oleh WNI Raynhard Sinaga. Kasus hukum mahasiswa program PhD Universitas Manchester ini sebetulnya sudah mulai sidangkan di tahun 2017. Namun, media dilarang mempublikasikan sidang ini. Menarik untuk kita pahami bahwa di negara yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan bersuara ini, media patuh pada perintah pengadilan tersebut. Publikasi media baru dilakukan dalam bulan Januari 2020 setelah mendapat lampu hijau dari pengadilan.Â
Amerika Serikat sangat terkenal dengan semangat Freedom of Speech. Karikatur, gambar, audio dan vidio dengan intonasi dan/atau secara langsung menghina dan/atau mengolok-olok pejabat publik lewat begitu saja dan tidak terdengar berujung ke pengadilan atau penangkapan. Lihat kartun sex Presiden Trump ini.
Walaupun demikian, tetap saja rambu-rambu jurnalisme kredibel tetap ada di negara asal ayam cepat saja KFC ini. Dokumen-dokumen rahasia negara terkunci rapat sampai 40 tahun baru diizinkan untuk dipublikasi. Tulisan, audio, video, dan lain sebagainya yang melewati ranah privasi dapat berujung ke pengadilan.
Di Era Orde Baru, ketika itu penulis masih sangat muda, hampir seluruh koran Jakarta dibredel karena meliput demonstrasi Hariman Siregar. Hanya dua koran yang lolos bredel dalam peristiwa yang lebih dikenal dengan nama Malari (versi pemerintah) atau Malapetaka Lima Januari itu. Kedua koran tersebut adalah Harian AB (Angkatan Bersenjata) dan Pos Kota milik Harmoko, yang kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan RI.
Berita-berita bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi juga harus lewat sensor yang ketat. Hal serupa untuk kasus harga pangan, kekurangan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Sekarang, sensor yang ketat untuk berita-berita itu sudah dihapuskan. Zona merah yang masih diberlakukan hanya terkait dengan SARA dan Ujaran Kebencian.
Kritik-kritik keras ke Rezim Jokowi berseliweran di internet sekarang. Hampir setiap hari ada kritik terhadap pemerintah baik yang halus maupun yang tajam. Hasil identifikasi penulis, misalnya, menemukan bahwa 70 persen artikel Kompasianer dalam topik 100 Hari Jokowi-Ma'ruf menyatakan kecewa terhadap kinerja 100 hari duet ini.
Kembali ke misteri pengacara, aktivis, dan youtuber Chen Qiushi, yang kehilangan kontak dengan netizen dan keluarga sejak Kamis yang lalu, kita berharap agar pahlawan merdeka bersuara daratan Tiongkok ini tidak terpapar virus yang mematikan selama dikarantina oleh otoritas Tiongkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H