Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Lilitan Utang, Stok Menumpuk, Bulog Galau Kembali

9 Februari 2020   19:51 Diperbarui: 10 Februari 2020   00:19 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Bisnis.com | Dirut Bulog, Budi Waseso

Bisnis.com, hari ini 9 Februari, merilis berita terkait inisiatif Bulog untuk menjual 900.000 ton beras. Disini dikatakan bahwa menurut Dirut Bulog, Budi Waseso,  beras itu merupakan bagian dari 1.800 ton stok beras Bulog dan yang 900.000 ton beras itu diimpor di tahun 2018 dan merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Bulog.

Beberapa pertimbangan yang dijelaskan lebih lanjut oleh Budi mencakup jenis beras pera yang kurang diminati serta kualitas beras akan semakin menurun jika disimpan terlalu lama. Selain itu, waktu panen sudah tidak lama lagi dan Bulog perlu membeli beras petani untuk menahan penurunan harga yang berlebihan. Budi lebih lanjut mengatakan bahwa ia mengharapkan dukungan kementerian dan lembaga negara yang terkait untuk kelancaran penjualan 900.000 ton beras tersebut.

Betul Pak BW perlu mendapat dukungan utamanya dari Kementerian Pertanian untuk melepas kelebihan stok beras tersebut. Bulog tidak memiliki diskresi untuk melepas atau menjualnya dan untuk itu perlu lampu hijau utamanya dari Kementerian Pertanian dan biasanya dibahas dan diputuskan dalam Rakor di Kementerian Koordinator. Hadir dalam Rakor ini biasanya Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan beberapa stake holder lain yang terkait.

Secara lebih umum, Bulog juga tidak memiliki diskresi pembelian beras. Berapa banyak beras yang akan dibeli dan berapa harganya kesemua itu diputuskan dalam Rakor-rakor di Kementerian Koordinator Ekonomi tersebut. Ini tentu saja mencakup keputusan impor beras dengan pengambilan keputusan utama Kementerian Perdagangan.

Prosedur birokrasi yang panjang, tumpang tindih, dan berbelit-belit tersebut bermuara keterlambatan eksekusi oleh Bulog. Keterlambatan berlarut-larut dalam menjual kelebihan stok mengakibatkan beras busuk dan terpaksa dibuang atau dijual dalam harga yang sangat murah. Terlambat membeli beras petani mengakibatkan anjloknya harga gabah kering giling (GKG) berbulan-bulan. Terlambat impor menyebabkan membumbungnya harga beras dalam waktu berbulan.

Selain itu, kebijakan stabilisasi harga pangan utamanya beras merupakan beban bagi pemerintah. Ini mencakup Suntikan dana segar kas negara PMN yang berjumlah sekitar Rp7 triliun dalam periode 2015 hingga 2017 saja. 

Lebih buruk lagi, Bulog juga terlilit utang sekitar Rp28 triliun hingga akhir Desember 2019. Nilai utang ini dua lipat dari potensi kerugian negara dalam kasus mega korupsi dan ambruknya BUMN Asuransi Jiwasraya

Pengalaman yang serupa pernah terjadi di Tiongkok dan India. Masing-masing Bulog mereka terpaksa mengekspor stok gandum dan  beras yang membusuk dengan harga yang sangat murah. Mereka masing-masing kemudian menghentikan kebijakan stabilisasi harga pangan pemerintah dan memutuskan model pengendalian harga tidak langsung melalui hambatan tarif.

Terbukti hambatan tarif tersebut sangat ampuh. Harga pangan jauh lebih stabil dan bukan saja tidak membebani bahkan sebaliknya uang mengalir dengan derasnya ke kas negara. Di sisi lain, para petani, pedagang, dan konsumen  semuanya sumringah alias better off.  

Indonesia juga pernah mengadopsi hambatan tarif pangan impor. Kebijakan yang diterapkan di Era Prof BJ Habibie (almarhum) sukses besar. Harga pangan dalam negeri utamanya beras paling stabil dalam sejarah Indonesia merdeka. Harga beras di era ini lebih stabil dibandingkan dengan harga beras sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru yang menyedot uang negara dalam jumlah yang sangat sangat besar melalui skim kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI)  

Namun, selalu saja ada losers atau yang dirugikan dalam setiap kebijakan publik termasuk jika kebijakan hambatan tarif ini diberlakukan kembali. Siapa mereka itu? Tentu saja mereka itu adalah para mafia impor pangan, yang diyakini memiliki jaringan dan lobbyist yang sangat luas dan tangguh.

Hasil akhirnya, dapat kita prediksi bahwa peluangnya sangat kecil sekali alias hampir mustahil kebijakan impor pangan ala Prof B.J.Habibie tersebut diterapkan kembali di Indonesia.

lihat juga: Pengendalian Impor Beras ala Prof BJ Habibie dan Beberapa Opsi Alternatif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun