Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hanya Revolusi yang Bisa Hentikan Utang Pemerintah

8 Februari 2020   18:01 Diperbarui: 8 Februari 2020   18:08 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta

Umumnya kita tahu bahwa utang pemerintah sangat besar dan terus meningkat. Namun, tidak banyak yang peduli bahwa utang itu digunakan untuk bayar utang.

Kita juga umumnya tahu atau pernah dengar bahwa peningkatan utang itu melejit tinggi di Kabinet Jokowi Jilid 1 dan akan lebih melejit lagi di jilid 2 sekarang. Walaupun demikian, jarang yang memperhatikan bahwa utang itu akan terus meningkat entah sampai kapan.

Betul penulis sepakat dengan Anda bahwa kontribusi pembangunan infrastruktur sangat besar atas terjadinya lejitan utang itu. Tapi, sebetulnya penyebab utama melejitnya utang itu karena Pemerintah lebih gampang utang lagi dan utang lagi. Penulis yakin Anda sepakat bahwa untuk nambah utang, Pemerintah cukup mendapat persetujuan DPR saja dan sejauh ini kita belum pernah dengar ada keberatan dewan untuk tambahan utang itu. 

Umumnya kita bersepakat bahwa utang tidak akan terjadi jika pemerintah tidak terjebak dalam pola besar pasak dari tiang. Dengan kata lain,  utang pemerintahan Jokowi tidak akan melejit jika penerimaan pajak juga melejit seiring dengan lejitan pengeluaran negara. 

Umumnya Anda pernah mendengar bahwa rasio penerimaan pajak (tax ratio) Indonesia adalah sekitar 11 persen PDB. Penulis yakin Anda juga pernah dengar bahwa posisi tax ratio itu sebetulnya sudah berlangsung lama sekali dan terus berlanjut hingga saat ini. 

Walaupun demikian, tidak banyak yang pernah dengar bahwa rendahnya tax ratio itu bersumber dari parahnya distorsi sistem perpajakan kita. Lebih tidak banyak lagi yang pernah dengar bahwa distorsi itu bersumber dari sangat banyaknya kebijakan pembebasan dan/atau insentif pajak yang diakomodir pemerintah. Distorsi terparah ada di jenis Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebetulnya masih dapat diperbaiki ketika penulis masih aktif di Kementerian Keuangan RI beberapa tahun yang lalu, namun belum dilaksanakan hingga ketika penulis memasuki usia pensiun beberapa tahun yang lalu dan tetap berlangsung hingga saat ini.

Penulis yakin, Anda dan Kompasianer pernah dengar kegemuruhan Omnibus Law. Betulkan itu ada Ominubs Law Cilaka dan Omnibus Law Perpajakan. Walaupun demikian, penulis yakin jarang diantara Anda yang dapat mengantisipasi bahwa UU Omnibus Perpajakan tidak akan berhasil meningkatkan tax ratio kita. Jarang sekali, jika ada, Kompasianer  yang dapat mengantisipasi bahwa Omnibus Law Perpajakan akan gagal untuk membawa sistem pajak Indonesia ke jalur yang lebih netral, yang secara otomatis menihilkan bermacam-macam pembebasan dan insentif pajak serta yang secara otomatis  melenyapkan pasal-pasal yang memberikan otoritas diskresi pemerintah untuk memberikan berbagai macam pembebasan dan/atau pengurangan serta insentif pajak. 

Lanjut pada isu yang berikutnya. Mungkin banyak Anda Kompasianer umumnya pernah dengar bahwa sekitar 60 persen uang yang dibelanjakan oleh kementerian dan lembaga negara adalah untuk keperluan pegawai. Apa yang pernah Anda dengar itu betul dan tidak perlu disangsikan lagi. 

Walaupun demikian, jarang diantara Anda yang paham bahwa porsi yang demikian sangat tidak sehat. Lebih jarang lagi yang paham bahwa porsi yang sehat itu adalah kurang dari 30 persen.

Penulis yakin Anda tidak akan menyangkal jika penulis katakan bahwa jumlah pegawai pemerintah (aparatur pemerintah) sangat berlebihan. Walaupun demikian, penulis yakin tidak banyak yang paham  bahwa jumlah pegawai pemerintah mendesak untuk dipangkas dalam jumlah yang tidak kurang dari 50 persen.

Penulis yakin Anda pernah dengar umpatan Koh Ahok terkait  jumlah pegawai Pemda DKI yang sangat berlebihan. Ketika itu BTP alias Ahok yang masih  menjabat sebagai Gubernur DKI Koh Ahok mengatakan bahwa ASN Pemda DKI Jakarta yang dibutuhkan sebetulnya kurang dari separuh yang ada waktu itu.

Penulis memang dalam banyak hal termotivasi dengan gebrakan Mantan Bupati Belitung ini dan untuk kasus ini merasakan hal yang sama juga terjadi di Kementerian Keuangan ketika itu. Ketika itu, sebagian, bahkan mungkin sebagian besar, pegawai Kementerian Keuangan hanya sibuk rapat-rapat di hotel dan/atau melakukan perjalanan dinas. Ketika itu juga, hal yang serupa penulis lihat juga di banyak kementerian dan lembaga negara yang lain. 

Anda pernah dengar, pasti, bahwa di awal-awal pemerintaha Jokowi jilid 1 ada perintah pemangkasan anggaran untuk kegiatan rapat-rapat dan/atau berbagai kegiatan di hotel-hotel serta perintah pemangkasan kegiatan perjalanan dinas. Namun, jarang yang pernah dengar dampak positif dari kebijakan itu. Jarang yang pernah dengar bahwa kantor yang tadinya sangat lenggang mendadak ramai kembali. Tidak sulit lagi untuk mencari orang sekarang. Hasil yang didapat ya begitu-begitu saja alias tidak mengalami perubahan.

Kemudian, apakah Anda pernah dengar bahwa kebijakan larangan termaksud terus berlaku hingga saat ini? Persis, penulis yakin Anda tidak pernah dengar hal itu sebab larangan itu sudah dicabut ketika memasuki tahun-tahun politik dan tidak pernah diberlakukan kembali hingga saat ini.

Trending topik minggu ini adalah jimat yang dipakai peserta ujian rekrutmen ASN. Persis rekrutmen pegawai pemerintah terus dilaksanakan setiap tahun. Sepakat jika Anda mendengar itu hanya sebatas mengisi formasi pegawai yang pensiun. Jumlah pegawai baru persis sama dengan jumlah pegawai yang pensiun. Dengan kata lain, dan secara lebih umum, kelebihan jumlah aparatur negara pemerintah tidak berkurang dari tahun ke tahun.

Saya kira Anda sepakat dengan penulis bahwa satu-satunya cara untuk memangkas kelebihan jumlah aparatur negara itu dengan kebijakan negative growth pegawai pemerintah. Mkasudnya, jumlah rekrutmen aparatur  negara baru lebih kecil dari jumlah yang pensiun. Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara konsisten dan berlanjut perlu serta tetap dilaksanakan dalam tahun-tahun politik. Ini mencakup perspektif jangka menengah dan jangka panjang.

Lebih sexy lagi, kebijakan negative growth ini paling cocok jika dikaitkan dengan rencana IKN baru di Kaltim.  Juga, paling cocok dalam semangat otomatisasi pekerjaan dalam Era Tech 4.0 sekarang ini. Walaupun demikian, kita semua belum mendengar adanya semangat ini dalam perencanaan IKN baru di Kalimantan Timur. 

Sekarang bagaimana jika kita ke BUMN dan bertemu tokoh muda flamboyan Bang Erick Thohir. Saya kira kita sepakat bahwa adik kandung orang terkaya Indonesia ke 17 ini, Garibaldi Thohir, mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Apresiasi itu mencakup pada berbagai gebrakan mulai dari  pemangkasan jabatan di Kementerian BUMN, inisiatif holdingnisasi, hingga keberanian dan ketegasan mantan pemilik klub sepak bola Eropa ini dalam waktu yang singkat bongkar pasang CEO sejumlah BUMN strategis termasuk PT Pertamina, PT PLN, dan PT Garuda Indonesia 

Walaupun demikian, tidak banyak yang pernah dengar bahwa setoran kumulatif dari sekitar 148 BUMN dengan aset sekitar Rp8.000 triliun ke kas negara sangat mengecewakan. Misalnya, setoran laba BUMN ke pemerintah Itu hanya Rp48 tirliun untuk tahun 2019 dan Rp49 triliun untuk tahun 2020 ini, atau, hanya sekitar 0,5 persen dari nilai aset tersebut. Sangat jauh dibawah norma konservatif 10 persen. 

Lebih mengecewakan lagi jika melihat kenyataan sejauh ini kita belum mendengar dari Mantan Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin ini untuk meningkatkan setoran termaksud dalam tahun-tahun mendatang.

Apa masih dapat diharapkan hiruk pikuk anak putra Ahmad Thahir (lampung) dengan Bu Lina, WNI keturuan Tionghoa Solo ini, lambat laun akan bermuara pada peningkatan kewajiban BUMN untuk menyetor laba BUMN pada kas negara secara lebih wajar. 

Secara hiuristic, penulis belum melihat ada indikasi yang kuat ke arah efisiensi isu-isu keuangan negara seperti tersebut diatas. Sebaliknya, penulis yakin bahwa kita baru akan menuju jalur efisiensi tersebut jika RIOne dapat mengendalikan DPR, di satu sisi, dan di sisi lain ada kelompok oposisi nyata di DPR yang cukup kuat.  

Konstruksi demokrasi seperti itu tidak mungkin dapat tercipta dalam siklus Pemilu 2024. Tidak juga akan tercipta dalam siklus-siklus Pemilu yang berikutnya dan yang berikutnya lagi dan entah kapan semangat itu baru dapat diwujudkan.

Satu hal yang pasti, hanya revolusi seperti 1965 dan reformasi seperti 1998/99 yang berpotensi membawa kita ke konstruksi demokrasi yang demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun