Kita semua tahu bahwa utang pemerintah sangat besar dan terus meningkat. Kita juga semua tahu atau pernah dengar bahwa peningkatan utang itu melejit tinggi di Kabinet Jokowi Jilid 1 dan akan lebih melejit lagi di jilid 2 sekarang.Â
Biasanya kita mendengar dan/atau percaya bahwa itu semua bersumber dari pesatnya pembangunan infrastruktur. Jawaban ini tentu saja tidak salah. Pembangunan infrastruktur itu sangat penting. Namun, sebetulnya biang keroknya bukan dari pesatnya pembangunan infrastruktur itu. Â
Melejitnya utang itu karena Pemerintah lebih gampang utang lagi dan utang lagi. Untuk nambah utang Pemerintah cukup mendapat persetujuan DPR saja.
Utang itu tidak akan melejit jika penerimaan pajak juga melejit seiring dengan lejitan pengeluaran negara. Utang itu tidak akan melejit jika kebocoran dan/atau pemborosan APBN berhasil dikendalikan. Utang itu tidak akan melejit jika sekitar 148 BUMN dengan aset sekitar Rp8.000 triliun dapat menyetor ke negara dalam jumlah yang wajar, katakan sekitar 10 persen dari nilai aset itu.
Ini yang gagal dilakukan oleh rezim Jokowi jilid satu dan kelihatannya lanjut di jilid dua sekarang ini.Â
Ketika penulis masih aktif di Kementerian Keuangan dulu, rasio penerimaan pajak  kita masih sekitar 11 persen PDB. Posisi ini sebetulnya sudah berlangsung lama sekali dan terus berlanjut hingga saat ini. Ini terjadi karena sangat banyaknya kebijakan pembebasan dan/atau insentif pajak yang digulirkan. Pajak penghasilan (PPh) yang paling parah. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebetulnya masih dapat diperbaiki ketika itu namun belum dilaksanakan ketika penulis memasuki usia pensiun dan tetap berlangsung hingga saat ini.
Saat ini pemerintah sedang menyiapkan Omnibus Law perpajakan. Sayang penulis belum berhasil mengakses draf UU ini. Walaupun demikian, penulis yakin bahwa UU ini akan berhasil meningkatkan tax ratio itu jika mengandung semangat netralitas pajak sehingga secara otomatis menihilkan bermacam-macam pembebasan dan insentif pajak termaksud.Â
Selain itu, keberhasilan UU ini untuk meningkatkan tax ratio termaksud perlu didukung oleh pasal-pasal yang mengharamkan diskresi pemerintah untuk memberikan berbagai macam pembebasan dan/atau pengurangan serta insentif pajak. Dalam hal memang pembebasan/pengurangan serta insentif pajak itu diperlukan, maka UU itu perlu direvisi.
Lanjut pada isu yang berikutnya. Mungkin banyak Kompasianer/pembaca yang pernah dengar bahwa sekitar 60 persen uang yang dibelanjakan oleh kementerian dan lembaga negara adalah untuk keperluan pegawai. Itu betul dan tidak perlu disangsikan lagi. Jumlah pegawai pemerintah (aparatur pemerintah) sangat berlebihan dan dengan demikian porsi 60 persen tersebut juga sangat berlebihan. Porsi ini dapat dipangkas hingga 30 persen jika jumlah pegawai pemerintah tersebut dipangkas tidak kurang dari 50 persen.
Dalam kaitan jumlah pegawai yang sangat berlebihan ini, penulis ingat dengan Ahok ketika menjabat sebagai Gubernur DKI dulu. Koh Ahok pernah mengatakan bahwa ASN Pemda DKI Jakarta yang dibutuhkan sebetulnya kurang dari separuh yang ada waktu itu.
Penulis merasakan hal yang sama ketika masih aktif di Kementerian Keuangan dulu. Sebagian, bahkan mungkin sebagian besar, pegawai Kementerian Keuangn hanya sibuk rapat-rapat di hotel atau melakukan perjalanan dinas. Hal yang serupa penulis lihat juga di banyak kementerian dan lembaga negara yang lain.Â
Begitu ada pemangkasan anggaran untuk kegiatan rapat-rapat dan berbagai kegiatan di hotel-hotel serta pemangkasan anggaran untuk kegiatan perjalanan dinas, kantor yang tadinya sangat lenggang mendadak ramai kembali. Tidak sulit lagi untuk mencari orang sekarang. Hasil yang didapat ya begitu-begitu saja alias tidak mengalami perubahan.
Ironisnya, rekrutmen pegawai pemerintah terus dilaksanakan setiap tahun. memang itu untuk mengisi formasi pegawai yang pensiun. Seharusnya, dalam semangat untuk pengurangan lejitan utang pemerintah, kebijakan moratorium, atau, negative growth pegawai pemerintah perlu digulirkan. Moratorium itu perlu diberlakukan bukan saja di tahun bukan tahun politik tetapi dalam perspektif jangka menengah dan jangka panjang.
Moratorium ini juga paling cocok jika dikaitkan dengan rencana IKN baru di Kaltim. Â Juga, paling cocok dalam semangat otomatisasi pekerjaan dalam Era Tech 4.0 sekarang ini.
Sekarang kita ke BUMN dan bertemu tokoh muda flamboyan Bang Erick Thohir. Adik kandung orang terkaya Indonesia ke 17 ini, Garibaldi Thohir, mendapat apresiasi dari berbagai kalangan atas gebrakan demi gebrakan nya. Gebrakan pemangkasan jabatan di Kementerian BUMN mendapat apresiasi yang luas. Apresiasi juga diberikan pada mantan pemilik klub sepak bola Eropa ini atas keberaniannya untuk bongkar pasang CEO sejumlah BUMN strategis termasuk PT Pertamina, PT PLN, dan PT Garuda Indonesia.Â
Apresiasi juga banyak disuarakan atas inisiatif Mantan Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin ini untuk holdingnisasi beberapa lini usaha BUMN. Ini mencakup inisiatif holdingnisasi BUMN Asuransi, BUMN Karya, dan terakhir BUMN Perhotelan.
Sayang sekali hiruk pikuk anak putra Ahmad Thahir (lampung) dengan Bu Lina, WNI keturuan Tionghoa Solo ini, tidak menyentuh kewajiban BUMN untuk menyetor laba BUMN pada kas negara. Setoran BUMN dengan aset Rp8.000 triliun kepada kas negara relatif sangat kecil. Itu hanya Rp48 tirliun untuk tahun 2019 dan Rp49 triliun untuk tahun 2020 ini, atau, hanya sekitar 0,5 persen dari nilai aset tersebut. Sangat jauh dibawah norma konservatif 10 persen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H