Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

A Man Like Jokowi Saja Tidak Cukup

30 Januari 2020   12:37 Diperbarui: 30 Januari 2020   19:54 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terlalu Berlebihnya Kompromi Politik Jokowi (Sumber gambar: Tirto.ID)

Hari ini tepat 100 hari Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin. Topik 100 hari itu diangkat di sebagian besar, jika tidak seluruhnya, di Tv nasional. Topik itu juga menghiasi berbagai tayangan opini dan pemberitaan di media online. Sejak kemarin, 29 Januari 2020, Kompasiana menetapkan 100 hari Jokowi - Ma'ruf Amin sebagai Topik Pilihan. 

Banyak pujian dan dukungan atas kinerja 100 hari Jokowi-Ma'ruf Amin tersebut. Opini dan analisis mereka itu jelas perlu kita hargai.

Di sisi lain, banyak juga kritikan dan kekecewaan yang disampaikan. Penulis rasa ini juga sangat penting. Ini sangat penting untuk perbaikan Indonesia terutama perbaikan menjelang Pemilu 2024.

Penulis sendiri sangat yakin Kabinet Jokowi Jilid Dua ini tidak akan banyak bedanya dengan yang jilid satu. Pomborosan dan/atau korupsi APBN masih terus berlanjut, korupsi dan/atau penyakit perizinan terus berlanjut, utang negara terus membengkak, pertumbuhan ekonomi untuk 2020 akan dibawah 5% dan tidak akan jauh-jauh dari 5% hingga tahun 2024, kesempatan kerja relatif terus mengecil, Bansos dan Subsidi relatif stagnant, dan BUMN tidak dapat diharapkan untuk bergerak menjadi agent of development.

Kenapa Jokowi yang kita idolakan ini seperti anak dalam ayunan saja? Kenapa Jokowi dengan integritas dan kapasitas super ini terkesan terseok-seok untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju dan lebih makmur?

Jawaban hanya satu. Jokowi tidak memegang kendali pada DPR. Kendali DPR dipegang oleh Ketum dan beberapa elit partai politik.

Mengingat DPR dapat mencopot Jokowi dan uang yang dikelola Jokowi, APBN, harus mendapat persetujuan DPR, maka Jokowi perlu berbaik-baik dengan DPR. Bahasa politiknya, Jokowi perlu berkompromi dengan DPR dan ini dapat menjerumuskan Beliau ke jalur praktik kolusi. 

Kompromi politik itu mulai dari pembentukan kabinet. Lihat itu hampir 50% anggota Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin adalah kader-kader partai politik dan tidak tertutup kemungkinan menteri kabinet yang lain perlu juga mendapat endorsement dari PDIP dan/atau koalisi Parpol pendukung Jokowi.

Kompromi ini berlanjut jika nantinya ada reshuffle kabinet. Jokowi perlu mendengarkan suara PDIP dan/atau suara Parpol koalisi ketika melakukan reshuffle itu. 

Kompromi itu tidak berhenti hingga disini. Kompromi terus berlanjut pada perencanaan dan eksekusi program dan kegiatan pemerintahan. Kompromi terpenting adalah dalam persetujuan dan pengesahan APBN. Lihat juga, misalnya, Jokowi perlu berkompromi dalam kebijakan impor seperti wacana kebijakan impor benur lobster yang sempat viral beberapa waktu yang lalu. 

Kompromi juga perlu dilakukan oleh Jokowi dalam pengangkatan CEO BUMN. Lihat itu, misalnya, Ahok dan Yenny Wahid yang masing-masing diangkat sebagai Komisaris utama Pertamina dan Komisaris Garuda. Walaupun mereka berdua ini adalah orang-orang baik tetapi patron politik mereka sangat menentukan dalam proses pemilihan mereka pada jabatan termaksud.

Selain itu, jeratan kompromi politik Jokowi tidak memungkinkan Beliau untuk meningkatkan efisiensi BUMN secara nyata. Misal, belum terdengar hingga saat ini Beliau akan memangkas jumlah CEO BUMN.

Dari sisi lain, publik umumnya pernah mendengar bahwa aset dari 118 BUMN adalah Rp8.000 triliun. Hitung cepat konvensional menghasilkan bagian laba BUMN (dividen) untuk negara seharusnya Rp800 triliun per tahun (10% per tahun). Realitanya dividen itu hanya Rp48 triliun untuk tahun 2019, atau, 0,6 persen, yang artinya kurang dari 1% dari nilai aset tersebut.

Palu DPR sudah diketok bahwa target dividen itu hanya beringsut sedikit sekali, hanya naik Rp1 triliun dan demikian menjadi Rp49 triliun untuk tahun 2020. Belum terdengar komen dannarasi Erick terkait target dividen termaksud.

Walaupun demikian, Anda tidak perlu kecewa jika sudah memilih Jokowi dalam Pilpres 2019 yang lalu. Hanya saja sekarang Anda perlu sadar bahwa A Man Like Jokowi saja tidak cukup untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju. A Man Like Jokowi saja tidak cukup untuk memposisikan Indonesia pada jalur untuk mencapai Indonesia Emas 2030.

Ada kecemasan dari sebagian netizen bahwa revolusi seperti tahun 1965 dan/atau reformasi tahun `1998 akan terulang kembali jika fenomena a man like Jokowi stand alone ini terus berlanjut. Lebih parah lagi jika a man like Jokowi gagal tampil pada kontestasi Pemilu 2024. 

Dampaknya bisa fatal sekali. Kondisi ini dapat menyebabkan runtuhnya Indonesia seperti yang pernah diviralkan oleh Prabowo Suabianto dalam ajang Pilpres 2019 yang lalu,

Kesimpulannya, tidak ada opsi lain kita harus sesegera mungkin menyuarakan agar orang seperti A Man Like jokowi itu dapat juga memegang kendali penuh atas DPR. Hanya dengan cara ini kita bukan saja dapat menyelamatkan kehancuran NKRI tetapi kita juga dapat mendorong Indonesia ke jalur yang tepat untuk Indonesia emas 2030.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun