Hari ini tepat 100 hari Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin. Topik 100 hari itu diangkat di sebagian besar, jika tidak seluruhnya, di Tv nasional. Topik itu juga menghiasi berbagai tayangan opini dan pemberitaan di media online. Sejak kemarin, 29 Januari 2020, Kompasiana menetapkan 100 hari Jokowi - Ma'ruf Amin sebagai Topik Pilihan.Â
Banyak pujian dan dukungan atas kinerja 100 hari Jokowi-Ma'ruf Amin tersebut. Opini dan analisis mereka itu jelas perlu kita hargai.
Di sisi lain, banyak juga kritikan dan kekecewaan yang disampaikan. Penulis rasa ini juga sangat penting. Ini sangat penting untuk perbaikan Indonesia terutama perbaikan menjelang Pemilu 2024.
Penulis sendiri sangat yakin Kabinet Jokowi Jilid Dua ini tidak akan banyak bedanya dengan yang jilid satu. Pomborosan dan/atau korupsi APBN masih terus berlanjut, korupsi dan/atau penyakit perizinan terus berlanjut, utang negara terus membengkak, pertumbuhan ekonomi untuk 2020 akan dibawah 5% dan tidak akan jauh-jauh dari 5% hingga tahun 2024, kesempatan kerja relatif terus mengecil, Bansos dan Subsidi relatif stagnant, dan BUMN tidak dapat diharapkan untuk bergerak menjadi agent of development.
Kenapa Jokowi yang kita idolakan ini seperti anak dalam ayunan saja? Kenapa Jokowi dengan integritas dan kapasitas super ini terkesan terseok-seok untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju dan lebih makmur?
Jawaban hanya satu. Jokowi tidak memegang kendali pada DPR. Kendali DPR dipegang oleh Ketum dan beberapa elit partai politik.
Mengingat DPR dapat mencopot Jokowi dan uang yang dikelola Jokowi, APBN, harus mendapat persetujuan DPR, maka Jokowi perlu berbaik-baik dengan DPR. Bahasa politiknya, Jokowi perlu berkompromi dengan DPR dan ini dapat menjerumuskan Beliau ke jalur praktik kolusi.Â
Kompromi politik itu mulai dari pembentukan kabinet. Lihat itu hampir 50% anggota Kabinet Jokowi - Ma'ruf Amin adalah kader-kader partai politik dan tidak tertutup kemungkinan menteri kabinet yang lain perlu juga mendapat endorsement dari PDIP dan/atau koalisi Parpol pendukung Jokowi.
Kompromi ini berlanjut jika nantinya ada reshuffle kabinet. Jokowi perlu mendengarkan suara PDIP dan/atau suara Parpol koalisi ketika melakukan reshuffle itu.Â
Kompromi itu tidak berhenti hingga disini. Kompromi terus berlanjut pada perencanaan dan eksekusi program dan kegiatan pemerintahan. Kompromi terpenting adalah dalam persetujuan dan pengesahan APBN. Lihat juga, misalnya, Jokowi perlu berkompromi dalam kebijakan impor seperti wacana kebijakan impor benur lobster yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.Â
Kompromi juga perlu dilakukan oleh Jokowi dalam pengangkatan CEO BUMN. Lihat itu, misalnya, Ahok dan Yenny Wahid yang masing-masing diangkat sebagai Komisaris utama Pertamina dan Komisaris Garuda. Walaupun mereka berdua ini adalah orang-orang baik tetapi patron politik mereka sangat menentukan dalam proses pemilihan mereka pada jabatan termaksud.