Mas Nadiem kembali mengeluarkan "terobosan" yaitu konsep Kampus Merdeka. Ini merupakan pelengkap dari konsep Merdeka Belajar yang lebih tertuju untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang Beliau luncurkan beberapa bulan yang lalu. Sayangnya, hingga detik ini wujud nyata dari konsep Merdeka Belajar itu belum jelas.Â
Sekarang muncul Konsep Kampus Merdeka. Seperti biasa konsep yang diluncurkan pada tanggal 25 Januari yang lalu menyedot perhatian publik yang luas. Hampir seluruh media online berisi tayangan konsep ini.
Beberapa Kompasianer juga tayang artikel terkait konsep pendidikan terbaru Mas Menteri ini. Kompasianer Ozy V. Alandika tayang artikel dengan judul  Kebijakan Kampus Merdeka, Beda Jalan Sarjana Pekerja dengan Sarjana Pemikir. Mas Ozy menyimpulkan empat butir utama dari konsep Mas Nadiem ini, yaitu:
- Otonomi PT dalam Membuka Program Studi Baru.
- Re-akreditasi Perguruan Tinggi otomatis.
- Kebebasan Menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum.
- Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi.
Mendalami masing-masing substansi dari masing-masing butir diatas, penulis menyimpulkan bahwa gagasan ini sebetulnya tidak begitu nendang alias jauh dari gagasan yang revolusioner.
Gagasan ini tidak akan memberikan kontribusi yang siginificant untuk mengejar ketertinggalan perguruan tinggi Indonesia sebab gagasan ini tidak menyentuh permasalahan-permasalahan utama dunia pendidikan tinggi kita. Selain itu, gagasan ini tidak konsisten dengan trilogi pendidikan tinggi yaitu: kreativitas, kerja keras, dan kejujuran.
Berbeda dengan Mas Nadiem yang menempuh jenjang S1 dan S2 di USA, jenjang S1 penulis di Indonesia dan S2 baru sama dengan Mas Nadiem yaitu juga di USA. Jika Beliau sekembalinya dari USA lebih tersita waktunya untuk berbisnis, waktu penulis lebih tersita untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta.
Penulis juga waktu itu adalah Peneliti Kementerian Keuangan RI yang secara intensif berinteraksi dengan dosen-dosen PT terkemuka di Indonesia seperti UI, UGM, IPB, Undip, dan ITB, dan beberapa diantaranya sempat menjadi Menteri Kabinet Negara dan sekarang masih ada beberapa orang yang menjadi Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jokowi-Ma'ruf Amin. Penulis juga sering mendiskusikan isu pendidikan dengan mitra kerja luar negeri seperti dari IMF, Bank Dunia, dan Treasury Australia.
Berdasarkan pengalaman yang panjang di dunia pendidikan Indonesia dan internasional tersebut, penulis menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang sebetulnya lebih mendesak untuk diperhatikan oleh Mendikbud Milenial kita ini.Â
Pertama, isu Mata Kuliah Dasar (MKD). MKD ini berlaku untuk seluruh Program Studi (Prodi) seperti program science, math dan statistics, serta humaniora. Ada empat mata kuliah MKD ini yaitu : Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa inggris, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Yang terakhir ini dimasa saya kuliah dulu adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Keempat MKD ini tidak ada bedanya dengan yang ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Hanya yang itu-itu saja diulang dan diulang kembali, tidak ada nilai tambah dan tidak ada yang baru sama sekali. Sedikit sekali, jika ada, membantu Prodi mahasiswa. MKD ini merupakan beban yang sia-sia dan hanya menghabiskan waktu dan biaya. Secara agregasi, triliunan rupiah dihabiskan secara sia-sia dari keseluruhan Prodi pada seluruh PT di Indonesia.
Beberapa hari yang lalu, penulis sempat menyaksikan tayangan Youtube Kompas.com. Disini topik yang diangkat adalah pengalaman hidup Kapten Pilot Vincent Aditya yang lebih dikenal sebagai Youtuber. Vincent menyatakan dulu pernah mencoba kuliah di Prodi Ilmu Komputer di Salemba Jakarta. Ia merasa jemu karena banyak pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib di Prodi ini. Â
Ia kemudian memutuskan untuk keluar dari Prodi dan lembaga ilmu komputer ini. Ia kemudian belajar sendiri (autodidak) berbagai bahasa komputer dan berhasil mengembangkan dan menjual beberapa aplikasi termasuk aplikasi pajak ketika itu.Â
Banyak sekali contoh nyata Kampus Merdeka. Itu mencakup kemerdekaan kampus (PT) untuk memilih sendiri silabus di setiap Prodi yang ada di masing-masing fakultas (school) di perguruan tinggi masing. Misalnya, untuk Prodi BA Ilmu Komunikasi, itu diserahkan sepenuhnya pada PT atau universitas masing-masing untuk menetapkan dan tidak ada intervensi sama sekali dari pemerintah.Â
Di Indonesia, Mas Nadiem baru merencanakan, seperti butir satu diatas, memberikan kemerdekaan pada PT untuk membuka Prodi baru. Namun, ini masih dibatasi pada fakultas dengan akreditasi A dan B saja. Lebih terikat lagi, silabus dari Prodi baru ini harus tunduk atau sesuai dengan silabus yang sudah ditetapkan oleh Kantor Mas Nadiem. PT tidak diberikan kemerdekaan untuk memilih dan/atau menciptakan silabus sendiri.
Contoh lain dari Kampus Merdeka terkait dengan akreditasi Prodi. Akreditasi Prodi di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Australia, dan NZ, tidak memiliki aspek legal. Maksudnya ini mencakup tidak ada persyaratan akreditasi ijazah Prodi untuk mengikuti seleksi ujian masuk menjadi aparatur negara termasuk untuk menjadi pegawai BUMN.
Di Indonesia belum terdengar ada inisiatif untuk menghapus ketentuan akreditasi bagi calon aparatur negara dan calon pegawai BUMN. Mas Nadiem juga masih mempertahankan kebijakan akreditasi yang sangat menguras sumber-sumber langkah PT terutama PTS. Mas Nadiem memang mengatakan bahwa ini nantinya mengarah ke kondisi opsional atau sukarela. Pernyataan Mendikbud ini seperti dikutip oleh DetikNews.com, adalah:
Namun, belum terlihat indikasi penghapusan klausal akreditasi Prodi untuk kasus aparatur sipil negara dan BUMN seperti disebutkan diatas. Juga, belum ada kisi-kisi yang kuat akan adanya penghapusan kebijakan butir satu dan butir dua diatas yang baru akan digulirkan nantinya akan dianulir jika klausal sukarela itu berjalan.
Terkait dengan butir tiga, Kebebasan untuk Menjadi PT Badan Hukum. Inisiatif ini belum jelas apa konsep PTBH yang ada sekarang akan masih dipertahankan dan Mas Nadiem hanya memberikan kemudahan bagi PTN untuk mengadopsi PTBH seperti yang dilaksanakan oleh Universitas Indonesia dan beberapa PTN yang lain sekarang ini.Â
Di USA, semua universitas negeri (state university) seperti UCLA, Illinois University, dan lain sebagainya berbentuk PTBH. Semua dosen dan pegawai di PTBH USA bukan ASN. Recruitment, placement, promotion dan retirement dari semua dosen, guru besar, dan pegawai seratus persen diserahkan pada PTBH itu masing-masing. Tugas pemerintah hanya menyalurkan bantuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H